Bintang Biru Konservasi Laut


Dua pejabat DKP mendapat penghargaan dari BGG, Jerman. Berkat pengabdian selama puluhan tahun mengurusi konservasi laut.

Suasana Indonesia mewarnai lobi Hotel SAS Radisson, Berlin, Jerman, pertengahan bulan lalu. Pada hari itu, ada acara inagurasi penghargaan Blue Starfish Award (Anugerah Bintang Laut Biru) kepada Agus Dermawan dan Eny Budi Sri Haryani Siswosusanto. Dua pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) itu dinilai berperan dalam upaya perlindungan terumbu karang (coral reef) dan habitat laut (marine habitat).

Penghargaan itu diberikan Berliner Gesellschaft fur Großaquarien (BGG) atau Asosiasi Akuarium Besar Berlin. BGG adalah perusahaan yang mengkhususkan diri pada habitat akuarium besar. Di lobi Hotel SAS Radisson terdapat akuarium raksasa berbentuk silinder setinggi 30 meter, yang berisi ikan-ikan dari laut tropis dari perairan Indonesia.

Di tengah tabung akuarium itu terdapat sebuah lift dua tingkat, tempat pengunjung menikmati keindahan ikan warna-warni. Dalam penganugerahan itu, hadir Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Eddy Pratomo. Penghargaan itu diberikan BGG bekerja sama dengan Turtle Foundation, Jerman, dan ZGAP (Zoologische Gessellschaft fur Arten un Populationschutz).

Agus Dermawan menyebutkan, penghargaan itu merupakan apresiasi dunia internasional pada upaya konservasi Indonesia. ''Dan saya hanya sebagian kecil dari itu,'' kata Agus, yang menekuni dan bekerja di bidang konservasi selama 25 tahun. ''Saya tidak pernah membayangkan akan mendapat penghargaan. Saya melakukan apa yang saya cintai,'' ujar pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 16 Mei 1960, itu.

Kertarikannya pada konservasi bermula ketika Agus meneliti penyu laut untuk skripsi di Fakultas Perikanan Institut Perikanan Bogor. ''Tahun 1982, saya melihat habitat penyu bertelur di Garut,'' katanya. Walaupun pesisir Indonesia luas, penyu hanya bertelur di tempat yang sepi. ''Dan hanya makan waktu dua-tiga jam,'' kata Agus pula.

Untuk meneliti itu, Agus tinggal selama tiga bulan di pesisir terpencil. Karier konservasinya dimulai pada 1984, ketika ia bekerja di Balai Konservasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. ''Hampir delapan tahun saya bekerja di situ,'' Agus menambahkan.

Delapan tahun berikutnya, ia menghabiskan waktu di Nusa Tenggara Timur untuk mengurusi penyu laut. Pada 1994, Agus membentuk Komite Nasional Konservasi Laut Indonesia. Anggotanya adalah unsur pemerintah pusat dan daerah serta lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri.

Pada 1998, Agus berkantor di Dinas Perikanan Departemen Kehutanan. Setahun berikutnya, ia dipromosikan untuk menjabat sebagai Kepala Sub-Direktorat Departemen Eksplorasi dan Perikanan. Terkait Blue Starfish Award, Agus menjelaskan, penghargaan itu tidak terbatas pada terumbu karang, melainkan juga biota laut dan keanekaragaman hayati kelautan.

''Kriterianya adalah komitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap upaya konservasi,'' katanya. Konservasi kelautan pernah dicetuskan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, yang ketika itu berkomitmen akan menetapkan kawasan konservasi laut seluas 10 juta hektare pada 2010. ''Tapi sekarang saja sudah 13,5 juta hektare,'' ujarnya.

Kondisi itulah yang menurut Agus menjadi satu hal yang diapresiasi dunia internasional. Agus memaparkan capaian yang menjadi faktor penilaian dewan juri. Yaitu adanya perangkat regulasi konservasi sumber daya ikan. Yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007. ''Kita memasukkan aspek konservasi sumber daya perikanan secara lebih intens dalam aturan baru itu,'' tuturnya.

Menurut Agus, dulu konservasi lebih pada upaya melindungi biodiversitas, tapi sering bentrok dengan nelayan. ''Dulu belum ada pengaturan yang jelas antara konservasi dan nelayan di kawasan konservasi itu,'' katanya. Dalam peraturan baru, terdapat dua terobosan. Yaitu kewenangan pengelolaan konservasi lebih pada pemerintah daerah sert harmonisasi antara konservasi dan ekonomi nelayan.

Maka, diadopsilah sistem zonasi kawasan perairan, yaitu pembagian kawasan menjadi tiga zona: zona inti atau tabungan ikan, pengembangan wisata, dan zona perikanan berkelanjutan. ''Jadi, ada ruang yang jelas bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan perikanan di kawasan konservasi, yakni di zona terakhir itu,'' Agus menjelaskan.

Pernah masyakat adat Lamalera datang ke kantornya memprotes penetapan kawasan Taman Nasional Laut Sawu. Mereka khawatir tidak bisa berburu paus yang telah menjadi tradisi. ''Ketika itu, saya menjelaskan bahwa konservasi tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar, yaitu perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan lestari,'' tutur Agus.

Akhirnya disepakati, wilayah Taman Nasional Laut Sawu tidak meliputi wilayah yang diminta masyarakat Lamalera. Selama menetapkan kawasan konservasi, Agus mengaku belum pernah mendapat resistensi dari masyarakat. ''Yang penting, memberi pemahaman tentang konservasi,'' katanya.

Meski sudah ada 35 kawasan konservasi di daerah, menurut Agus, masih ada tugas selanjutnya, yakni mengefektifkan pengelolaannya sehingga bisa langsung bermanfaat bagi masyarakat. Selain terjun ke lapangan, selama ini Agus juga menulis di jurnal nasional maupun internasional.

Dia pun aktif menjadi pembicara dalam berbagai forum konservasi kelautan di dalam dan luar negeri, mengajar di sekolah tinggi perikanan, dan membimbing skripsi bidang konservasi. ''Itu saya lakukan karena saya menikmati dan mencintai pekerjaan saya,'' ujar Agus.

Semua dedikasi itu mengantarkan Agus beroleh Anugerah Bintang Laut Biru. Kepala Pusat Data dan Informasi DKP, Soen'an H. Poernomo, mengapresiasi prestasi Agus dan Eny Budi itu. Menurut dia, penghargaan yang diberikan kepada dua orang dari DKP itu merupakan penghargaan dan pengakuan dari dunia luar terhadap Indonesia secara keseluruhan. ''Mereka aktif dalam penyusunan regulasi perikanan dan kerja sama dengan dunia luar," tutur Soen'an.

Itu pula yang disampaikan Presiden BGG, Uwe Abraham. Dia memaparkan alasan mengapa penghargaan tersebut jatuh pada Agus dan Eny Budi. ''Pak Agus dan Ibu Eny bekerja pada bidang yang amat penting dalam keragaman hayati laut, yaitu di kawasan segitiga terumbu karang di Indonesia," kata Abraham.

"Kami menganugerahkan penghargaan ini karena merekalah pemenang tersembunyi, yang menegakkan struktur hukum dalam perlindungan dan konservasi spesies,'' kata Abraham pula. Ia menyatakan bahwa pihaknya memonitor kegiatan dua penerima penghargaan itu selama dua tahun. Hasilnya, Agus dan Eny dapat menyisihkan sejumlah kandidat lain.

Para kandidat itu, antara lain, mereka yang berupaya keras dalam perlindungan lingkungan. Misalnya penjaga hutan di beberapa negara. Nominator dari Indonesia memegang peran penting dalam kelestarian keanekaragaman hayati dunia. ''Mereka punya andil penting dalam kebijakan konservasi lingkungan di laut dan pesisir. Mereka layak diberi penghargaan,'' Abraham menegaskan.

Meski demikian, Abraham menyayangkan, walaupun sudah ada beberapa kawasan taman laut, pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia masih dilingkupi sejumlah masalah. Sebab wilayah laut di Indonesia sangat luas dan sulit dikontrol. ''Peraturannya sudah baik, tapi pelaksanaannya masih kedodoran di sana-sini karena kurangnya rangers,'' katanya.

Rohmat Haryadi, Cavin R. Manuputty, dan Miranti Soetjipto-Hirschmann (Berlin)

Published: Gatra 43 /9 September 2009

Popular Posts