Kanan-kiri Organ Terbalik


Orang Indonesia terkenal di kalangan medis Jerman gara-gara jantung terbalik. Tergolong penyakit langka. Seperti melihat pada cermin.

SEKALI pandang, sulit buat orang "awam" membedakan Shanti dan Sonja Sungkono, 33 tahun. Apalagi saat kakak beradik kembar ini tengah beraksi di balik piano, seperti dipertontonkan saat konser di Hotel Dharmawangsa, Rabu lalu. Gaun, pita rambut, aksesori, dan perlengkapan sandang lain yang sama mereka kenakan membuat sosok yang satu seperti pantulan cermin dari kembarannya.

Tapi bukan berarti tak ada pembeda. Wolfgang Schwalm, dokter Bavaria yang buka praktek di kota Berlin, Jerman, mengetahui "sesuatu" yang membedakan Shanti dengan Sonja. Letak perbedaan sesungguhnya ada pada Shanti. Organ dalam di balik perut dan dada istri Martin Gordon ini menempati posisi saling terbalik. Seperti bayangan pada cermin, sesuatu yang terletak di kanan akan terlihat menempati posisi kiri dan begitu sebaliknya.

Jantung, yang lazimnya berada di sebelah kiri, pada tubuh Shanti justru terlihat di sebelah kanan. Dunia kedokteran mengenali keistimewaan yang dimiliki ibu satu anak ini dengan istilah complete situs inversus. Sebelum fenomena itu terdeteksi, Shanti mengaku tak pernah merasa tubuhnya punya organ dengan posisi lain dari biasanya. "Memang dulu, saat saya remaja, sering merasa sesak napas bila posisi tidur menghadap ke kanan. Tapi saya nggak tahu deh kalau itu ada hubungannya," ujar Shanti kepada Gatra.

Semua bermula saat dua saudara kembar ini berumur 29 tahun. Setelah ayah mereka, seorang penderita kencing manis, wafat, Shanti dan Sonja terdorong untuk melakukan general check-up. Duo pianis kelahiran Jakarta, 3 Januari 1972, ini ingin mengetahui kemungkinan sang ayah menurunkan penyakit tersebut pada anak-anaknya.

Hal lain yang menggerakkan keduanya untuk memeriksakan kondisi kesehatannya adalah kenyataan bahwa seorang rekan sekampus mereka menderita kanker payudara, padahal sosok yang dimaksud belum lagi berusia 30 tahun. Juga dari berbagai bahan bacaan, Shanti dan Sonja menganggap penting saran dokter untuk melakuan general check-up sebelum menginjak usia 30 tahun; paling tidak untuk mendeteksi kemungkinan adanya penyakit yang bersembunyi.

Sistem asuransi kesehatan di Jerman memungkinkan Shanti melakukan pemeriksaan menyeluruh itu secara gratis, tanpa membayar biaya tambahan apa pun. Fasilitas inilah yang suatu ketika mereka gunakan bersama-sama untuk memeriksakan kesehatan pada Dokter Wolfgang Schwalm.

Singkat kisah, setelah kunjungan pertama, tim dokter hanya meminta Shanti kembali memeriksakan diri pada keesokan harinya. Rupanya, tim medis Dokter Schwalm menduga ada kesalahan prosedur pemeriksaan atau kesalahan teknis pada peralatan mereka, lantaran berdasarkan hasil EKG (alat monitor detak jantung), pada tubuh Shanti tidak terdeteksi adanya aktivitas detak jantung.

Dokter Schwalm sempat menduga timnya tidak becus bekerja, lantaran pada kesempatan berikutnya, tes EKG kali ini pun tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Dokter senior itu lantas turun tangan langsung mencek jantung Shanti dengan prosedur standar kedokteran. Semula hasilnya sami mawon. Namun, setelah Dokter Schwalm berinisiatif memasang EKG di dada kanan Shanti, barulah detak jantungnya terdeteksi.

Untuk lebih meyakinkan hasil temuannya berupa posisi organ yang tidak lazim dalam tubuh pasiennya itu, Schwalm meminta Shanti difoto rontgen. Berdasarkan citra rontgen itulah disimpulkan, tubuh Shanti memiliki keistimewaan dengan sebutan complete situs inversus; di mana tak hanya bagian toraksnya yang menempati posisi terbalik, juga posisi abdomennya.

Lewat percakapan telepon kepada Gatra, Dokter Wolfgang Schwalm mengemukakan bahwa selama 30 tahun kiprah prakteknya di dunia kedokteran, tercatat hanya ada dua pasiennya yang memiliki kondisi situs inversus sempurna. Sebelum Shanti, ada seorang keturunan Turki yang datang berobat dengan keluhan sakit di dada kanan. "Semula pasien itu berpikir paru-parunya bermasalah. Namun, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, diketahui bahwa ia mengalami masalah dengan jantungnya yang terletak di sebelah kanan," Schwalm memaparkan.

Lebih jauh Schwalm mengemukakan bahwa kasus situs inversus sempurna tergolong jarang dijumpai. Kemungkinan satu berbanding satu juta jiwa. "Situs inversus juga ada yang 'tidak sempurna', misalnya posisi toraksnya normal, posis abdomennya terbalik. Atau posisi toraksnya terbalik, posisi abdomennya normal," ia menjelaskan.

Kondisi situs inversus sempurna, menurut Schwalm, tidak memiliki dampak apa pun. Organ-organ yang berposisi terbalik itu dapat bekerja secara normal tanpa risiko apa pun layaknya pada individu yang memiliki posisi organ normal. "Ini hanya masalah posisi organ yang berbeda dengan manusia normal. Jantung di kanan, apendiks di kiri, posisi aorta pun terbalik. Seperti bila kita melihat melalui cermin. Itu saja," ia menambahkan.

Namun, dengan cara tertentu, informasi tentang kondisi situs inversus sempurna yang "diidap" seorang pasien harus bisa diketahui dengan mudah oleh orang lain, khususnya oleh tenaga paramedis. Sebab, jika tidak demikian, besar kemungkinan pihak paramedis salah melakukan diagnosis ketika seorang pemilik situs inversus mengeluhkan gangguan fungsi organ tubuhnya. Dampak diagnosis yang salah tentu saja berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa si pasien.

Schwalm mengilustrasikan, saat seorang pasien pemilik situs inversus sempurna yang menderita infeksi usus buntu mengeluh sakit di perut bagian kirinya. Bila dokter yang memeriksa tidak mengetahui riwayat situs inversus sempurna pasien yang bersangkutan, besar kemungkinan dokter tersebut salah melakukan diagnosis. Sebab apendiks (usus buntu) normalnya terletak di bagian kanan perut. "Jika diagnosisnya kacau, tindakan yang diambil dokter itu pun bisa salah. Situasi ini dapat mengancam keselamatan jiwa pasien,'' tutur Schwalm.

Karena itu, Schwalm meminta Shanti membawa surat keterangan yang menyatakan bahwa posisi jantungnya ada disebelah kanan. Surat itu diselipkan pada kartu identitas dan atau paspor Shanti. Dengan demikian, bila terjadi sesuatu pada diri Shanti yang menghendaki dilakukannya tindakan medis, paramedis tahu apa yang harus dilakukan. "Saya ini orangnya ceroboh. Surat itu sering terselip atau tercecer di tempat lain," Shanti mengeluh soal keteledoran pribadi yang membahayakan keselamatan jiwanya.

Shanti sadar betul tentang pentingnya memberitahu pihak-pihak yang dianggap berkompeten dengan kelainan yang dimilikinya itu. Misalnya, ketika ia mengandung anak pertamanya, suster dan perawat yang menangani perkembangan kehamilan dan persalinannya bertindak ekstra hati-hati demi mengetahui riwayat situs inversus sempurna yang ia miliki. "Perlakuannya ekstra hati-hati. Sehingga, saat kelahiran tiba, semua berjalan lancar dan si bayi pun lahir sempurna," Shanti mengenang.

Uniknya, sebelum kaki Shanti menginjakkan kaki di tanah Jerman pada sebuah musim dingin tahun 1991, ia sempat menjalani tes kesehatan di Indonesia. Hal itu dilakukan sebagai bagian pemenuhan syarat untuk sekolah di luar negeri. "Tapi dokter di Indonesia nggak menemukan keanehan itu," kata Shanti, sembari menolak menyebutkan nama rumah sakit dan dokter yang memeriksanya kala itu.

Seorang teman Shanti bernama Florence Torchy, 36 tahun, juga memiliki situs inversus. Ketika berusia 27 tahun, wanita Prancis yang tinggal di Berlin itu pergi ke dokter lantaran mengalami gangguan pada paru-parunya. Setelah tes EKG, si dokter spesialis paru-paru itu mendapati posisi jantung Torchy ada di sebelah kanan. Namun, sampai saat ini, Torchy belum mengetahui apakah tipe situs inversus-nya sempurna atau tidak. Menurut Torchy, dokternya tidak merekomendasikan untuk menjalani tes lebih lanjut.

Namun, yang jelas, ibu kandung Torchy sangat marah pada dokter-dokter di Prancis yang sekian lama tidak dapat mendeteksi kelainan yang dimiliki anaknya. Pada tahap tertentu, keistimewaan situs inversus yang tidak berisiko ini bisa berakibat fatal jika tidak segera terdeteksi.

Miranti Soetjipto (Berlin)

Published: Gatra 5/ 17 December 2005

Popular Posts