Segelas Kopi Musim Dingin di Berlinale

Citra ''politis'', Festival Film Berlin 2009 dinilai meluntur seiring dengan masuknya film The Pink Panther 2 dalam kategori kompetisi. Tapi Berlinale tetap saja terlalu menarik untuk luput dari perhatian publik film Jerman dan Eropa. Liputan Gatra dari Berlin.

Sepuluh hari jelas tidak akan cukup untuk menyambangi 47 venue yang memutar 234 film feature berkualitas, 120 film pendek, dan menggelar temu pers dengan sutradara dan bintang film terkenal di Berlinale. Saya mencoba realistis, bermodal tag media tergantung di leher tentu saja sebagai karcis masuk semua film di Berlinale --jauh-jauh hari sudah mengorat-oret jadwal pemutaran film yang seturut dengan kegiatan peliputan.

Targetnya, maksimal bisa menonton separuh dari seluruh film yang diputar dalam festival. Dan sesekali melompat ke Hotel Hyatt untuk mengejar temu pers yang khusus disediakan bagi film-film yang masuk kategori kompetisi. Tertib jadwal untuk memenuhi target pun susahnya bukan main.

Ternyata banyak film --di luar yang saya jadwalkan untuk ditonton-- yang jauh lebih menarik dengan jadwal putar bertabrakan. Selain itu, jarak antar-studio di kompleks Bioskop Cinemaxx, Cinestar di Sony Center, Berlinale Palast, dan Hotel Hyatt pun harus ditempuh dengan berjalan kaki setidaknya 10 menit dengan menembus angin musim dingin di Berlin.

Tambahkan waktunya beberapa menit lagi untuk aktivitas menitipkan jaket dan mengenakan kembali di satu venue sebelum beringsut mendatangi venue berikutnya. Namun perhitungan cermat macam itu akan mudah sia-sia manakala seorang calon penonton terlambat memenuhi jadwal pemutaran film.

Peraturan bioskop di Berlinale sangat ketat. Meninggalkan film di tengah-tengah pemutaran boleh saja, tapi penonton harus masuk pada awal film dan semua dimulai tepat waktu. Saking ketatnya peraturan itu, Nia Dinata, produser film Pertaruhan (At Stake) sempat tidak diizinkan masuk ke Studio Cinestar 7, tempat filmnya sendiri diputar.

Padahal, Nia harus berada di dalam bioskop itu untuk memenuhi sesi tanya-jawab dengan penonton pada akhir pemutaran film yang masuk dalam kategori panorama dokumenter itu. Beruntung, lewat diplomasi ala Jerman, Nia akhirnya diizinkan masuk, 10 menit sebelum film berakhir.

Dengan peraturan seketat itu, saya harus sering merenovasi jadwal. Misalnya, demi menjajaki peluang untuk dapat melontarkan satu-dua pertanyaan tambahan --di luar sesi jumpa pers-- kepada aktor Keanu Reeves, saya harus rela mencoret agenda menonton beberapa film agar tidak kehilangan momen. Tapi, buat panitia, Reeves adalah magnet yang terlalu berharga untuk dibiarkan keluyuran tanpa pengawalan ketat.

Segelas kopi panas adalah jawaban untuk ''posesivitas'' angin musim dingin di Berlin. Dengan bekal itu, saya memperhatikan orang yang berjejer di pintu belakang Hotel Hyatt dan para juru foto yang siap dengan tangga lipat. Lama-kelamaan, kerumunan di balik pagar berlogo beruang Berlinale itu bertambah padat. Setelah 20 menit menunggu di udara terbuka dengan suhu mendekati minus, akhirnya yang ditunggu datang juga: Keanu Reeves.

Ia datang mengendarai sedan VW edisi luks. Pemeran Chris Nadeau dalam film The Private Lives of Pippa Lee itu tampil tak bercukur. Sistem pengawalan yang dilakukan petugas keamanan Berlinale yang berjas rapi bikin patah hati para penggemar Reeves. Ia hanya diperbolehkan menahan langkah untuk menuruti permintaan para fotografer; berpose sebentar, lalu berjalan lagi.

Seorang perempuan muda berambut jagung di sebelah saya, yang sedari tadi mengeluh kedinginan, langsung berteriak-teriak histeris memanggil nama artis pujaannya itu. Dilupakannya dingin sejenak. Dengan segala upaya, ia memotret Keanu Reeves dengan kamera digital mininya. Belum sempat ia menekan tombol shutter, Reeves sudah menghilang masuk hotel. Apa boleh buat.

Setidaknya, begitulah gambaran di sebuah sudut pusat kegiatan Berlinale ke-59 yang berlangsung di kota Berlin, 5-15 Februari lalu. Usia yang lebih dari separuh abad dan tradisi festival yang kuat membuat Festival Film Berlin disebut-sebut sebagai ajang bergengsi yang sejajar dengan Festival Film Cannes di Prancis dan Festival Film Venice di Italia.

Dibandingkan dengan dua festival film itu, Berlinale punya ciri khas pada film-film bertema politis. Meski belakangan citra ''politis'' itu dinilai mulai luntur seiring dengan masuknya film-film ''komersial'' semacam The Pink Panther 2 yang masuk dalam kategori kompetisi.

Di luar itu, Berlinale tetap mempertahankan gengsi dan tradisinya sebagai festival film yang menonjolkan hak asasi. Tahun ini, untuk ke-23 kalinya, secara paralel berlangsung program penghargaan Teddy Award untuk film-film di Berlinale yang mengangkat tema homoseksual.

Dalam sambutannya, Direktur Berlinale, Dieter Kosslick, mengemukakan bahwa Teddy Award itu bukan sekadar penghargaan film, juga merupakan penghargaan politik atas perjuangan emansipasi terhadap kaum minoritas untuk mendapatkan persamaan dalam semua kultur.

Teddy Award juga bekerja sama dengan UNAIDS yang menangani 33 juta orang pengidap HIV/AIDS di seluruh dunia. Dua juta di antaranya adalah anak-anak. Ide penganugerahan Teddy Award itu merupakan inisiatif mantan Direktur Panorama Berlinale, Manfred Salzgeber, yang juga mengidap AIDS.

Salah satu film yang masuk dalam kategori Teddy Award adalah Milk, arahan sutradara Gus van Sant. Van Sant memilih aktor Sean Penn untuk berperan sebagai Harvey Milk, politisi dan aktivis pembela hak kaum homoseksual di San Francisco, Amerika Serikat, pada era 1970-an.

Dalam temu pers film tersebut, kalimat pertama yang dilontarkan Gus van Sant adalah, ''I'm happy that Obama won.'' Penyerahan Teddy Award dilakukan di Haus der Kulturen der Welt. Seperti penyelenggaraan tahun sebelumnya, Berlinale ke-59 ini membagi program film dalam tujuh section, yaitu Competition, Panorama, Forum, Generation, Perpective Deutsches Kino, Berlinale Shorts, dan Retrospective.

Setiap section dikepalai seorang section director, yang bertanggung jawab memilih film dan menerima saran dari koresponden Berlinale serta pakar lainnya. Film-film internasional utama adalah yang masuk dalam kategori Competition. Ke-26 film dalam kategori itu hanya diputar di empat studio utama dengan kapasitas penonton yang besar. Berlinale Palast dengan kapasitas 1,600 orang, Friedrichstadtpalast dengan kapasitas 1.800 orang, Cinemaxx 7, dan Urania.

Setelah pemutaran film di Berlinale Palast, sekitar 15 menit kemudian sutradara dan para pemain film bersangkutan hadir di ballroom Hotel Hyatt yang berhadapan dengan gedung Berlinale Palast untuk sesi foto dan temu pers.

Sementara itu, kategori Panorama menekankan pada film independen dan art-house cinema. Daya tarik Berlinale lainnya adalah kategori Forum: disediakan bagi film-film yang dianggap paling eksperimental, unik, dan tidak jarang provokatif.

Festival Film Berlin tahun ini diliput sekitar 4.000 jurnalis dan fotografer yang dibekali akses untuk menonton film di arena Sony Center dan sekitarnya. Sehingga, pada pemutaran film-film yang menarik, tangga dalam ruang bioskop pun penuh sesak.

Michelle Pfeiffer (Cheri), Renee Zellweger (My One and Only), Demi Moore (Happy Tears), dan Zhang Ziyi (Forever Entralled) adalah bintang-bintang yang meramaikan red carpet Berlinale kali ini. Seperti di festival film besar lainnya, sesi menapaki karpet merah itu dipenuhi fotografer, kilatan blitz, dan wara-wiri selebriti dengan baju-baju rancangan desainer ternama.

Sekitar 200.000 tiket terjual untuk film-film di Berlinale tahun ini. Harga tiketnya 7-11 euro. Inggrid, seorang pensiunan yang ditemui usai membeli tiket di loket Berlinale di Pusat Perbelanjaan Arcade, mengatakan bahwa membeli tiket Berlinale perlu upaya khusus, seperti meluangkan waktu.

Para pemesan tiket via internet saja harus mengantre untuk menukar tanda pemesanannya dengan tiket. Apalagi, Inggrid mengaku tidak memiliki akses internet di rumahnya. Ia harus mengakalinya agar mendapat tiket lebih banyak, karena pembelian di loket hanya dibatasi dua tiket.

''Membeli tiket dengan cara konvensional seperti itu, kita harus punya banyak teman untuk dititipi. Repotnya, kalau kita bekerja, harus bolak-balik menelepon kepada yang mengantre di sini. Jangan heran bila penonton Berlinale kebanyakan pensiunan, mahasiswa, dan pengangguran,'' ujarnya sembari tertawa.

Keberadaan penjual karcis gelap juga tak terhindarkan, terutama pada saat pemutaran film-film kategori Kompetisi. Lewat para pencari keuntungan dadakan ini, harga tiket bisa dinaikkan 2-5 euro.

Di antara kerumunan orang yang menyambut para bintang pada pemutaran The Pink Panther 2, terdapat Jasmin. Seorang perempuan keturunan India yang baru saja menempuh perjalanan 500 kilometer dari Augsburg. Tangan kiri Jasmin masih terlihat menarik kopor kecil, sedangkan tangan kanannya memegang kamera mini digital. ''Langsung dari stasiun kereta api, ingin melihat Aisywarya Rai," katanya.

Yang ditunggu Jasmin, Aisywarya Rai, Miss World tahun 1994 asal India, model dan aktris kenamaan Bollywood itu, akhirnya melenggang di karpet merah dengan tubuh dibalut gaun fuschia dan perak. Menantu aktor paling populer di India, Amitabh Bachchan, itu hadir di Berlinale bersama aktor-aktor yang bermain bersamanya dalam film The Pink Panther 2: Steve Martin dan Jean Reno. Mereka memberi sentuhan populis ke dalam ''radikalisme'' Berlinale dan ternyata mampu menyedot penonton dari berbagai kota di Jerman, bahkan Eropa.

Lepas dari keheranan publik demi menemukan The Pink Panther 2 masuk dalam kategori kompetisi Berlinale kali ini, orang tetap datang ke festival tahunan ini demi film. Demi film pula, mereka merelakan tubuh-tubuhnya dibelai angin musim dingin di Berlin yang aduhai dinginnya. Sampai jumpa di Berlinale berikutnya!

Miranti Sutjipto Hirschmann (Berlin)

---------------(Box)---------------

Para Peraih Penghargaan

The Golden Bear - Best Film La Teta Asustada, sutradara: Claudia Llosa

The Silver Bear - Jury Grand Prix Alle Anderen, sutradara: Maren Ade Gigante, sutradara: Adrian Biniez

The Silver Bear - Best Director Asghar Farhadi, Darbareye Elly (About Elly)

The Silver Bear - Best Actress Birgit Minichmayr, Alle Anderen

The Silver Bear - Best Actor Sotigui Koyate, London River

The Silver Bear - Outstanding Artistic Contribution Gabor Erdely & Tamas Szekely sebagai sound designer Katalin Varga

The Silver Bear - Best Script Oren Moverman & Alessandro Camon, The Messenger

The Golden Bear untuk Film Pendek Please Say Something, sutradara: David O'Reilly (Irlandia)

Teddy Award
Raging Sun, Raging Sky,
sutradara: Julian Hernandez (film terbaik)
Fig Trees,
sutradara: John Greyson (film dokumenter terbaik)
A Horse Is Not A Metaphore,
sutradara: Barbara Hammer (film pendek terbaik)
John Hurt dalam film English Man in New York (aktor terbaik)
Joe Dellasandro (penghargaan khusus untuk pengabdian sepanjang masa --life work honour)

Published: Gatra 16/ 4 March 2009

Popular Posts