Cokelat Indonesia Merayu Eropa

Produk cokelat asal Aceh sangat diminati masyarakat Eropa. Dunia sedang keranjingan makanan organik. Terbukti, potensi bahan organik dari Indonesia punya potensi mencorong.

Stan di pojok ruangan itu tampak kerdil di antara kemeriahan pameran tingkat dunia. Namun, di luar dugaan, stan yang memajang logo Tradefair itu dipadati pengunjung, terutama peminat produk tanaman cokelat. Bukan sembarang cokelat, melainkan cokelat organik yang dibudidayakan tanpa sentuhan bahan kimia.

Para pengunjung tampak kesengsem pada cokelat organik asal Aceh, yang dipajang dan ditawarkan koperasi petani cokelat Aceh. Produk unggulan Indonesia itu menjadi salah satu yang tervaforit di ajang pameran organik dunia bertajuk Biofach Messe, yang digelar di Nuernberg, Jerman, pekan lalu. Pameran yang rutin dilaksanakan saban tahun itu digelar untuk yang ke-20 kalinya.

Inilah sebuah pameran dagang yang khusus menampilkan produk-produk organik dari seluruh dunia. Berbagai perusahaan distributor bahan makanan organik, terutama dari Eropa, bertemu dengan produsen yang kebanyakan dari negara berkembang, seperti India dan Cina. Pemilik toko hingga peminat makanan organik dapat ditemui di sini. Pesertanya kali ini sekitar 2.700 stan, yang terbagi dalam 12 hall.

Salah satu hall khusus menampilkan produk-produk kecantikan dari bahan alami. Produk Dr. Hauschka asal Jerman, misalnya, terkenal dengan krem berbahan kelopak bunga mawar. Produk ini, konon, digemari para selebriti dunia macam Madonna dan Jeniffer Aniston. Tak pelak, pengunjung stan terbesar di hall produk kecantikan itu pun selalu padat.

Di tempat lain, sebuah sudut di hall bertema tekstil pun mencuri perhatian pengunjung. Di sana dapat dijumpai berbagai jenis pakaian dan tas, bahkan sepatu yang menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Produk sepatu Pololo juga menggunakan label ekologi. ''Kami tidak menggunakan chrome pada proses penyamakan kulit. Artinya, limbah kami ramah lingkungan dan disukai aktivis Greenpeace,'' ujar pemilik perusahaan sepatu itu.

Produk organik dari produsen yang tergabung dalam wadah koperasi tak kalah menarik. Misalnya koperasi kopi organik asal Kolombia, koperasi teh asal India, dan produsen beras organik Thailand.

Tak ketinggalan dari Indonesia, yang diwakili koperasi cokelat organik asal Pidie, Aceh. Meskipun terletak jauh di pojok ruangan, koperasi petani cokelat binaan proyek bantuan Pemerintah Jerman, GTZ, itu berhasil menyita perhatian pengunjung.

Bagi Dr. Merijn Bos, peneliti agrobiodiversitas dari Louis Bolk Institut, Belanda, yang tampak ikut mengantre untuk sekadar anjang sana di stan itu, mengaku baru mendengar tentang cokelat organik asal Aceh. Padahal, ia menghabiskan waktu sekitar tiga tahun untuk penelitian tanaman cokelat di Sulawesi.

Menurut dia, rekam jejak komoditas cokelat organik asal Indonesia yang tembus ke Eropa hampir tidak ada. Ini jauh berbeda dari Ekuador, Ghana, dan Sierra Leone. Padahal, Indonesia punya potensi besar untuk mengembangkan produk pertanian dengan pengolahan organik.

Bos menyarankan agar Indonesia lebih banyak membuat publikasi dan promosi komoditas cokelat. ''Mereka bisa lebih terkenal karena Indonesia adalah negara yang punya keragaman hayati yang unik,'' katanya. Di Indonesia, tanaman cokelat bisa tumbuh di berbagai tempat berbeda dan tumbuh secara alami. ''Kenapa tidak diekspor sebagai cokelat organik, dan negara Anda bisa mendapatkan lebih banyak uang?'' kata Bos kepada Gatra.

Atas dasar itu pula, koperasi petani cokelat binaan proyek bantuan GTZ yang disingkat Cocoa (Coopertaive Organic Cacao Aceh) itu berpartisipasi dalam pameran tersebut. Dengan bantuan SIPPO atau Swiss Import Promotion Board, produk mereka akhirnya bisa berjajar dengan produk kurma dari Yordania, kopi dari Laos, minyak zaitun dari Palestina, dan gula kelapa asal Yogyakarta.

Awalnya, dalam rangka pemulihan ekonomi pasca-tsunami, Pemerintah Jerman melalui GTZ melaksanakan banyak program kerja sama di Aceh. Salah satunya adalah pemberdayaan petani cokelat di Aceh Utara. Semula, GTZ membantu sekitar 400 petani cokelat di daerah Cot Girek dan Langkahan, dengan gagasan mengubah pengolahan tanaman cokelat konvensional menjadi organik.

Tujuannya tak lain untuk meningkatkan pendapatan para petani setempat. Mereka kemudian membentuk koperasi petani cokelat bernama Cocoa, Koperasi Cokelat Organik Aceh. Pada saat ini, jumlah petani yang tergabung dalam koperasi itu mencapai 800 orang.

Potensi Cocoa, yang memiliki lahan seluas 5 cluster, sebanyak 300 hingga 350 ton biji cokelat per tahun. Pada masa konflik dulu, petani memang sulit mengembangkan usaha. ''Dari assessment di lapangan ditemukan bahwa selama konflik pada 1990-an, petani tidak mendapat kesempatan untuk membudidayakan tamanan secara baik. Tidak ada input, tidak ada pestisida, tidak ada manajemen,'' ujar Ashabul Anhar, pembina Koperasi Cokelat Organik Aceh.

Pola tanam organik dapat menghasilkan pendapatan cukup baik bagi masyarakat. Akhirnya GTZ menyosialisasikan ide itu kepada masyarakat, termasuk pembinaan capacity building, pengetahuan agrikultur, dan pengembangan koperasi, sehingga petani dapat menjual langsung kepada pelanggan. Rupanya masyarakat menyambut baik ide itu, yang dinilai lebih menguntungkan walaupun membuat mereka harus lebih rajin pergi ke ladang.

Perusahaan penanaman modal asing seperti PT Bening dengan merek Big Tree yang berbasis di Bali memboyong dagangan gula kelapa mereka ke Biofach Messe. Mereka dibantu CBI atau Center for the Promotion of Imports from Developing Countries, yang berada di bawah Kementerian Luar Negeri Belanda.

Namun mendapatkan sertifikat organik sehingga layak dijual di Eropa bukan perkara mudah. Tradefair yang mengeluarkan label organik dan adil terhadap petani ini, misalnya, tak dapat menentukan berapa lama sebuah produk dapat diakui keorganikannya. Semua tergantung situasi perkebunan atau koperasi komoditas yang bersangkutan, sehingga bisa makan waktu enam minggu hingga tiga tahun. Biaya yang harus dikeluarkan pun tidak sedikit.

Selain mengeluarkan sertifikat, Tradefair juga membantu koperasi untuk mendapatkan akses ke pasar di negara Barat. Organisasi non-profit ini telah mengeluarkan 632 setifikat di 58 negara produsen, tiga di antaranya di Indonesia. Terbukti, Indonesia berpeluang memproduksi tanaman organik, yang kelak dapat menembus pasar Eropa. Tentu tidak hanya cokelat yang bisa dikembangkan. Berbagai produk kini menunggu sentuhan para investor.

Heru Pamuji, dan Miranti Soetjipto-Hirschmann (Jerman)

***


Tahu-Tempe di Meja Selebriti Dunia

Dengan mata biru beningnya yang membesar, Elise Stockwell bersikukuh, ''Saya hanya memberi makanan organik kepada anak saya. Harganya memang mahal, tapi kesehatan adalah yang utama,'' ujarnya. Ia lantas memasukkan separuh sisir pisang organik ke keranjang belanjanya.

Di dalamnya ada juga sebungkus tahu organik, seikat wortel organik, sepotong dada ayam organik, dan beberapa buah apel organik. Cukup untuk persediaan dua hari bagi putra semata wayangnya, Silas.

Elise Stockwell tak hanya fanatik berbelanja bahan makanan organik di supermarket organik tak jauh dari tempat tinggalnya di pinggiran kota Stuttgart. Ia juga membeli kosmetik perawatan tubuh organik, termasuk wet tissue, pasta gigi, sabun mandi, hingga deterjen dan pakaian bayi dengan label organik atau bio. Dan Elise tidak sendirian.

Tumbuh tanpa penggunaan pupuk sintetis dan pestisida, makanan organik menjadi trend setter. Makanan organik diklaim lebih sehat karena tidak memakai pestisida, lebih enak, dan lebih akrab lingkungan daripada tanaman konvensional.

Euromonitor mencatat, perdagangan makanan dan minuman organik dunia diperkirakan mencapai US$ 22,75 milyar pada 2007, meningkat dua kali lipat dalam lima tahun. Amerika Serikat menyumbang 45% dari nilai total perdagangan itu. Di Jerman, nilai produksi bahan-bahan organik pada 2008 mencapai 5,8 milyar euro. Sayang, pertumbuhan ini sedikit melambat 10% karena resesi ekonomi global. Padahal, pada tahun sebelumnya sempat tumbuh hingga 14%.

Di Eropa, Jerman merupakan salah satu pasar penting bagi makanan organik, di samping Inggris, Prancis, dan Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah supermarket organik yang mencapai lebih dari 500 dan sekitar 2.000 toko produk organik di seluruh Jerman. Kadang gerai makanan organik menawarkan tahu dan tempe organik, yang sejatinya menjadi makanan khas Indonesia. Supermarket konvensional lokal, seperti Rewe dan Edeka, juga tidak ketinggalan menawarkan produk-produk organik.

Pada saat ini, sekitar 75% masyarakat Jerman lebih menyukai produk-produk organik. Sungguh peluang besar bagi Indonesia untuk mengemas produk organik lokal untuk dipasarkan ke Jerman, bahkan ke seluruh mancanegara. Siapa tahu, suatu hari nanti, Elise Stockwell mengundang teman-temannya untuk minum kopi organik made in Indonesia di rumahnya.

Published: Gatra 19/25 march 2009

Popular Posts