Deklarasi Berlanjut ke Diplomasi

Penyelenggaraan WOC terkesan tidak siap dan dipaksakan. Laut berpotensi menyerap karbon dioksida. Indonesia harus mendapat keuntungan ekonomi dan konservasi kelautan. Caranya, berdiplomasi sejajar dan mengetahui detail anugerah serta musibah kelautan maupun daratan di Tanah Air.

Baliho jumbo berbaris tegak di berbagai jalan di kota Manado. Iklan jalanan itu mengusung hajatan dunia bertajuk World Ocean Conference(WOC). Wujud kelirnya berpendar sepanjang siang dan malam. Grafis gambarnya pun jernih dan menarik perhatian insan yang melewatinya.

Bahkan sebagian warga kota berpenduduk satu juta jiwa itu memanfaatkannya sebagai latar pemotretan. Mereka yang berfoto-ria itu anak remaja, dewasa, pasangan sejoli, dan kelompok keluarga yang datang dari beragam kota di Provinsi Sulawesi Utara. ''Masyarakat sini (Manado) menyukai keramaian. Lagi pula, itu so gratis,'' ujar Andre, 36 tahun, dengan dialek khas Manado-nya, Jumat pekan lalu.

Sopir sewaan itu sempat kaget menyaksikan keceriaan warga Kawanua tersebut. Mereka tak biasanya berpose di muka baliho. Apalagi, itu dilakukan di pinggir jalan raya. Tapi Andre memakluminya. Sebab, di daerah dengan luas 15.726 hektare itu, katanya, untuk kali pertama digelar acara internasional. ''Sudah besar, acara itu juga berlangsung lama,'' kata Andre.

Agenda besar yang menggaung ke seluruh jagat itu bernama Konferensi Kelautan Dunia atawa WOC dan CTI (Coral Triangle Initiative)Summit,yang berlangsung selama sepekan, 11-15 Mei lalu. Dua acara itu digelar di tiga titik kawasan di kota Manado.

Pertama, acara seremonial yang terpusat di Grand Kawanua Novotel International Convention Center, di Jalan A.A. Maramis. Kedua, di seberang gedung seluas 6 hektare itu berlangsung ekshibisi kerakyatan Provinsi Sulawesi Utara. Di area ini dipajang segala potensi kelautan dan daratan belahan bumi Indonesia Tengah. ''Pamerannya sangat meriah,'' kata Menix Seke, pengunjung asal kota Manado.

Ketiga, Manado Convention Center di bilangan Boulevard Raya menjadi terminal aktivitas pula. Di dalam gedung di tepian pantai itu berlangsung simposium internasional. Hadir dalam forum ilmiah bergengsi itu, para pakar kelautan dan lingkungan dari berbagai negara.

Perhelatan elite yang diorganisasikan PT Pacto Convex itu tak hanya mengejutkan penikmat jalan raya untuk berakting di depan kamera. Puluhan hotel di kota itu juga mendadak penuh. Terpaksa rombongan wartawan dan beberapa instansi pemerintah pusat menginap di rumah penduduk yang dekat dengan lokasi acara. ''Untungnya saya punya teman asli Manado,'' kata seorang wartawan asal Yogyakarta.

Menjelang pembukaan WOC, kawasan Grand Kawanua Novotel International Convention Center itu masih dipenuhi buruh bangunan. Mereka sibuk merampungkan taman dan tulisan di beranda kompleks itu. ''Taman itu akan diabadikan sebagai monumen hasil hajatan dunia tersebut,'' ujar Widijanto, pemilik kawasan itu, yang membangunnya sejak 16 bulan silam.

Di pusat acara dunia itu sesekali terjadi gangguan listrik, dan persoalan ini segera usai. Tapi, di luar kawasan itu, Rudi Handiko, nelayan asal Bunaken, bertanya, mengapa komunitas nelayan tak diajak berembuk dalam sidang WOC itu. Ia menyesalkan, yang hadir hanya ''nelayan berdasi''. Sebab bahasannya yang elitis kerap berujung rebutan proyek-proyek di pesisir pantai.

Merasa tak diundang, Rudi dan ratusan aktivis nelayan lainnya menggelar aksi konvoi berperahu. Bersama penduduk beberapa desa di Bunaken, mereka bergerak menuju Pantai Malalayang, Manado. Tapi, di tengah jalan, mereka ditahan polisi perairan. ''Pergerakan kami selalu ditahan, bahkan diintimidasi, sehingga selama sepekan kami tak boleh melaut,'' kata aktivis itu.

Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, menyatakan permohonan maaf kepada semua pihak karena ketidakberesan penyelenggaraan WOC di Manado itu. "Saya mohon maaf. Saya memang mengambil tanggung jawab itu," kata Sarundajang kepada wartawan, selepas membuka simposium WOC di Manado Convention Center, Selasa pekan lalu.

***

Pertemuan internasional itu membahas isu kelautan terkini yang berkorelasi dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menjelaskan bahwa dalam WOC dibahas pula soal laut yang berpotensi sebagai penyerap karbon dioksida (carbon sink). ''Laut punya peran dalam menyerap karbon. Itu diakui di dunia internasional,'' kata Freddy, yang juga Ketua Harian Panitia Nasional WOC.

Namun itu tak berlaku di kalangan aktivis lingkungan. Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), M. Riza Damanik, meragukan bahwa laut dapat dijadikan sebagai lahan penyerapan karbon. Sebab, bagi Riza, dasar ilmiahnya masih diperdebatkan sejumlah pakar dan ahli kelautan. Bila dipaksakan, lanjut Riza, justru laut akan menerima tambahan pencemaran.

Menurut Riza, dalam kajiannya belakangan ini, ada prinsip dasar bahwa karbon yang tidak sama keberterimaannya antara di hutan dan laut. Penyerapan karbon di hutan yang hingga kini belum optimal sangat berbeda dari sistem di laut. Sehingga laut tak maksimal menyerap karbon organik. ''Yang jelas, prinsip keilmuan tentang laut sebagai penyerap karbon masih menjadi kontroversi,'' ia menegaskan.

Rizald Max Rompas, ahli kimia oseanografi, menyatakan bahwa laut memiliki peran penting dalam mengurangi karbon yang berlebihan. Baik itu karbon yang tersebar di udara maupun di laut. Karbon di udara merupakan hasil produksi industri. Sedangkan karbon di laut hasil pengikisan di darat, biasanya buangan dari manusia. Inilah yang disebut karbon organik (antropogenic).

Peran laut dalam pemanasan global dan perubahan iklim, Rizald melanjutkan, karbon di udara bisa diserap laut lewat air yang datang ke laut. Lalu laut pun memproduksi oksigen. Mekanisme kerjanya lewat tumbuh-tumbuhan (phyto) dan organik kecil (plankton) di laut yang bisa menerima sinar matahari.

Dari situ berjalan fotosintesis, dan keluarlah oksigen dari klorofil. Oksigen di laut tak langsung diserap bumi. Ia terikat oleh air. Untuk keluar dari ikatan itu, kata Rizald, harus ada agitasi air berupa gelembungan menuju permukaan laut. Kemudian terbitlah oksigen yang siap diserap bumi dan dihirup manusia. ''Proses produksi oksigen di laut secara prinsip kerja tidak berbeda dengan di hutan,'' katanya.

Menurut Rizald, jika di hutan oksigen dari klorofil bisa langsung dihirup bumi, di laut tak bisa secara langsung karena oksigen diikat oleh sifat air itu. Secara matematis, kata Rizald, oksigen dari laut dua kali lebih lambat ketimbang di hutan. Tapi, kalau air laut tercemar polutan, tingkat kelambatannya bertambah lima hingga enam kali lipat.

Bagaimanapun, Freddy melanjutkan, produk WOC itu berupa komitmen bersama mewujudkan Manado Ocean Declaration (MOD). Deklarasi Manado ini telah diterima dan didukung sepenuhnya oleh 423 delegasi dari 76 negara dan 11 organisasi dunia (intergovermental organization --IGO) selaku pesertasenior officials meeting, sebuah pertemuan para pejabat tinggi negara.

Deklarasi yang berlangsung di ruang Grand Kawanua 3, Selasa pekan lalu, itu menghasilkan lima lembar komitmen. Lembaran itu berisi 21 poin, yang setiap paragrafnya menyatakan kesepakatan umum terkait dengan konservasi kelautan dan lingkungan. Sehingga laut terpelihara dalam ranah ekosistem yang juga menguntungkan manusia. Termasuk ancaman polusi di laut yang harus selalu dibersihkan.

Dokumen deklarasi itu menyebutkan, isi kandungan MOD melengkapi Protokol Montreal (1987), Deklarasi Rio De Janeiro (1992), Protokol Kyoto (1997-1999), Deklarasi Johanesburg (2002), dan Bali Roadmap (2007). Bila Bali Roadmap belum menyentuh kelautan, maka MOD memfokuskan pada kelautan dengan tetap menyinggung isu perubahan iklim dan pemanasan global.

KetuaSenior Officials MeetingWOC, Eddy Pratomo, menyatakan bahwa Deklarasi Manado itu punya capaian besar. Terutama dipandang dari dua dimensi, yakni ekonomi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan generasi mendatang. Lalu menyangkut lingkungan hidup dan perubahan ikllim. ''Ini kali pertama di dunia, sebab MOD membahas laut dan perubahan iklim,'' ujarnya.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman itu menambahkan, tak sedikit kepentingan Indonesia masuk dalam MOD. Sebab, selain MICE (meeting, incentive, convention and exhibition), proyek proposalnya dipastikan masuk dalam salah satu bahasan dan keputusanConference of Party(COP) XV UNFCCC di Copenhagen, Denmark, Desember mendatang. ''Itu semua bermula dari Manado,'' katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan dalam sambutannya, tanpa kelautan yang dijadikan sebagai sumber protein dan gizi lainnya, setengah penduduk dunia akan kelaparan. Belum lagi praktek eksploitasi kawasan pesisir dan kelautan yang menurunkan sumber daya berharga.

''Kita harus menghentikan kerusakan sumber daya kelautan dan pesisir. Apa yang kita lakukan di WOC ini bukan untuk membuat sebuah proses baru. Tapi memperkuat dan melengkapiUnited Nations Framework of the Convention of the Climate Change (UNFCCC),'' ujar SBY.Yang lebih penting dilakukan tentu setelah WOC itu selesai.

Teguh Rahardjo, Deputi Bidang Program Riset dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, menyatakan bahwa Indonesia harus mempertahankan semangat diplomasi kesetaraan dan menonjolkan aset lingkungan yang menguntungkan negara dan dunia.Caranya, menurut Teguh, pengetahuan tentang apa saja yang dimiliki Indonesia harus selalu diketahui warga negaranya. Dengan mengetahui kekayaan alam itulah, Indonesia bakal tahu bila ada kecurangan atau pencurian ilmiah. ''Kuncinya, mengetahui secara detail soal kekayaan alam yang terkandung di Tanah Air,'' Teguh menegaskan.

Deni Muliya Barus (Manado), Miranti Hirschmann, dan Nur Hidayat

-----------------------------------
Deklarasi CTI: Mendapat Emas atau Sampah?

Banjir dana. Begitulah yang terjadi dalam program Coral Triangle Initiative (CTI). Program internasional ini memang mendapat tempat istimewa dalam Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, 11-15 Mei lalu. Sebanyak enam kepala negara, yakni Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Malaysia, membubuhkan tanda tangan dalam suatu deklarasi CTI.

Ketika itu pula, sejumlah komitmen pengucuran dana untuk CTI diumumkan.''Keseluruhan dana yang akan dikucurkan bagi proyek CTI ini telah mendekati angka maksimal US$ 300 juta,'' tutur David S. McCauley, pakar perubahan iklim dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Dana itu berasal dari berbagai negara dan lembaga internasional. Salah satunya berasal dari proyek kerja sama The Global Environmental Facility (GEF) dan ADB yang mencapai US$ 63 juta.

Sebanyak US$ 45,5 juta atau 76% di antaranya telah direalisasikan untuk sembilan proyek konservasi yang dilaksanakan di enam negara anggota CTI. ''ADB memang aktif memobilisasi dana dari berbagai negara dan mitra LSM. Konsep CTI memang cocok dengan misi ADB,'' kata McCauley.

Tak hanya lembaga internasional, banyak juga lembaga non-pemerintah (LSM) internasional yang ikut bergotong royong menggalang dana. ''Kami pun membantu memobilisasi dana hibah khusus pada kegiatan regional plan of action dalam CTI,'' ujar Rili Djohani, Director The Nature Conservancy (TNC). Lembaga ini sejak awal menjadi pelopor, penggerak, sekaligus menjadi penggalang dana CTI. ''Berbagai dana itu digunakan untuk membangun jaringan kerja serta memberdayakan masyarakat kelautan,'' tutur Rili.

Guyuran dana yang lumayan kencang itu tentu membuat banyak kepala negara anggota CTI makin bersemangat. ''Lebih dari 80% penduduk Timor Leste bergantung pada mata pencaharian sumber daya alam pesisir dan laut,'' kata Menteri Perikanan dan Pertanian Timor Leste, Mariano Assanami Sabino. Menurut Sabino, inilah untuk pertama kalinya Timor Leste menjadi peserta dalam sebuah kesepakatan lingkungan internasional.

Tak pelak lagi, WOC dan CTI ini telah membuka mata dunia tentang pentingnya lautan. Ia menjadi harta karun tiada duanya bagi Indonesia dan sejumlah negara kepulauan lainnya. Pakar lingkungan kawakan, Prof. Emil Salim, berharap masalah kelautan dapat masuk dalam arus besar masalah perubahan iklim dunia. ''Kami berharap, sedapat mungkin dalam pertemuan COP-15 (UNFCCC/Conference of Parties) di Copenhagen nanti memuat masalah kelautan sesuai dengan amanat Deklarasi Manado,'' ujar Emil.

Harapan senada dikemukakan Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam WOC. Selama ini, menurut Sarwono, masalah kelautan seakan-akan tidak mendapat tempat dalam forum-forum internasional, termasuk PBB. ''Dengan adanya WOC, masalah kelautan akan mendapat 'rumah' di PBB,'' tutur Sarwono. Selain itu, Sarwono melanjutkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia kini memiliki insentif untuk memadukan berbagai kebijakan kelautan dalam pembangunan, pendidikan, dan sebagainya.

Walapun begitu, tak semuanya happy atas hasil-hasil yang dicapai CTI. Suara-suara pinggiran masih berteriak belum puas. Sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Manado menilai, salah satu anggota penting dari sistem kelautan, yakni nelayan tradisional, tak banyak mendapat tempat dalam WOC maupun CTI.

Dalam siaran persnya, mereka menuding CTI merupakan proyek ambisius yang memberi peluang ekspansi industri pariwisata maritim yang berujung pengaplingan wilayah-wilayan laut untuk kepentingan bisnis semata-mata. Ini membuat wilayah kelola nelayan tradisional makin mengerut. Akibatnya, ''Alih-alih menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional, laut bergeser menjadi komoditas untuk masyarakat dunia (global goods),'' demikian siaran pers itu.

Mereka mengklaim memiliki sejumlah data yang menunjukkan banyak nelayan tradisional tidak diikutsertakan dalam proyek dan terpinggirkan. Singkat kata, ''CTI hanyalah langkah awal mengintegrasikan data, mekanisme, hukum kesepakatan-kesepakatan negara kaya kepada negara berkembang, asalkan membayar kompensasi biodiversitas."

Membuat semua pihak senang dan puas dengan kondisi yang ada memang sulit. Berdebat tentang untung-ruginya program CTI bisa berlangsung semalam suntuk. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan, laju kerusakan terumbu karang terus berlanjut. ''Laut Indonesia sedang mengalami degradasi habitat,'' kata Subandono Diposaptono, Kepala Sub-Direktorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kepada wartawan Gatra Sukmono Fajar Turido, Subandono memaparkan survei yang diadakan LIPI (Suharsono, 1998) tentang luas tutupan karang hidup di Indonesia yang hanya tinggal sekitar 7% yang dalam kondisi ''sangat baik'' dan 23% dalam kondisi ''baik''. Selebihnya, terumbu karang yang ''rusak'' sebesar 29% dan ''rusak berat'' mencapai 42%.

Menurut Ridwan Djamaluddin, Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, untuk mengatasi masalah itu, Indonesia tidak bisa bekerja sendiri. Suatu kerja sama internasional seperti CTI memang diperlukan. Hanya saja, kata Ridwan, bagaimana bentuk kerja sama dan berbagai peraturan yang menyertainya perlu mendapat perhatian serius.

Misalnya, Deklarasi Manado yang baru dikumandangkan pasti akan melahirkan berbagai ''peraturan turunan'' sebagai pedoman pelaksanaan di lapangan. ''Nah, ini yang harus diantisipasi,'' ujar Ridwan. Peraturan yang ada jangan sampai terlalu ketat sehingga menyulitkan mitra kerja, dan jangan pula terlalu longgar sehingga merugikan Indonesia.

Selain itu, Indonesia perlu membekali diri agar tak dibodohi mitra kerja. Contoh simpelnya, Ridwan melanjutkan, dalam hal pengambilan data penelitian pada suatu kerja sama. ''Data yang kita dapat bisa jadi emas atau sampah,'' kata Ridwan. Di tangan mitra kerja asing, data itu bisa menjadi ''emas'' karena dapat diolah, tetapi di tangan Indonesia bisa terbuang sia-sia karena tak ada pengetahuan teknologi tentang data itu.

Karena itu, Ridwan berharap, upaya kelautan ini tidak berhenti sampai membuat deklarasi. Harus ada tindak lanjut, pengadaan sistem pengawasan, dan pembenahan SDM teknologi yang menguntungkan Indonesia. Laut bisa saja menjadi harapan masa depan Indonesia. ''Tetapi teknologi tetap menjadi jawabannya,'' tutur Ridwan.

Nur Hidayat, Rita Triana Budiarti, dan Miranti Hirschmann (Manado)

Published: Gatra 28/ 27 May 2009

Popular Posts