Wieland Speck: Kreativitas Film Indonesia Menanjak

Sebelum Festival Film Berlin 2009 berlangsung Februari lalu, Wieland Speck berburu film ke Indonesia. Ia kemudian membawa beberapa film Indonesia untuk tampil di Berlinale 2009. Speck menilai, kreativitas industri film Indonesia sedang menanjak.

Direktur Panorama Festival Film Berlin (Berlinale) 2009, Wieland Speck, memangku jabatan ini sejak 1982. Pria kelahiran Freiburg tahun 1951 itu adalah aktor, sutradara, penulis, sekaligus produser film. Namanya dikenal pula sebagai juri dalam beberapa festival film internasional. Ia juga merupakan salah satu pencetus Teddy Award, yang memfokuskan pada film-film queer dalam perhelatan yang paralel dengan penyelenggaraan Berlinale.

Empat bulan sebelum Berlinale 2009 berlangsung pada Februari lalu, Wieland Speck berburu film ke Indonesia. Ia menonton film, menilai, dan berdiskusi dengan film-maker Indonesia, kemudian membawa beberapa film Indonesia untuk tampil dalam sesi Panorama Berlinale 2009.

Wartawan Gatra Miranti Soetjipto-Hirschmann sempat mewawancarai Wieland Speck ketika Berlinale berlangsung. Speck berbicara tentang industri film Jerman, perfilman Indonesia, dan sebagainya. Petikannya:

Bagaimana Anda melihat kenaikan jumlah film Indonesia yang masuk ke Berlinale?

Untuk pertama kalinya, (November tahun lalu) saya mengadakan perjalanan ke Indonesia bersama seorang kolega dari foreign section (Berlinale). Di Goethe Institut, Jakarta, saya bertemu dengan beberapa film-maker, dan kami berdiskusi di sana. Saya menangkap, perfilman Indonesia pada saat ini sangat hidup dan penuh semangat. Saya berharap, film-film bermutu seperti itu dapat diproduksi setiap tahun.
Berapa film yang Anda tonton selama berada di Jakarta?

Lima belas film, tapi delegasi kami di Asia jauh sebelumnya telah melihat lebih banyak film Indonesia. Berlinale punya dua delegasi di Asia dari Hong Kong Film Festival. Mereka juga screening film untuk kami.

Mengapa baru sekarang Berlinale tertarik pada film Indonesia?

Khususnya setelah sekian lama (ia tertawa). Itulah intinya! Di setiap budaya, kami menyaksikan naik dan turunnya industri film. Kini Indonesia sedang menanjak dengan kreativitasnya. Setiap negara mengalaminya. Jerman sendiri sempat berada pada lembah yang dalam selama 15 tahun. Industri film Jerman mengalami kebangkitan kembali selama enam hingga tujuh tahun belakangan ini.

Kami punya perkiraan, apa yang terjadi dengan industri film Korea sedang terjadi juga dengan Indonesia. Artinya, film-maker, produser, pekerja produksi, pekerja kreatif, dan industrinya sedang kompak bekerja sama. Dan kami hanya bisa memperhatikan bagaimana perkembangan berikutnya.

Apa penilaian Anda setelah menonton 15 film Indonesia itu?

Saya tidak berpendapat bahwa sisi kualitasnya harus lebih jauh digali, karena kualitas bisa saja dipertimbangkan secara internasional. Jadi, ketertarikan internasional tidak hanya terletak pada kualitas, melainkan juga bagaimana film bercerita (story telling) dan temanya yang mungkin saja lokal tapi misinya dapat dimengerti secara global. Inilah yang terjadi pada film-film yang kami tonton.

Misalnya Laskar Pelangi yang berkisah tentang sebuah sekolah di desa terpencil yang hampir tutup. Anda tahu film ini menjadi box office di Indonesia?
Kisah itu bisa saja terjadi di mana pun di dunia ini dan bisa dimengerti. Ini menarik karena sangat spesifik. Juga film At Stake (Pertaruhan) yang menampilkan empat dokumentasi. Ini merupakan contoh masalah yang harus dihadapi pada dunia modern yang secara paralel juga menghadapi masalah tradisi.

Tradisi merupakan bagian dari dunia yang juga ingin punya posisi. Sementara itu, dunia modern akan terus berkembang. Bentrokan antara tradisi yang terbarukan dan modernitas adalah masalah global. Jadi, film At Stake memberi sentuhan masalah global dengan spesifikasi Indonesia.

Setelah Berlinale, apakah Anda melihat kemungkinan film-film Indonesia itu diputar di Eropa, di bioskop atau saluran televisi, misalnya?

Inilah yang saya upayakan. Hal itu merupakan jiwa Panorama Section di Berlinale, selalu berupaya menghidupkan film-film pasca-festival, tidak hanya pada saat festival. Tentu sekarang bergantung pada situasi ekonomi global. Tidak hanya industri film yang sedang berada pada situasi sulit. Sekarang ini terlalu banyak film di bioskop. Di samping itu, beberapa perusahaan film bangkrut.

Ini saat yang sulit untuk memprediksi. Tapi, satu hal, tentu film yang diputar di Berlinale merupakan titian karier bagi para film-maker di dunia. Artinya, ini merupakan prestasi bagi para film-maker dan akan terus mengkuti seleksi Berlinale yang mungkin terseleksi juga di festival film lainnya.

Bagaimana menyeleksi film yang diputar di sesi Panorama Berlinale: para film-maker mendaftarkan karyanya atau panitia menentukan seperti pada film Laskar Pelangi?

Bisa keduanya. Saya melakukan perjalanan keliling dunia dan tentu dibantu para delegasi kami di banyak negara untuk melihat filmnya dan memberikan opini kepada kami. Di samping film-film dalam bentuk DVD yang dikirim ke Berlin untuk dipilih, sehingga kami dapat melihatnya di Berlin. Sangat mudah diakses, sehingga jumlah film yang tiba di meja kami sangat banyak.

Tentu para film-maker harus menyadari, ada 3.500 film yang ingin menjadi bagian dari 50 porsi film di Panorama Berlinale. Sangat sulit untuk mengelola semuanya. Tapi kami selalu berupaya untuk mudah diakses, karena kami tak pernah mengetahui bagaimana film dapat terseleksi dan menjalankan program agar tetap sukses.

Lalu, bagaimana orientasi Berlinale ke-60 pada tahun depan, sudah punya tema istimewa?

Tentu. Tapi Saya belum tahu persisnya. Memang sudah ada beberapa ide. Selain fokus pada queer yang kami miliki tiap tahun, kami juga punya Panorama dan fokus. Mungkin fokusnya negara, atau wilayah, atau secara tematik atau estetik. Tapi ini belum bisa kami dapatkan sebelum melihat film-film itu.

Anda pasti merasa beruntung bisa melihat begitu banyak film?

Ini telah menjadi hidup saya. Saya sempat berpikir untuk hidup di luar industri film (ia tertawa lagi).

Terlibat pada penyelenggaraan Teddy Award sejak awal?

Saya salah satu pendirinya.

Apakah Teddy Award hanya terfokus pada film film Queer?

Betul. Ini fokus Panorama sejak hari pertama. Sejak kami memulai Panorama, 30 tahun lalu. Kami mencari film khusus untuk art house market. Itu idenya. Tapi, pada waktu bersamaan, kami tidak hanya melihat art house secara umum, melainkan juga di queer film. Tadinya kami tidak menyadari bahwa tak satu pun festival film di dunia punya fokus pada film film queer, padahal 10% dari jumlah populasi adalah orang orang queer (homoseksual). Hal ini pasti tercermin pada industri film. Sehingga kami mengkhususkan diri pada queer.

Dan biasanya, bila orang mengkhususkan diri pada sesatu, profilnya akan lebih baik. Dari film-film Panorama, kami punya film-film queer paling menarik sepanjang tahun. Pada satu titik, film-filmnya bermutu dan jumlahnya banyak sehingga kami berpikir, mengapa tidak membuat penghargaan khusus? Inilah awalnya ketika Teddy Award diberikan pertama kalinya pada 1987. Pemenangnya pada saat itu tidak dikenal publik, tapi sekarang jadi bintang besar: Gus van Sant.

Anda menyebutkan bahwa industri perfilman Jerman sempat jalan di tempat selama 15 tahun. Apa yang sebetulnya terjadi?

Ya, artinya produktivitas budaya mengalami timbul tenggelam. Begitu juga situasi politik di berbagai negara. Kadang kisah-kisah itu tumbuh dari berbagai sudut, tapi orang tak berani mengisahkannya. Jadi, bergantung pada sistem politik yang bereaksi serta membuat para artis bangkit dan menjadi lebih kreatif. Biasanya memang begitu.

Pada tahun-tahun terakhir, pemerintahan Bush di Amerika Serikat, contohnya, membuat para film-maker menjadi sangat agresif. Lalu kadang ada pemerintahan yang konservatif dan sadar bahwa para seniman harus bangkit. Pemerintahan di Jerman sangat konservatif untuk periode yang lama.

Semua orang tertidur dan akhirnya bangun setelah sekian lama. Sekarang kami tak punya pemerintahan sayap kanan lagi, tapi kisahnya ada di sini. Begitulah, timbul tenggelam seperti garis sinus, seperti gelombang di laut. Itu pula sebabnya, kami datang ke Indonesia karena industri filmnya sedang menanjak.

Apa perkembangan paling menarik dalam industri film Jerman pada saat ini?
Yang paling menarik dan paling positif belakangan ini adalah jenis film yang sangat banyak. Kami punya semua jenis film, absolutely extravagant extremly industrial. Anda bisa menemukan segala kemungkinan dalam memproduksi film. Artinya, ini merupakan industri yang sehat. Bukan hanya industrinya, melainkan juga bidang kreatifnya.

Itu tercermin pada 13 film pendek Jerman yang ikut kompetisi Berlinale?

Ya, ke-13 film itu menunjukkan keragaman film Jerman yang ada sekarang ini. Saya hanya bisa berharap, peningkatan kreativitas ini dapat bertahan selama mungkin. Tentu suatu hari akan turun lagi, tapi kami tak ingin hal itu terjadi segera.


Apa sebetulnya yang membuat film Pink Panther 2 masuk di Berlinale?


Kadang kami juga ingin bersenang-senang. Saya harus mengatakan bahwa kami (kurator Berlinale) sangat menikmati film itu. Ada hal yang lucu. Bila Anda pergi ke Festival Film Cannes, Hotel Ritz Carlton selalu diselubungi dengan baliho raksasa bergambar Pink Panther, sampai-sampai hotelnya tak terlihat.

Saya selalu heran, apa hubungan Pink Panther dengan Cannes?

Tidak ada. Dan akhirnya, ya, kami juga memutar film Pink Panther di Berlin. Kami memutarnya hanya untuk having fun. Apalagi, Pink Panther 2 itu berstatus out of competition.

Published: Gatra 19/25 March 2009

Popular Posts