Protokol Kyoto, Berhenti Sampai di Sini?


Banyak yang kecewa atas hasil pertemuan Bangkok. Ada upaya meninggalkan Protokol Kyoto. Para delegasi dan diplomat masih harus bekerja keras. Peluang apa yang dapat diraih Indonesia?


Kondisi Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, terlihat mengenaskan. Dia memakai kaus gombrong bercorak bendera Amerika Serikat. Sebuah gunting raksasa --pada salah satu bilahnya tertulis "cut the carbon!"-- menempel di leher presiden keturunan Afrika itu. Salah-salah, cres... sang gunting memotong tepat di lehernya.

Begitulah para aktivis lingkungan garis keras melampiaskan kejengkelan mereka atas sikap Amerika Serikat terhadap isu pemanasan global. Patung Barack Obama yang diancam dengan gunting gabus raksasa tadi --serta sejumlah boneka pemimpin negara-negara industri-- diarak di depan gedung UNESCAP, di Jalan Rajdamnern Nok, Bangkok, Thailand, Jumat dua pekan lalu.

Di gedung itu memang sedang diadakan pertemuan penting, Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties, di bawah Kyoto Protocol (AWG-KP), hingga 9 Oktober lalu. Pertemuan yang populer disebut "Bangkok Climate Change Talks" itu adalah persiapan menuju puncak Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC/Conference of Parties --COP) ke-15 di Copenhagen, Denmark, 7-18 Desember mendatang.

Yang namanya pertemuan awal, tentu bertujuan meluluhkan segala hambatan agar COP-15 Copenhagen nanti berjalan lancar. Tapi pertemuan Bangkok itu bak jalan di tempat. Pantas saja para aktivis lingkungan jadi jengkel. "Pertemuan itu menyedihkan. Ternyata negara-negara industri belum sepakat menurunkan emisi mereka sampai 2020. Harus ada tekanan, terutama bagi negara industri, agar tidak main-main lagi. Persoalan pemanasan global sangat serius," tutur Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang turut hadir di sana.

"Memang menjengkelkan," kata Agus Purnomo, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, yang sekaligus menjadi ketua delegasi RI untuk pertemuan Bangkok. Menurut Agus, terdapat banyak sebab hingga pertemuan itu tidak lancar. Salah satunya adalah banyaknya negara yang berubah pikiran soal Protokol Kyoto karena ketentuan patokan pengurangan emisi yang makin besar.

***

Ketika dicanangkan pertama kali di COP-3 pada 1997, Protokol Kyoto menargetkan pengurangan emisi rata-rata 5,2% dari tingkat emisi 1990 hingga 2012. "Tapi sekarang ini menjadi 40%, sehingga yang awalnya setuju jadi berpikir lagi," ujar Agus. Target yang makin bengkak ini tak sembarangan karena ditetapkan berdasarkan kajian ilmiah, agar pemanasan global bumi tak melebihi 2 derajat celsius.

Faktor lainnya, seperti yang sudah-sudah, sikap negara-negara industri, terutama Amerika Serikat, masih mencla-mencle terhadap komitmen penurunan emisi. Setelah masa target penurunan emisi 2012 tadi berakhir, Protokol Kyoto mensyaratkan adanya kerja sama lanjutan. "Jadi, pasca-2012, harusnya ada rezim penurunan emisi baru," kata Eddy Pratomo, Duta Besar RI untuk Jerman, yang juga menjadi penasihat delegasi RI untuk perundingan UNFCCC di Bangkok.

"Tapi negara-negara industri, termasuk negara berkembang, mau semuanya: berkomitmen menjalankan mitigasi, adaptasi, alih teknologi, dan pemberdayaan masyarakat untuk pemanasan global. Jadi, tidak seperti yang ditetapkan Protokol Kyoto," tutur Eddy. Melihat gelagat ini, jangan-jangan memang ada upaya mengenyahkan Protokol Kyoto?

Agus terus terang khawatir atas "gerakan" anti-Kyoto itu. "Kami khawatir ada manuver dari negara maju menghapus Protokol Kyoto untuk mengakomodasi ketidaksukaan Amerika Serikat," kata Agus. "Negeri Paman Sam" itu memang sudah lama menunjukkan sikap tersebut, yakni sejak perjanjian dicanangkan pada 1997.

Benarkah Amerika dan teman-temannya akan membelot? Jika benar-benar terjadi, alamat acara puncak COP-15 Copenhagen Desember nanti gagal total. Tetapi ada perkembangan baru yang akan membuat Amerika berpikir dua kali sebelum bertindak. Sejak Juni lalu, anggota DPR dan Senat Amerika menggodok American Clean Energy and Security Act (ACES).

Di bawah pemerintahan Obama, memang banyak kebijakan yang berubah, terutama soal lingkungan hidup. Beleid ACES itu termasuk salah satu di antaranya. Beleid itu kabarnya akan menekan tingkat gas rumah kaca Amerika, menggalakkan investasi agar sumber daya alam tetap lestari, dan melindungi hutan-hutan di dunia untuk mengurangi pemanasan global. "Dalam rancangan peraturan itu tercantum target pengurangan emisi 17%," ujar Agus.

Namun, untuk mengesahkannya, diperlukan waktu hingga pertengahan 2010, sehingga delegasi Amerika dalam pertemuan Bangkok memang tak dapat berbuat banyak. Sebenarnya target 17% itu pun masih jauh dari patokan yang ditetapkan para ahli UNFCCC. "Idealnya, target pengurangan emisi mencapai 40%. Jika itu tercapai, kenaikan suhu bumi tak akan melebihi 2 derajat celsius," kata Agus.

Melihat perkembangan ini, Agus masih yakin, Protokol Kyoto tak akan ditinggalkan begitu saja. "Tapi mungkin bentuknya akan berubah atau bahkan ada protokol baru yang isinya hampir sama," Agus menambahkan. Direktur Kebijakan Iklim Internasional The Nature Conservancy (TNC), Duncan Marsh, punya pendapat serupa. "Apa pun bentuknya, apakah itu Protokol Kyoto atau suatu perjanjian yang sama sekali baru, yang penting adalah komitmen yang sama untuk mengatasi pemanasan global," katanya.

***

Komitmen sudah terlihat, setidaknya pada beberapa negara, khususnya Indonesia. Dalam perundingan Bangkok, delegasi Indonesia secara resmi mengumumkan program penurunan emisi karbon hingga 26% sampai 2020.

Tak hanya itu. Bekerja sama dengan TNC, Indonesia meluncurkan proyek inisiatif baru pengurangan emisi karbon lewat skema deforestasi dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and degradation --REDD). Proyek ini disebut The Berau Forest Carbon Program (BFCP), yang dilaksanakan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (lihat: Berau Memancing REDD). BFCP ini juga diharapkan dapat memancing peminat bisnis jual-beli karbon dengan skema REDD.

Tak pelak lagi, perundingan soal karbon boleh saja morat-marit, tapi dagang karbon jalan terus. Pembicaraan soal pemanasan global sedikit banyak membuat orang "melek karbon". Bisnis karbon pun terbuka lebar.

Menurut Kepala Pusat Kajian Pengelolaan Peluang dan Risiko Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik, Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer, berbagai perundingan iklim itu sedikit banyak akan menguntungkan negara berkembang. "Soalnya, dukungan dana dan bantuan teknologi akan semakin besar, khususnya untuk membantu negara berkembang melakukan upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim," kata Rizaldi.

Betapa tidak, menurut kalkulasi Rizaldi, dana yang dibutuhkan untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi mencapai US$ 250 milyar per tahun hingga 2020. "Tentu kita berharap, pada pertemuan Copenhagen nanti, negara maju didesak untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut," Rizaldi menegaskan.

Untuk menangkap dan menampung dana-dana karbon itu, Bappenas telah membentuk Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF). "Lembaga ini dirancang untuk mengelola bantuan dana dari berbagai negara donor dalam upaya Indonesia melakukan mitigasi dan adaptasi pemanasan global," kata Rizaldi.

Syukurlah, berbagai perkembangan itu membuat semangat pertemuan iklim tetap tinggi. Walaupun banyak yang kecewa atas hasil pertemuan Bangkok, bukan berarti kiamat. "Kita masih ada waktu dan harapan," tutur Agus.

Para delegasi, Agus melanjutkan, setidaknya berhasil membahas 120 halaman, dari 200 halaman yang ada. Sejumlah masalah yang mengganjal juga telah diselesaikan. "Setidaknya, teks perjanjian sudah dirumuskan dan akan dibahas lagi di Barcelona," katanya.

Setelah pertemuan Bangkok, para delegasi iklim itu memang akan bertemu untuk terakhir kalinya di Barcelona, Spanyol, 2-6 November nanti, sebelum pertemuan Copenhagen. Agus bertekad, delegasi RI akan menekan negara-negara industri agar sepakat menurunkan emisi. "Kalau kami gagal di Bercelona, negara maju bakal punya taktik menunda-nunda lagi. Tapi semua bekerja keras. Mudah-mudahan waktunya cukup," kata Agus .

Nur Hidayat, Miranti S. Hirschmann, Birny Birdieni, dan Syamsul Hidayat

***

Berau Memancing REDD

Banyak jalan menuju pengurangan emisi karbon. Protokol Kyoto memang membuka sejumlah skema untuk itu. Mulai skema perdagangan karbon (emissions trading), joint implementation, hingga mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism --CDM).

Terakhir kali, muncul REDD (reducing emissions from deforestation and degradation), skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD diusulkan sejak COP ke-11 di Montreal, Kanada, tahun 2005. Banyak negara menyambut metode ini, tetapi dengan cara dan pelaksanaan yang berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut aspek yang luas, mulai mekanisme pendanaan, ruang lingkup REDD, hingga perhitungan karbon.

Kini Indonesia tak ketinggalan memanfaatkan REDD lewat The Berau Forest Carbon Program (BFCP), yang diumumkan di sela-sela pertemuan Bangkok Climate Change Talks, Jumat dua pekan lalu. BFCP disebutkan sebagai program terpadu berskala daerah yang efektif mengusir emisi karbon sebanyak 10 juta ton selama lima tahun. Kawasan binaan BFCP akan terus diperluas hingga mencapai 800.000 hektare pada 2015. Selain itu, BFCP juga dinilai dapat menyelamatkan kekayaan biodiversitas dan memperbaiki fungsi-fungsi hidrologi.

"Ini menunjukkan, REDD dapat diandalkan untuk pembangunan berkesinambungan dengan tetap menghargai dan memperhatikan kepentingan warga lokal," kata Wandojo Siswanto, ketua delegasi RI untuk Departemen Kehutanan, dalam pertemuan Bangkok. Menurut Wandojo, BFCP memiliki program andalan yang memadukan berbagai kebijakan lingkungan. Itu termasuk tata ruang, manajemen lahan hutan dan agrikultur, serta proyek perhitungan jumlah emisi karbon pada tiap wilayah dan pengelolaan perekonomian hutan untuk warga sekitar.

Salah satu penyokong utama program ini adalah The Nature Conservancy (TNC), lembaga swadaya masyarakat yang getol bergerak dalam bidang konservasi alam. "Indonesia telah menunjukkan inisiatif dan kepemimpinannya dalam bidang lingkungan melalui program ini," tutur Andrew Deutz, Direktur International Government Relations TNC.

Harapannya, BFCP tak hanya memadukan berbagai kebijakan yang ada. Program ini juga didesain untuk mengatasi borok-borok lingkungan yang telah berurat-akar. Mulai pembalakan liar, perkebunan kelapa sawit, hingga perburuan satwa liar. Semua ini bakal berujung target menurunnya emisi karbon Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengumumkan penurunan emisi 26% pada 2020 dalam pada pertemuan tingkat tinggi G-20, akhir September lalu.

Apakah BFCP akan berhasil? Tentu saja fakta di lapangan yang bakal menjawabnya.

Nur Hidayat

Published: Gatra 50/ 28 October 2009

Popular Posts