Puzzle Pina di Tepian Seine


Ditta Miranda mengguncang Paris. Jadi maskot kelompok Pina Bausch Tanz Theater. Karcis pertunjukan habis dipesan sejak tahun lalu.

Di jantung kota Paris di tepi Sungai Seine, berdiri megah Theatre de la Ville. Gedung dengan sentuhan Renaisans itu bertetangga dengan Musse du Louvre (The Louvre Museum), tempat penyimpanan karya-karya maestro dunia seperti Leonardo da Vinci dan Boticelli.

Dengan kapasitas 975 tempat duduk, Theatre de la Ville merupakan panggung paling bergengsi di Eropa untuk pertunjukan seni modern. Sepanjang Juni lalu, di tempat ini Pina Bausch Tanz Theater pentas. Grup tari kontemporer asal Jerman itu membawakan Nef�s, repertoar buatan tahun lalu, tentang kehidupan di Istanbul, Turki.

Nama Pina Bausch sudah mewangi ke seantero jagat. Pertunjukannya senantiasa dinanti. Selain di Prancis, tahun ini mereka tampil di Berlin, Italia, Tokyo, New York, dan London. Karcisnya rata-rata sold out setahun sebelum pementasan.

Selama 30 hari pementasan di Paris, sebanyak 29.250 tiket habis terjual. Di Eropa, harga karcisnya 10 sampai 40 euro, tergantung lokasi dan waktu pementasan. Namun, di New York, saat pertunjukan gala, bisa mencapai US$ 500. Bintang-bintang Hollywood seperti Michael Douglas dan Isabella Rosellini termasuk penggemar setia kelompok ini.

Orang yang tak kebagian karcis rela antre, minta "belas kasihan" seperti disaksikan Gatra pertengahan Juni lalu. Dua jam sebelum pementasan berlangsung, banyak orang berdiri didepan gedung Th��tre de la Ville, menenteng kertas bertuliskan: "Ticket for Pina, please, please."

Heather Hansen, mahasiswi seni tari asal Idaho, Amerika Serikat, mengaku siap berbuat apa saja untuk mendapat selembar tiket. "Pina kelompok terbaik di dunia," kata wanita berusia 34 tahun itu. Ia mengaku, setiap sajian Pina bisa menyentuh kalbunya. "Mereka membuat saya tertawa dan menangis," Heather menambahkan. Heather mengatakan pernah menonton pementasan Pina di Tokyo pada 1999, saat ia sedang menuntut ilmu di Jepang.

Pertunjukan Pina selalu disambut tempik sorak. Misalnya pertunjukan di Prancis yang baru usai itu. Setiap malam, begitu tirai diturunkan tanda pertunjukan selesai, tepuk tangan penonton bergemuruh tiada henti selama hampir 20 menit. Salah satunya ditujukan untuk Ditta Miranda Jasjfi, asal Indonesia.

Berderet dengan penari mancanegara dari Jerman, Rusia, Italia, Korea, Jepang, dan Venezuela, Ditta yang berpostur khas Asia dengan tinggi 1,5 meter terlihat sangat mungil. Ditta bergabung dengan Pina sejak Juni 2000. Sebelumnya, selama enam tahun ia menari untuk Bremen Stadt Theater, kelompok tari milik pemerintah, juga bermarkas di Jerman.

Bersama Bremen, pada 1998 Ditta sempat ikut ambil bagian dalam Art Summit International di Jakarta. Mereka mendapat jatah dua kali manggung. "Di hari kedua, ada 300 orang menunggu di luar cari karcis. Saya bahagia sekali," katanya. Kini ia ingin mengulang pengalaman itu bersama Pina Bausch. "Saya ingin sekali menari dengan grup saya yang sekarang ini di Indonesia. Kapan, ya?" ujarnya menerawang.

Ditta bisa bergabung dengan Pina setelah menyisihkan 300 peserta audisi dari berbagai negara. Ketika itu, tubuh mungilnya terselip di antara penari bule yang perawakannya tinggi. Ia sempat pesimistis bisa lolos.

Tiga bulan berlalu sejak audisi, tak ada kabar apa pun. Pada agenda harian Ditta, 14 Juni 2000, tertulis rencana pergi ke biro perjalanan setempat untuk membeli tiket satu kali jalan ke Jakarta.

Namun, nasib berkata lain. Hari itu, pukul sembilan pagi saat ia masih tidur, telepon apartemennya berdering. Ia diberitahu diterima bekerja pada kelompok Pina Bausch untuk menggantikan salah satu penari wanita berkebangsaan Brasil yang hamil. Kebetulan posturnya mirip dengan Ditta.

Kini Ditta jadi salah satu maskot kelompok tersebut. Dia dijadikan model untuk poster dan buku program Th��tre de la Ville. Dalam brosur pertunjukan Nef�s disebutkan bahwa kehadiran penari berkebangsaan Indonesia itu memberi banyak perubahan dalam proses berkreasi kelompok teater tersebut.

Selama bergabung dengan Pina, Ditta sudah menarikan tak kurang dari 13 repertoar. Proses penciptaan karya-karya tersebut terbilang unik. "Pina mengutamakan improvisasi," kata Ditta. Yang dia maksud adalah Pina Bausch, bos sekaligus pendiri kelompok tari beranggotakan 30 orang itu.

Tiap latihan, kepada penarinya, Pina mengajukan dua sampai empat pertanyaan. Jawabannya harus dengan gerak. Dalam tiga bulan, tak kurang dari 100 pertanyaan dilontarkan Pina. Semua jawaban itu terdokumentasikan dalam video.

Pina kemudian memilih gerakan-gerakan yang dianggapnya terbaik, lalu mengarahkannya menjadi koreografi yang harmonis. "Jadi, seperti menyusun puzzle," katanya. Barangkali karena itulah, pertunjukan Pina terasa sangat personal. Di panggung, para penari muncul dengan karakter khas masing-masing.

Kadangkala sebuah repertoar dibuat berdasar "pesanan", seperti Nefes. Kelompok tari Pina Bausch ini diundang khusus untuk merekam kehidupan sehari-hari orang Turki. Kesan-kesan yang ditangkap oleh indra para penari itulah yang kemudian disusun menjadi sebuah koreografi.

Jadilah Nefes. Adegan demi adegan seperti terlepas satu sama lain, tak ada akhir dan awal cerita. Keriuhan di pasar tiba-tiba bisa beralih ke adegan kasmaran seorang pria beristri dengan WIL-nya. Boleh jadi, napas kehidupanlah perekat semuanya. Dalam bahasa Turki, nef�s berarti napas.

Adegan awal repertoar itu lumayan memancing tawa. Para penari lelaki berbalut handuk dan bersandal jepit, bergerak seolah sedang berada dalam sebuah hamam (tempat mandi umum khas Turki). Mereka bergantian saling memijat. Adegan itu berawal dari pengamatan mereka terhadap kebiasaan laki-laki Turki. "Cowok-cowok sering berpelukan saat bertemu," kata Ditta.

Selanjutnya, tujuh penari wanita menunduk, menyisir rambutnya ke arah penari pria yang telentang bertelanjang dada di hadapan mereka. Kemudian mereka menari berpasangan, melambung-lambungkan para penari wanita ke udara.

Sekuen beralih ke sebuah momen cinta. Seorang gadis mungil berkulit gelap dengan rambut lurus sepunggung bergerak ke tengah panggung. Tubuhnya yang dibalut kain merah transparan bergerak cantik mengikuti alunan musik. Tangan dan kakinya mengentak dan meliuk lembut mengekspresikan kegembiraan.

Penari pria yang mendampinginya memperlakukan gadis itu bak seorang putri. Beberapa kali diciumnya gadis itu dalam pelukannya. Penonton dibuat terpukau melihat tarian gadis yang penuh detail namun begitu indah seakan keluar dari jiwanya itu. Gadis itulah Ditta Miranda Jasjfi. Dengan karakter tarinya yang kuat dan khas, ia mampu menyihir panggung.

Dalam beberapa adegan, Ditta menari solo karyanya sendiri dengan gerakannya yang sarat detail dan amat dinamis. Ia bergerak secara total, mengekspresikan getar jiwanya yang tumpah ruah di atas panggung. Tangannya lentur membentuk pusaran di udara. Sesekali ia bergerak pelan, namun kadang mengentak, melompat, dan berputar cepat.

Wajahnya yang polos tanpa riasan dan rambutnya yang kelam menguatkan tariannya yang feminin dan seksi. Koreografi solo Ditta memiliki tipe khas: kaya dengan unsur tradisi. Inilah yang membuat koreografer sekaliber Pina Bausch jatuh cinta.

Miranti Soetjipto (Paris)



Berawal dari Folkwang

PINA Bausch Tanz Theater lahir dari dedikasi seorang wanita Jerman yang mengkhidmatkan hidupnya pada seni tari. Wanita itu, Pina Bausch, lahir di Solingen pada 1940, ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk. Pina memulai studi tarinya di Folkwang School di Essen, Jerman, saat berumur 15 tahun.

Ia menyelesaikannya dalam waktu tiga tahun, dan menerima penghargaan sebagai siswa dengan prestasi khusus. Saat itu, Kurt Joos menjabat sebagai direktur sekolah tersebut. Dibiayai oleh DAAD (German Academic Exchange Service), Pina melanjutkan pendidikan tarinya di Juiliard School, New York, Amerika Serikat.

Pada saat bersamaan, ia mengambil bagian pada pementasan Paul Sanasardo & Donya Feuer Dance Company dan The New American Ballet. Tak lama, ia menjadi anggota Metropolitan Opera's Ballet Company.

Tahun 1962, Pina kembali ke Jerman. Ia ia menjadi solois pada Folkwang Ballet Company. Kariernya mulai menanjak ketika ia menciptakan koreografinya yang pertama dengan judul Fragmentepada, diikuti Im Wimd der Zeit, yang memenangkan hadiah utama dari Second International Coreographic Competition di K�ln.

Pada 1969-1973, ia bekerja sebagai artistic director pada Folkwang Ballet Company, namun tetap menari dan mendalami koreografi. Dengan posisinya yang baru, ia membantu perkembangan tari modern --setelah masa-masa sulit pasca-Perang Dunia di Jerman-- yang memiliki akar "ekspresif". Seni tari aliran ini pernah berkembang pada 1920-an. Namun, kekuasaan Nazi dan keadaan perang menyebabkan tari modern Jerman kehilangan jati dirinya dan terisolasi.

Tahun 1972, Pina membantu pementasan produksi Hans Peter Lehmann, yang mengangkat karya lawas pujangga musik kenamaan Jerman, Richard Hagner, dengan Tannhaeuser-nya untuk Wuppertal Opera Company pada 1972. Setelah pementasan itu, ia diangkat menjadi Direktur The Wuppertal Opera Ballet. Ia mengangkut para penari asuhannya dari Folkwang Tanz Studio.

Tak lama setelah kehadirannya, perusahaan itu berubah menjadi Wuppertal Tanz Theater dan akhirnya dinamai Wuppertal Pina Bausch, kini lebih dikenal sebagai Pina Bausch Tanz Theater. Penggemar Pina Bausch tersebar di seluruh dunia. Tak jarang mereka rela terbang ke belahan dunia lain untuk melihat koreografi terbaru Pina. "Koreografinya tak pernah membosankan. Kaya warna�" kata Rafael asal Barcelona, Spanyol. Sejak 1985, ia rutin memburu pertunjukan terbaru Pina Bausch.



Diva Tari Rindu Bakmi

TAK mudah "menangkap" Ditta Miranda Jasjfi. Jadwalnya padat. Dalam setahun, dia hanya lima bulan menetap di Wuppertal, Jerman, markas Pina Bausch Tanz Theater. Selebihnya, melanglang buana ke berbagai negara.

Ketika dihubungi lewat telepon untuk wawancara, ia memberi jadwal turnya yang panjang. "Saya baru kembali dari Barcelona. Sekarang kami berada di Paris selama sebulan. Berikutnya kami harus ke Tokyo untuk tiga minggu," katanya.

Wawancara akhirnya dilakukan di sela-sela pementasannya di Paris. "Berkah bisa bergabung dengan Pina Bausch�" kata Ditta, yang ditemui Gatra di Au Vieux Chatelet, sebuah kafe kecil di seberang gedung Th��tre de la Ville.

Tumbuh dalam sebuah keluarga Minangkabau, putri pertama pasangan Epi dan Martinezia Jasjfi ini lahir di Jakarta, 22 Juni 1967. Ia anak pertama dari dua bersaudara. Saat berumur empat sampai tujuh tahun, Ditta tinggal di Paris mengikuti orangtuanya, yang mendapat tugas belajar dari kantornya. Ayahnya insinyur kimia, peneliti di Lembaga Minyak dan Gas Bumi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas ini berada di bawah naungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Umur lima tahun ketika mulai masuk taman kanak-kanak sampai kelas I sekolah dasar, Ditta belajar balet untuk anak-anak di Paris. Pada usia tujuh tahun, saat kembali ke Tanah Air, ia mulai belajar tari Bali. Balet klasik yang dipelajarinya dulu ia lanjutkan pada umur 10 tahun di Sumber Cipta, pimpinan Farida Faesol. Linda Oetoyo (dulu Linda Hoemar --penari balet yang juga pernah berkiprah di Amerika) adalah teman sekelas baletnya.

Kata Farida, ketika pertama belajar� Ditta tak terlalu menonjol. Bakatnya kalah dibandingkan muridnya yang lain. "Cuma, dia seorang pekerja keras. Tak pernah ngeluh," kata Farida Faesol kepada Gatra. Ibaratnya, kalaupun harus latihan jungkir balik puluhan kali, pasti ia lakoni.

Setelah Ditta tiga tahun mendalami tari balet, Farida mengharuskannya mempelajari tari tradisional. Dengan tekun, ia mempelajari tari Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan jaipong --yang sekarang ia rasakan banyak sekali manfaatnya. Ditta juga rajin mengikuti lomba-lomba tari dan berbagai pertunjukan. Salah satu yang membuat Pina Bausch jatuh hati pada Ditta karena tariannya kaya dengan unsur tradisi.

Umur 15 tahun, ia mengembangkan diri dengan belajar tari jazz, cha-cha, samba, tango, selain tari balet yang tetap ia dalami. Untuk mencari tambahan uang saku, bersama teman-temannya, Ditta menari di diskotek atau event-event entertainment yang marak pada saat itu.

Gadis yang saat ini masih melajang itu sempat menuntut ilmu di Universitas Nasional, Jakarta, Jurusan Bahasa Jepang. Namun, pada umur 22 tahun, saat ia sedang menekuni kursus bahasa Jerman di Goethe Institut, Farida Faesol mendukungnya untuk mengantongi beasiswa pelajar tari berbakat dari institusi tersebut selama tiga bulan ke Jerman.

Selain mengikuti program beasiswa itu, ia mendaftarkan diri pada sekolah tari setempat dan diterima. Ditta kemudian memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Jakarta, memenuhi panggilan jiwanya, mendalami olah tari di Folkwang Hohschule, Essen, Jerman.

Setelah empat tahun menuntut ilmu, pada 1993 Ditta lulus dengan predikat terbaik. Ia kemudian diterima bekerja pada dance company sekolah itu. Namanya Folkwang Tanz Studio, pimpinan Pina Bausch yang ia kagumi. Setelah satu tahun, pimpinan kelompok itu berganti.

Ditta pun kemudian keluar dan bergabung dengan Bremen Stadt Theater selama enam tahun, sebelum akhirnya diterima di Pina Bausch. Sebelum diterima Pina, Ditta sempat berpikir untuk kembali ke Tanah Air. "Itu artinya saya harus berhenti sebagai penari, mencari profesi lain," katanya.

Di Indonesia, penari tak bisa dijadikan sebagai profesi untuk menopang hidup. Beda dengan di Jerman. "Saya nggak usah mikir yang lain. Konsentrasi ke tari saja karena tiap bulan digaji," kata Ditta. Ia ogah menyebutkan jumlahnya.

Bahagiakah Ditta? "Happy-lah. Kalau nggak, bagaimana saya bisa bertahan selama ini," katanya. Ketenaran Pina Bausch menjadi pertimbangan lain. "Karena dia terkenal, jadi pihak pengundang sering mengakomodasi kami di hotel bintang lima," kata Ditta sembari tertawa. Sebagai maskot Pina Bausch, dia juga sering diundang untuk belajar tarian khas satu negara.

Tak terhitung negara-negara yang pernah dikunjungi Ditta. Di tiap tempat yang disinggahi, para penari diharuskan mempelajari bahasa setempat agar bisa berkomunikasi dengan penonton. Tak mengherankan, selain bahasa Prancis dan Jepang, Ditta lancar berbahasa Inggris, Italia, dan Spanyol.

Satunya-satunya yang membuatnya "menderita" adalah larangan potong rambut. Tak hanya Ditta, seluruh penari wanita dilarang melakukan ritual potong rambut. Satu ketika, waktu pulang ke Jakarta, dia sempat memendekkan rambut. Pina berkomentar bahwa Ditta berubah citra. "Oh, mungkiin karena potongan baru rambut kamu, ya," kata Pina. Begitu pula dengan riasan, harus sesedikit mungkin. "Saya bahkan nggak pernah pakai make up untuk di panggung. Saya juga nggak boleh pakai lipstik merah," kata Ditta.

Ia mengaku, sejak kecil cita-citanya jadi penari internasional dan koreografer, lalu manggung di Amerika dan Jepang. "Alhamdulillah, semua itu telah tercapai," tutur Ditta. Saat ini, ia memegang visa tinggal (residence visa) Jerman berlaku seumur hidup, yang didapatnya setelah lima tahun kerja berturut-turut di Bremen Stadt Theater (milik pemerintah).

Banyak yang menyarankan Ditta mengubah kewarganegaraan untuk mempermudah urusan visa. Namun, ia memutuskan untuk terus memegang paspor Indonesia, walaupun sering mendapat kesulitan di bagian imigrasi bandara. "Asal periksa paspor, pasti antrean di belakang jadi panjang," ujarnya.

Tidak kangen Tanah Air? Mata Ditta langsung membulat. "Tentu saja! Setelah pementasan di Tokyo, saya akan pulang ke Jakarta. Saya rindu hangatnya matahari," katanya. Saat itu, ia menargetkan sejumlah buruan: lontong sayur dan bubur ayam untuk sarapan, bakmi Gajah Mada, sate madura, nasi goreng abang-abang, pempek, dan siomay!

Miranti Soetjipto (Paris)

Published: Gatra 34/ 10 July 2004

Popular Posts