Laboratorium Dunia Bernama Indonesia

Amerika Serikat dan Jerman punya andil besar dalam program kelautan Indonesia. Peneliti Indonesia digambarkan sebagai kelompok yang luar biasa. Fantastis.
"Laboratorium Dunia". Sebutan indah ini disematkan masyarakat dunia untuk Indonesia. Lewat Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference --WOC), para pakar dunia menahbiskan Indonesia --negara kepulauan yang kaya keanekaragaman hayati, baik di darat maupun lautan-- sebagai objek penelitian yang paling diburu.

Lihat saja, berbagai presentasi seminar, penelitian, dan pameran yang dipaparkan dalam WOC sebagian besar menyangkut Indonesia. Tamu asing yang banyak berperan dalam sistem kelautan Indonesia, antara lain, Amerika Serikat dan Jerman. Betapa tidak, selama dua hari pertama acara WOC, delegasi Indonesia sibuk mengadakan perbincangan khusus dengan mereka.

Pada hari pertama, delegasi Indonesia bertemu delegasi Amerika. Keesokan harinya, dilakukan pembicaraan bilateral tertutup Indonesia-Jerman untuk berbagai kerja sama teknologi dan penelitian kelautan. Acara itu masih dilanjutkan dengan presentasi dan pameran berbagai hasil penelitian Indonesia-Jerman di Manado Convention Center, yang dikenal dengan proyek SPICE (Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine Ecosystem II).

Sejumlah petinggi Amerika memang tak hadir dalam arena WOC, tetapi bukan berarti tidak ikut serta. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, menyempatkan diri menyampaikan pidato jarak jauh. Lewat telekonferensi, Hillary Clinton memberi selamat kepada Indonesia yang menjadi tuan rumah konferensi yang membawa isu amat penting itu. Katanya: ''Kita harus melakukan lebih banyak hal untuk melindungi laut kita dan menjaga kesehatan planet kita dan orang-orang yang tinggal di dalamnya."

"WOC memberi kesempatan kepada seluruh dunia untuk bersatu dalam satu kekhawatiran yang sama, dan saya mendorong Anda semua untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya secara bersama,'' ujar Hillary.

Selain itu, Hillary juga menegaskan tentang keterkaitan sistem kelautan dengan perubahan iklim global. Langkah-langkah internasional, masih kata Hillary, sangat diperlukan untuk menemukan solusi ilmiah atas berbagai masalah yang dihadapi.

Benar saja, lewat berbagai proyek USAID, yang terfokus pada proyek perlindungan wilayah pesisir dan kelautan, Amerika mengucurkan total dana US$ 41,6 juta, US$ 1,6 juta diantaranya akan mengalir lewat program CTI.

***

Kehadiran Amerika dalam berbagai proyek penelitian dan keilmuan di Indonesia diakui Richard Spinrad, Asisten Administrator untuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric Research). ''Ini untuk menunjukkan kapasitas kami dalam bidang kebijakan dan ilmu pengetahuan,'' kata Spinrad.

Menurut Spinrad, mencapai pengertian bersama mengenai pencegahan pemanasan global hanya dapat dilakukan melalui kerja sama internasional. Amerika Serikat pun berniat meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu proyek kerja sama itu adalah pembangunan sistem peringatan dini tsunami dan penelitian iklim. NOAA mengembangkan berbagai teknologi terkini untuk penelitian, ''Sedangkan Indonesia menyediakan berbagai kapal ekspedisi yang mendukung penelitian itu,'' ujar Spinrad.

Jerman juga tak ketinggalan. Mereka mengirim Reinhold Ollig dari Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman untuk memimpin delegasi. Ollig mengatakan bahwa pertemuan bilateral hari pertama merupakan steering committee yang membahas revisi proyek-proyek kerja sama dengan Indonesia yang tengah dijalani bersama Kementerian Ristek, DKP, BPPT, dan LIPI.

Keduanya membahas rencana mendatang mengenai penelitian bumi yang fokus pada kelautan dan geologi. Perluasan aktivitas ini dilakukan karena Jerman telah memiliki pusat penelitian baru untuk marine aquaculture di Buessum, Jerman Utara.

Indonesia dipilih sebagai salah satu pusat penelitian Jerman, kata Ollig, karena merupakan negara kepulauan terbesar dunia dan laut memegang peran penting dalam menentukan iklim. Juga karena Indonesia memiliki banyak potensi energi geotermal.

Indonesia dan Jerman memasuki tahun ke-30 dalam kerja sama teknologi dan penelitian. Prof. Dr. Venu Ittekkot, Kepala Proyek Penelitian SPICE II, mengatakan bahwa kerja sama itu dimulai dengan kerja sama institusi penelitian Jerman di Hannover dengan BPPT, yang meneliti tentang masalah geologi kelautan Indonesia.

Fase berikutnya dilanjutkan dengan berbagai kegiatan pertukaran mahasiswa dan pengiriman dosen yang didukung institusi pendidikan Jerman (DAAD) dalam pembentukan fakultas-fakultas yang memfokuskan pada studi kelautan.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Indroyono Soesilo, disebut-sebut pernah merintis kerja sama dengan para peneliti Jerman pada 1990-an. Saat itu, di Hamburg, lahir satu proyek penelitian pertama mengenai bumi dan laut sebagai kerja sama Jerman-Indonesia. Salah satunya adalah penelitian mengenai polusi di Sungai Brantas. Sejak itu, kerja sama antara DKP, Ristek, dan Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman terus berlanjut.

Kemudian lahirlah proyek semacam SPICE yang didukung pemerintah negara masing-masing, sedangkan penelitiannya berada di berbagai kota di provinsi, dengan berbagai topik penelitian yang berkaitan dengan ekologi laut dan pesisir. Misalnya penyakit-penyakit terumbu karang di Sulawesi Selatan, masalah menciutnya kawasan mangrove di Purwokerto, hingga polusi sungai-sungai besar di Pekanbaru.

***

Proyek SPICE dibagi dalam enam cluster yang memfokuskan pada masalah ekosistem yang berbasis terumbu karang, studi ekologi, serta sosio-ekonomi dinamis dan interaksi di Laguna Segara Anakan, ekologi, dan aquaculture (perikanan). Juga dampak pertemuan darat-laut di sungai besar di Sumatera Timur dan kesehatan ekosistem terumbu karang, geologi kelautan, serta biokimia dan cluster 6 yang membahas manajemen sistem sosial ekologi pesisir.

Prof. Ittekkot menegaskan bahwa dari sekian proyek yang pernah ia ikuti dan ia pimpin, kerja sama dengan Indonesia-lah yang paling adil dan menguntungkan bagi kedua pihak. ''Apalagi, keduanya mendiskusikan berbagai ide, dan segalanya dilakukan dari nol,'' katanya.

Prof. Ittekkot tak lupa memuji para peneliti Indonesia yang digambarkannya sebagai kelompok yang luar biasa. ''Yang mereka butuhkan adalah sedikit dorongan, lalu 'boom', mereka akan bekerja dengan keras. Fantastis!'' kata Prof. Ittekkot.

Keuntungan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia nantinya tidak hanya ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat setempat. ''Bukan semata-mata untuk kepentingan Jerman, melainkan juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan secara universal,'' ujar Prof. Ittekkot.

Bantuan Jerman lainnya dilalirkan melalui proyek konservasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur. Nilai bantuan ini mencapai 531.000 euro untuk periode kerja Desember 2008 hingga Februari 2010. Proyek konservasi ini merupakan sister project dengan Kimbe Bay, yang juga merupakan kawasan perlindungan laut di Papua Nugini.

Konservasi Laut Sawu seluas 3,5 juta hektare itu meliputi wilayah perairan Selat Sumba dan wilayah perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek. Laut Sawu merupakan tempat migrasi 14 spesies dari 27 spesies Cetacean yang ada di dunia, termasuk paus jenis blue whale dan sperm whale yang langka. Juga habitat hidup empat jenis penyu, 336 spesies ikan, dan 500 jenis karang.

Tadinya, kawasan itu direncanakan meliputi daerah Lamalera dan Lembata, yang masih menjadi tempat perburuan ikan paus secara tradisional. Namun, karena beberapa alasan, dimasukkannya kawasan itu ke areal konservasi masih tertunda.

Peresmian yang diselenggarakan dalam sebuah ruang seminar di Hotel Sintesa Penninsula, Manado, itu nyaris terlewatkan karena berbagai acara yang diselenggarakan WOC. Konservasi ini merupakan bukti komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kawasan konservasi laut menjadi 10 juta hektare pada 2010 dan 20 juta hektare pada 2020.

Miranti Hirschmann (Manado)

Published: Gatra 28/ 27 May 2009

Popular Posts