Deklarasi CTI: Mendapat Emas atau Sampah?



Deklarasi CTI: Mendapat Emas atau Sampah?

Terumbu Karang di Bunaken (Yahoo! News/AFP/Romeo Gacad)Banjir dana. Begitulah yang terjadi dalam program Coral Triangle Initiative (CTI). Program internasional ini memang mendapat tempat istimewa dalam Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, 11-15 Mei lalu. Sebanyak enam kepala negara, yakni Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Malaysia, membubuhkan tanda tangan dalam suatu deklarasi CTI.

Ketika itu pula, sejumlah komitmen pengucuran dana untuk CTI diumumkan.""Keseluruhan dana yang akan dikucurkan bagi proyek CTI ini telah mendekati angka maksimal US$ 300 juta," tutur David S. McCauley, pakar perubahan iklim dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Dana itu berasal dari berbagai negara dan lembaga internasional. Salah satunya berasal dari proyek kerja sama The Global Environmental Facility (GEF) dan ADB yang mencapai US$ 63 juta.

Sebanyak US$ 45,5 juta atau 76% di antaranya telah direalisasikan untuk sembilan proyek konservasi yang dilaksanakan di enam negara anggota CTI. "ADB memang aktif memobilisasi dana dari berbagai negara dan mitra LSM. Konsep CTI memang cocok dengan misi ADB," kata McCauley.

Tak hanya lembaga internasional, banyak juga lembaga non-pemerintah (LSM) internasional yang ikut bergotong royong menggalang dana. "Kami pun membantu memobilisasi dana hibah khusus pada kegiatan regional plan of action dalam CTI," ujar Rili Djohani, Director The Nature Conservancy (TNC). Lembaga ini sejak awal menjadi pelopor, penggerak, sekaligus menjadi penggalang dana CTI. "Berbagai dana itu digunakan untuk membangun jaringan kerja serta memberdayakan masyarakat kelautan," tutur Rili.

Guyuran dana yang lumayan kencang itu tentu membuat banyak kepala negara anggota CTI makin bersemangat. "Lebih dari 80% penduduk Timor Leste bergantung pada mata pencaharian sumber daya alam pesisir dan laut," kata Menteri Perikanan dan Pertanian Timor Leste, Mariano Assanami Sabino. Menurut Sabino, inilah untuk pertama kalinya Timor Leste menjadi peserta dalam sebuah kesepakatan lingkungan internasional.

Tak pelak lagi, WOC dan CTI ini telah membuka mata dunia tentang pentingnya lautan. Ia menjadi harta karun tiada duanya bagi Indonesia dan sejumlah negara kepulauan lainnya. Pakar lingkungan kawakan, Prof. Emil Salim, berharap masalah kelautan dapat masuk dalam arus besar masalah perubahan iklim dunia. "Kami berharap, sedapat mungkin dalam pertemuan COP-15 (UNFCCC/Conference of Parties) di Copenhagen nanti memuat masalah kelautan sesuai dengan amanat Deklarasi Manado," ujar Emil.

Harapan senada dikemukakan Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam WOC. Selama ini, menurut Sarwono, masalah kelautan seakan-akan tidak mendapat tempat dalam forum-forum internasional, termasuk PBB. "Dengan adanya WOC, masalah kelautan akan mendapat "rumah" di PBB," tutur Sarwono. Selain itu, Sarwono melanjutkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia kini memiliki insentif untuk memadukan berbagai kebijakan kelautan dalam pembangunan, pendidikan, dan sebagainya.

Walapun begitu, tak semuanya happy atas hasil-hasil yang dicapai CTI. Suara-suara pinggiran masih berteriak belum puas. Sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Manado menilai, salah satu anggota penting dari sistem kelautan, yakni nelayan tradisional, tak banyak mendapat tempat dalam WOC maupun CTI.

Dalam siaran persnya, mereka menuding CTI merupakan proyek ambisius yang memberi peluang ekspansi industri pariwisata maritim yang berujung pengaplingan wilayah-wilayan laut untuk kepentingan bisnis semata-mata. Ini membuat wilayah kelola nelayan tradisional makin mengerut. Akibatnya, "Alih-alih menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional, laut bergeser menjadi komoditas untuk masyarakat dunia (global goods)," demikian siaran pers itu.

Mereka mengklaim memiliki sejumlah data yang menunjukkan banyak nelayan tradisional tidak diikutsertakan dalam proyek dan terpinggirkan. Singkat kata, "CTI hanyalah langkah awal mengintegrasikan data, mekanisme, hukum kesepakatan-kesepakatan negara kaya kepada negara berkembang, asalkan membayar kompensasi biodiversitas."

Membuat semua pihak senang dan puas dengan kondisi yang ada memang sulit. Berdebat tentang untung-ruginya program CTI bisa berlangsung semalam suntuk. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan, laju kerusakan terumbu karang terus berlanjut. "Laut Indonesia sedang mengalami degradasi habitat," kata Subandono Diposaptono, Kepala Sub-Direktorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kepada wartawan Gatra Sukmono Fajar Turido, Subandono memaparkan survei yang diadakan LIPI (Suharsono, 1998) tentang luas tutupan karang hidup di Indonesia yang hanya tinggal sekitar 7% yang dalam kondisi "sangat baik" dan 23% dalam kondisi "baik". Selebihnya, terumbu karang yang "rusak" sebesar 29% dan "rusak berat" mencapai 42%.

Menurut Ridwan Djamaluddin, Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, untuk mengatasi masalah itu, Indonesia tidak bisa bekerja sendiri. Suatu kerja sama internasional seperti CTI memang diperlukan. Hanya saja, kata Ridwan, bagaimana bentuk kerja sama dan berbagai peraturan yang menyertainya perlu mendapat perhatian serius.

Misalnya, Deklarasi Manado yang baru dikumandangkan pasti akan melahirkan berbagai "peraturan turunan" sebagai pedoman pelaksanaan di lapangan. "Nah, ini yang harus diantisipasi," ujar Ridwan. Peraturan yang ada jangan sampai terlalu ketat sehingga menyulitkan mitra kerja, dan jangan pula terlalu longgar sehingga merugikan Indonesia.

Selain itu, Indonesia perlu membekali diri agar tak dibodohi mitra kerja. Contoh simpelnya, Ridwan melanjutkan, dalam hal pengambilan data penelitian pada suatu kerja sama. "Data yang kita dapat bisa jadi emas atau sampah," kata Ridwan. Di tangan mitra kerja asing, data itu bisa menjadi "emas" karena dapat diolah, tetapi di tangan Indonesia bisa terbuang sia-sia karena tak ada pengetahuan teknologi tentang data itu.

Karena itu, Ridwan berharap, upaya kelautan ini tidak berhenti sampai membuat deklarasi. Harus ada tindak lanjut, pengadaan sistem pengawasan, dan pembenahan SDM teknologi yang menguntungkan Indonesia. Laut bisa saja menjadi harapan masa depan Indonesia. "Tetapi teknologi tetap menjadi jawabannya," tutur Ridwan.

Nur Hidayat, Rita Triana Budiarti, dan Miranti Hirschmann (Manado)
[Laporan KhususGatra Nomor 28 Beredar Kamis, 21 Mei 2009]
http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=126636

Popular Posts