Sonja & Shanti Sungkono: Harmoni Piano Duo


Setelah malang melintang di Eropa, Shanti dan Sonja tampil di Jakarta. Diuntungkan karena kembar.

FOTO rontgen empat tahun lalu itu sampai sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan medis Jerman. Kasusnya memang tergolong langka. "Kata dokter, hanya satu dari satu juta manusia," ujar Shanti Sungkono, pemilik foto rontgen tersebut, kepada Gatra pekan lalu. Jika umumnya detak jantung di sebelah kiri, pada dia ada di sebelah kanan. Kelainan ini sekaligus jadi pembeda dengan saudara kembarnya, Sonja.

Tapi bukan karena itu Shanti sering diundang ke berbagai event, dari penggalangan dana sampai konser komersial. Bersama Sonja, namanya semerbak di panggung musik klasik Eropa sebagai pianis kembar. Saat mereka tampil, nada-nada indah mengalun dari keempat tangan yang menari di atas tuts piano. Harmonis dan sempurna, layaknya dimainkan seorang saja.

Keindahan itu bisa dinikmati pencinta musik klasik Indonesia, Rabu ini, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Inilah tampilan perdana mereka di Tanah Air. Meski sudah tampil di seantero Eropa dan Amerika, Shanti dan Sonja belum sekali pun unjuk kebolehan di sini. Dalam charity yang diadakan Rotary Club itu, rencananya mereka memainkan sejumlah repertoar dari empu-empu musik klasik, seperti karya Claude Debussy, Wolfgang Amadeus Mozart, Raimo Kangro, Skrabin, Sergei Vassilievitch Rachmaninoff, dan Darius Milhaud.

Dari semua nama itu, Debussy yang impresionis merupakan favorit mereka. "Karya Debussy sangat cocok karena unsurnya ada dalam darah kami," kata Shanti. Komponis Prancis pada 1918 itu diberitakan sempat menghadiri pameran gamelan di Paris dan mempengaruhi komposisi-komposisi yang ia buat di tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, nada-nada pentatonis banyak digunakan dalam karya-karyanya.

Shanti dan Sonja dikaruniai bakat alam. Meski terlambat menekuni musik klasik, mereka bisa meraih ketenaran. Ketika mereka menginjakkan kaki di Berlin, Jerman, pada musim dingin 1991 untuk meneruskan studi, jurusan yang dipilih adalah bahasa. Sonja di bidang Germanistik dan linguistik di Freie Universitaet, Berlin, sedangkan Shanti di jurusan linguistik dan publisistik.

Tiga tahun kemudian, si kembar kelahiran Jakarta, 3 Januari 1972, ini iseng mengambil jurusan musik di Hochschule der Kuenste, Berlin. Mereka diterima dan akhirnya memutuskan meninggalkan jurusan yang telah mereka jalani beberapa semester. Sejak itulah keduanya berbulat tekad menjadikan musik klasik sebagai hidup mereka. Sebelumnya, meski sempat kursus piano di Yayasan Musik Jakarta, mereka melakoninya sekadar hobi.

Ketika kuliah, Shanti dan Sonja sempat membuat chamber music bersama mahasiswa lain. Tak lancar. Latihan sering gagal karena personel tak lengkap. Satu saat, penggesek selo tak datang karena harus menghadapi ujian lain. Lain waktu, solois tak hadir karena cuaca buruk. Akhirnya, kepada Profesor Sorin Enachescu yang membimbing mereka, Sonja dan Shanti memohon untuk menempuh ujian diploma piano duo.

Mahaguru keturunan Rumania itu tak langsung setuju. Keduanya harus menjalani tes. Ternyata permainan duo mereka di panggung lebih pas, kontrol dirinya dinilai sangat sempurna. Proposal mereka langsung disetujui. Sejak itulah mereka mengibarkan piano duo. Mereka saling mengkritik satu sama lain tanpa khawatir saling menyakiti. "Ini adalah salah satu keuntungan sebagai kembar. Saat kami main piano berdua, keinginan untuk lebih menonjol itu hilang," katanya.

Keduanya saling melengkapi. Mereka tahu kapan hanya "melayani" dan kapan berperan sebagai pemain utama. "Kedua-duanya nggak bisa menonjol. Yang harus diutamakan adalah kepuasan publik sebagai penikmat," Sonja menambahkan. Yang dibutuhkan musik klasik, menurut mereka, tak melulu teknik, melainkan juga penghayatan. "Banyak yang secara teknik amat baik, tapi interpretasi sering kurang kena sasaran," kata Shanti.

Tentu bukan tanpa duri. Entah berapa kali mereka harus pindah apartemen karena tetangganya terganggu oleh denting piano saat mereka berlatih. Dari teror sampai dilaporkan ke polisi pernah mereka rasakan. Setiap kali menemukan apartemen yang cocok, mereka harus mengetuk kiri-kanan atas-bawah untuk memastikan bahwa para tetangga tak akan terganggu oleh bunyi piano mereka.

Jawabannya geleng kepala. Malah ada yang sampai mengancam, "Kalau kalian mulai latihan musik, bisa tiap 10 menit akan saya bunyikan bel." Shanti menceritakan hal itu sambil tersenyum geli, lesung pipitnya langsung tampak.

Setelah tiga bulan ke sana kemari tanpa hasil, akhirnya mereka mendapatkan sebuah apartemen sempurna untuk studi dan karier mereka di daerah Neukoeln. Pemilik sebelumnya juga seorang pemusik. Gatra sempat melongok tempat tersebut. Terdiri dari dua lantai. Bagian atas digunakan sebagai tempat tinggal pribadi, dan ruang bagian bawah kedap suara. Di situ terletak dua grand piano untuk latihan keduanya. Tak ada lagi tetangga yang mengeluh atau memanggil polis. "Rezeki banget deh," ujar Sonja bangga, saat memamerkan studio mereka.

Dari situlah mereka mendaki ketenaran. Berbagai penghargaan mereka raih. Pada 1999, mereka meraih Prize Winners Jerry Coppola Prize pada 7th Murray Dranoff Two Piano Competition di Miami, Amerika Serikat. Lalu Prize Winners Juergen Selheim Foundation pada 2000 dan 2001. Mereka juga meraih Prize Winners pada National Piano Duo Competition di Saarbrucken, Jerman.

Para pengundang merasa kejatuhan durian runtuh kalau si kembar memenuhi undangannya. "Jarang sekali pianis sekaliber nereka bersedia dengan senang hati mengisi acara seperti ini. Kami sangat beruntung," kata Frank Marczinek dari perusahaan Thyssen AG, penyelenggara konser amal untuk korban tsunami Sri Lanka, Februari lalu. "Permainan mereka sempurna," Frank menambahkan.

Kesempurnaan memang tujuan Shanti dan Sonja saat mengadakan konser. Ketika latihan, mereka selalu merekamnya pada mini-disk yang selalu dikempit ke mana-mana. "Untuk melihat di bagian mana yang harus diperbaiki," kata Sonja. Mereka mengaku masih sering gugup sebelum naik panggung. "Gugup itu manusiawi. Kita semua mengalaminya, apalagi bila kita ingin tampil sempura," tutur Sonja.

Soal kostum juga jadi perhatian mereka. "Kami berusaha tampil beda dengan gaya pianis konservatif yang selalu menggunakan gaun hitam panjang," katanya. Ini dibuktikan dalam album CD pertama mereka, "Sonja & Shanti Sunkono Werke fuer zwei Klaviere", yang dirilis pada 2002. Dengan album ini, mereka menerabas tradisi musik klasik yang tertib. Keduanya menggunakan gaun merah yang amat seksi. Yang mengundang kritik pedas dari kalangan pianis klasik Jerman adalah pose Sonja berdiri di atas piano.

Biasanya album musik klasik hanya menunjukkan wajah sang musisi atau foto tangan mereka di atas tuts. "Kan, bosan, ya, begitu terus. Kita kan juga harus menjual secara optik," ujar Shanti, bersemangat. Setahun kemudian, mereka meluncurkan CD berjudul ''20th Century Pianoduet Collection''. Peredarannya lebih luas dari yang pertama. Selain di Eropa, beredar pula di Amerika, Prancis, Italia, Austria, Swedia, dan Jepang.

Sebagai kembar, Sonja dan Shanti memiliki banyak persamaan. Kadang mereka pun sering tak percaya. Misalnya, suatu saat mereka membeli sebuah benda pada waktu dan tempat berbeda. Ternyata mirip, bahkan sama, meski beda warna. "Terutama baju dan perhiasan," kata keduanya sambil tertawa-tawa. Ketika remaja, keduanya sering dianggap satu paket. "Untungnya, kalau urusan cowok, kami beda," Shanti menambahkan.

Saat ini, Shanti telah menikah dengan seorang musisi asal Inggris, Martin Gordon, yang mengajaknya ke pelaminan pada 2003 dan telah dikaruniai seorang anak lelaki, Chesta Saskara Gordon. Mereka bertemu pada sebuah proyek musik di Berlin. Sementara Sonja masih melajang.

Selain sibuk mempersiapkan konser, mereka pun mengajar. Shanti mengajar kursus privat. Sedangkan Sonja mengajar rutin di Sekolah Musik Juettnerand Co, Berlin. "Tapi kami lebih senang mempersiapkan konser. Mengajar lebih serius nanti saja kalau sudah tua," kata Shanti, yang merahasiakan tarif panggung mereka.

Miranti Soetjipto (Berlin)
Published: Gatra 4/ 10 December 2005

Popular Posts