Idol Indonesia Mentas di Eropa



Reza Ningtyas Lindh (Celeb Media Posh24 AB)Reza Ningtyas Lindh, 28 tahun, masih mengingat saat-saat dirinya tampil pada final "Swedish Idol", ajang pencarian penyanyi berbakat di Swedia. Usai Reza melantunkan tembang When I Need You, panitia tiba-tiba menayangkan rekaman video di layar belakang panggung. Buat Reza, video itu sangat istimewa karena berisi pesan restu sang ibunda dan adik-adiknya tercinta dari Jakarta. Orangtua dan saudara-saudara Reza memang tak bisa hadir memberikan dukungan lantaran terganjal masalah visa.
Kontan, Reza terharu. Tubuhnya bergetar, air matanya pun terus mengalir, hingga sang pembawa acara memeluknya berkali-kali. Reza adalah satu dari sekian warga negara Indonesia yang sukses mencari peruntungan lewat ajang pencarian penyanyi berbakat ala "American Idol" itu.

Penampilan Reza di sepanjang ajang itu selalu mengundang kekaguman. Bahkan, di salah satu sesi final, ketiga juri memberikan standing ovation ketika Reza usai menyanyikan tembang New York, New York. Akhirnya Reza berhasil meraih posisi kelima dalam ajang tersebut. Kontrak rekaman selama satu tahun plus tur ke berbagai kota di Swedia pun dapat dia sabet.

Kini Reza menikmati kesuksesan kariernya sebagai penyanyi dengan jadwal show yang padat. Pada saat Gatra menghubunginya via telepon, beberapa waktu lalu, dia mengaku sedang mempersiapkan show untuk sebuah gala yang dihelat pabrikan mobil Volvo. Esok harinya, dia sudah ada jadwal menyanyi di gala komunitas gay di Stockholm.

Semua itu tak pernah diduga Reza sebelumnya. Maklum, dia "kecemplung" di ajang itu secara tidak sengaja. Ia dijebak teman-temannya karena tak pernah mau ikut ajang semacam itu. Pada sebuah akhir pekan, Reza dijanjikan teman-temannya untuk dijemput dan ramai-ramai pergi ke Kota Malmo untuk makan dan menonton. Eh, ternyata Reza malah diantar ke casting "Swedish Idol".

Semangat Reza, yang ketika masih tinggal di Indonesia memang berprofesi sebagai penyanyi, pun seolah tersulut lagi. Padahal, sejak menikah dan pindah ke Swedia, ia sempat melupakan kariernya sebagai penyanyi. Reza disibukkan dengan kegiatan mengikuti kursus bahasa Swedia dan mengurus rumah tangga. Belakangan, ia malah berprofesi sebagai asisten koki di sebuah perusahaan katering.

Dengan bakatnya, Reza pun berhasil membawa dirinya hingga ke final. Sejak masuk babak final "Swedish Idol", Reza mendapat penggemar setia yang menunggu di lobi hotel. Bahkan ada sekelompok gadis remaja yang berhasil menembus petugas keamanan dan menemukan kamarnya. "Mereka senang sekali. Tak tahu harus bilang apa. Jadinya mereka hanya menjerit-jerit senang dan foto-foto di dalam kamar saya," kata Reza kepada Gatra.

Yang paling berkesan bagi Reza adalah kiriman hadiah dari para penggemar, yang tak hanya berupa bunga, cokelat, atau boneka beruang. Ada juga berbungkus-bungkus mi instan dan cabe! Ini mungkin gara-gara ketika penayangan kegiatan sehari-hari para finalis di luar panggung, Reza kedapatan selalu membekali diri dengan mi instan, kecap, dan sambal. Bahkan di kamar hotel tempat finalis dikarantina, tiga barang itu tak pernah absen.

Akhirnya Reza bertekad bulat meninggalkan pekerjaannya di perusahaan katering demi profesi sebagai penyanyi. "Menyanyi dan musik adalah mimpi saya sejak kecil. Saya ingin hidup dari musik," katanya. Peluang itu sekarang telah terbuka. Setahun ke depan, jadwal Reza sudah padat untuk tur promo album dan menyanyi solo di sejumlah kota di Swedia. "Saya yakin akan tetap menjalankan profesi ini," ia menegaskan.

GATRA (Dok. GATRA)

Keberhasilan Reza adalah salah satu kisah sukses orang Indonesia di ajang menyanyi di Eropa. Di negara lain, beberapa WNI juga mencoba beradu peruntungan menjadi penyanyi beken lewat ajang serupa. Sri Mulyani Haendly, misalnya. Wanita berusia 28 tahun ini nekat maju ke ajang "DSDS" alias "Deutschland Sucht den Superstar" ("Jerman Mencari Superstar").

Pada penampilan perdananya dalam acara yang ditayangkan stasiun televisi RTL itu, penampilan Sri lumayan mengundang perhatian juri. Berbeda dari peserta kulit putih yang berdandan heboh, Sri tampil cuek. Dia mengenakan sepatu bot, celana hitam, blus hijau longgar, dan ikat pinggang. Ketika dipanggil maju ke panggung pun, dia terlihat demam panggung. Senyumnya malu-malu, tapi sorot matanya percaya diri.

Sebelum ditanya Dieter Bohlen, artis/komposer tersohor Jerman yang menjadi juri utama, Sri dengan sopan memperkenalkan diri. "Saya berasal dari Bali, Indonesia," kata Sri dalam bahasa Jerman. Kontan, dia diminta memperagakan tari Bali. Tanpa canggung, Sri pun memperagakan beberapa gerakan tari Bali dengan lirikan mata khasnya. Usai menari, Sri tampil garang dengan menembangkan lagu Sweet Child O` Mine milik grup metal Guns N` Roses.

Para juri jelas kaget atas pilihan lagu Sri itu. Mereka tampak kikuk melihat gaya rock n` roll Sri. Usai bernyanyi, giliran Sri yang nervous melihat lirikan heran para juri. "Apakah saya menyanyi terlalu keras?" tanya Sri khawatir. Untunglah, ketiga juri itu menggelengkan kepala sambil masih tersenyum-senyum tak percaya atas aksi panggung Sri yang bak rocker profesional itu.

Total, Sri tampil selama 20 menit dalam acara audisi itu, meski yang ditayangkan hanya sekitar lima menit. "Saya harus menyanyi dua lagu," kata Sri ketika dihubungi Gatra. Ia harus menunggu enam jam untuk mendapat giliran audisi di Museum Cokelat, Koeln. Sri mengaku, sebelumnya tak pernah menonton acara "DSDS" karena kesibukannya menyanyi setiap akhir pekan. Ia ikut acara ini lantaran didaftarkan rekan-rekan anggota band.

Sri adalah vokalis kelompok band Blue Bird yang kerap tampil dalam acara ulang tahun atau pernikahan. Sebelum berkelana di Jerman, ia memang berprofesi sebagai penyanyi di restoran dan kafe di Legian, Bali. Mulanya sekadar hobi sembari mencari uang tambahan untuk kuliah. Namun profesi sampingannya itu mendapat tentangan dari orangtua. "Mana ada orang datang ke kafe sore-sore?" ujarnya sambil tertawa mengingat masa itu.

Petualangannya bernyanyi di Bali itulah yang akhirnya membawa Sri terbang ke Jerman. Suatu kali, ketika menyanyi di suatu kafe di Bali, Sri bertemu dengan Stefan Haendly, yang akhirnya menjadi suaminya. Stefan-lah yang memboyong Sri ke Jerman, lantaran menyanyi di Bali pada saat itu dirasa tak nyaman. Tahun 2002, pada saat bom meledak di Sari Club, Sri tengah unjuk suara di sebuah kafe yang terletak persis di sebelah Sari Club.

Ketika didaftarkan ikut acara "German Idol" itu, mulanya Sri tidak pede. Maklum, kemampuan bahasa Jermannya masih belum mumpuni. Ia sempat kebat-kebit, khawatir tak dapat menjawab pertanyaan juri, apalagi di hadapan kamera televisi. "Kalau di publik pesta tidak masalah. Mereka senang-senang. Tapi, kalau di depan kamera televisi, saya deg-degan," katanya.

Tapi perjuangannya tak sia-sia. Sri berhasil maju ke babak 60 besar, menyisihkan sekitar 35.000 peserta yang datang dari seluruh Jerman. Angka ini merupakan yang terbanyak selama tujuh musim "German Idol" digelar. Maklum, acara itu memang menjadi favorit pemirsa RTL sejak tujuh tahun terakhir ini. Acara yang ditayangkan saban Sabtu malam itu selalu kebanjiran peserta. Walhasil, pada tahun ini, casting-nya diadakan di 20 kota. Namun penayangannya hanya di tiga kota, yaitu Hamburg, Munich, dan Koeln.

Sayang, langkah Sri di ajang "German Idol" terhenti di babak itu. Dia gagal masuk 30 finalis yang diterbangkan ke Kepulauan Caribic untuk audisi selanjutnya. Sri kecewa karena pada saat keputusan diumumkan, ketiga juri tidak mengatakan alasan mengapa ia tak lolos. Beruntung, bertepatan dengan malam Natal, keluarga suami Sri di Jerman yang setia medukung menghadiahi Sri tiket ke Bali bersama putri semata wayangnya, Olivia Tirta, 5 tahun.

Sri mengaku senang bisa mengunjungi keluarga sekaligus melupakan kesedihannya. Dengan bangga dia menunjukkan cuplikan casting di Jerman lewat internet. Dia pun kini kembali sibuk bekerja sebagai vokalis bandnya, yang manggung setiap Sabtu-Minggu. Pekerjaan ini, bagi Sri, lumayan berat, meski menyenangkan.

"Di Jerman, Sabtu dan Minggu adalah waktu untuk acara keluarga. Saya malah pergi menyanyi," tuturnya. Sementara dia berkelana, si kecil Olivia dijaga ayahnya, "Tahu sendirilah, hidup di Jerman apa-apa harus sendiri. Tak ada pembantu atau keluarga yang bisa dititipi anak tiap waktu. Tapi saya senang menjalankannya." Inilah komitmen berat pasangan Sri-Stefan.

GATRA (Dok. GATRA)

Jejak Sri di Jerman diikuti warga Indonesia lainnya, Erva Yudissa, 31 tahun. Pada Oktober lalu, Erva pun ambil bagian dalam audisi "Das Super Talent" musim ketiga yang juga ditayangkan RTL. "Das Super Talent" adalah acara semodel "America`s Got Talent" versi Jerman. Di sini, para calon bintang beradu keahlian di panggung dengan berbagai atraksi, dari menyanyi, bermain musik, hingga berakrobat. Hadiahnya, uang senilai 100.000 euro.

Dalam audisi ajang itu, Erva membawakan lagu Unbreak My Heart milik Toni Braxton. Dengan suara jazzy-nya, Erva memukau ratusan penonton audisi dalam sebuah gedung opera. Ia pun berhak masuk ke babak 100 besar, menyisihkan sekitar 6.000 peserta. Sayang, langkahnya terganjal di babak pemilihan paruh final dengan 30 finalis.

Mengaku gemar menyanyi sejak kecil, Erva selalu mencari peluang untuk tetap menyanyi lewat berbagai ajang kontes. "Menyanyi sudah menjadi kebutuhan rohani saya, bukan lagi sekadar hobi," ujarnya kepada Gatra. Dalam kontes "Asia Bagus" babak ketiga grand championship di Tokyo, Jepang, pada 1993, Erva berhasil meraih posisi runner-up.

Sejak menikah dan tinggal di Jerman pada 2006, Erva mencari berbagai kesempatan untuk tetap menyanyi, antara lain mengisi acara di KBRI Berlin. Erva adalah vokalis freelance pada berbagai grup band.

Berbeda dari Sri yang didorong teman, Erva ambil bagian dalam show "Das Super Talent" itu karena acara ini merupakan salah satu program yang mendapat rating tinggi di Jerman. Pada 2007, tercatat acara ini ditonton sekitar 6,7 juta penonton. Erva mengaku kecewa tak masuk babak berikutnya. Sebab, setelah mengikuti berbagai tahap audisi, harapannya untuk menang sempat tumbuh.

Tapi ia tak kapok dan bertekad akan mencoba lagi di ajang lain. Bagi Erva, untuk bisa sukses sebagai penyanyi di Eropa, tantangannya memang berat. Di Berlin, tempatnya kini meniti karier sebagai penyanyi, sangat sulit menjadikan menyanyi sebagai profesi utama. "Kualitasnya harus baik sekali," katanya. Erva membandingkannya dengan di Asia, tempat dia menjalani 11 tahun hidupnya sebagai penyanyi.

Di Asia, kata Erva, setelah menyanyi menjadi rutinitas, kualitas suara biasanya menurun. Sedangkan di Eropa, Erva dapat menjaga kualitas suaranya karena tidak harus menyanyi setiap hari. Satu hal yang juga harus dipenuhi, menurut Erva, adalah kemampuan berbahasa Jerman yang baik. Makanya, di samping menyanyi, ia rajin mengikuti kursus integrasi bahasa Jerman.

GATRA (Dok. GATRA)

Gemerlap panggung dan ketenaran memang menjadi mimpi sebagian pengelana RI di Eropa. Ketenaran dan kesuksesan Sandy Sondoro, 36 tahun, di Jerman adalah bukti bahwa mimpi bisa diraih lewat kerja keras. Sandy meniti karier dari bawah dengan mengamen di stasiun-stasiunsubway di Berlin. Dari sana, Sandy melompat ke ajang penyanyi muda berbakat pada 2008, yang dimotori Stefan Raab, tokoh entertainment Jerman papan atas.

Dari ajang itulah jalan Sandy pada ketenaran terkuak. Usai meraih posisi kelima di ajang itu, ia kembali mencoba peruntungan di ajang kompetisi bagi musisi muda di New Wave, Rusia, yang diadakan di Jurmala, Latvia, tahun lalu. Di situ, ia menyabet juara pertama, dan kariernya semakin meroket.

Sekarang suara Sandy dapat didengar lewat stasiun-stasiun radio yang memutar lagu-lagu hit miliknya, seperti Malam Biru (Blue Night My Lover). Dia juga telah mengeluarkan album dengan judul Why Don`t We, yang berisi 12 lagu berbahasa Inggris. Dengan itu, Sandy mewujudkan mimpinya menjadi warga dunia. "Aku ingin tinggal di mana saja, yang indah, karena aku penduduk dunia," ujarnya kepada Gatra.

M. Agung Riyadi, dan Miranti S. Hirschmann (Berlin)
[HiburanGatra Nomor 17 Beredar Kamis, 4 Maret 2010] 
http://arsip.gatra.com//2010-03-14/artikel.php?id=135778

Popular Posts