Petualangan Belut Buron Kakap


Dua pekan ini, foto mantan Presiden B.J. Habibie muncul di koran-koran Jerman. Ia tampil di halaman depan bersama Ludwig Holger Pfahls. Yang terakhir ini adalah pialang senjata, mantan menteri, yang diduga kenal baik dengan B.J. Habibie. Bahkan, menurut majalah terkemuka Jerman, Der Spiegel, Pfahls ikut punya peran dalam penjualan 39 kapal eks Jerman Timur ke Indonesia pada 1994. Apa kata B.J. Habibie?

TIM gabungan kepolisian Paris dan polisi Jerman (Bundes Kriminal Amt-BKA) nyaris frustrasi. Empat hari diendus, Ludwig Holger Pfahls justru raib. Di apartemennya, di Rue Dupleix Nomor 17, Avenue de Suffen, Distrik 7, Paris, 200 meter dari Menara Eiffel, sosoknya tak kelihatan. Di kamar berukuran 50 meter persegi yang disewa seharga 3.300 euro per bulannya itu, Pfahls tinggal dengan pacarnya, cewek 30 tahun asal Moldavia. Di saat para hamba wet tengah jenuh menanti, tiba-tiba Pfahls nongol.

Selasa pekan lalu pukul 12.50, tatkala kawasan Eiffel ramai dibanjiri wisatawan, Pfahls berniat meninggalkan apartemennya. Pacarnya, dan juga seorang teman pria berumur 40 tahun, turut serta. Petugas BKA menghampiri pria berjanggut putih itu, "Apakah Anda Pfahls?" "Oui, je suis Monsieur Pfahls," jawabnya. Sejurus kemudian, petugas mengepung lokasi itu.

Pfahls tak berkutik. Pria berusia 61 tahun itu tampaknya segera mengakhiri petualangannya di jeruji bui. Setelah jadi buron Interpol selama lima tahun, kini ia harus siap menghadapi pengadilan atas rangkaian ulah culasnya. Baik di Prancis maupun di Jerman, Pfahls mengukir jejak kriminal yang menghebohkan. Juergen Kremb, wartawan Der Spiegel, menilainya sebagai buron kriminal paling besar di Jerman sesudah Perang Dunia II. Sewaktu menjadi Kepala Biro Der Spiegel untuk Asia Tenggara, Juergen pernah menguber Pfahls hingga ke Bali.

Der Spiegel edisi 19 Juli lalu kembali menuliskan dugaan terkaitnya Habibie dalam pelarian Pfahls selama ini. Der Spiegel juga pernah menuliskan kisah ini pada terbitan 6 November 2000. "Kasus Pfahls pasti akan menyedot perhatian publik Jerman," kata Juergen. Juergen kini wartawan Spiegel untuk Wina. Ia tengah berlibur di Italia, tatkala Pfahls ditangkap. Juergen mengaku, adrenalinnya langsung naik, mendengar berita itu.

Media-media besar di Jerman selama sepekan lalu menjadikan penangkapan Pfahls sebagai berita utama. Suddeutsche Zeitung, harian terbesar di Bayern, Jerman wilayah selatan, Rabu pekan lalu menulis satu setengah halaman peringkusan itu. Yang mengejutkan, koran itu menyebutkan, Pfahls kemungkinan pernah bersembunyi di kediaman seorang teman baiknya: mantan Presiden Republik Indonesia Prof. B.J. Habibie.

Harian konservatif Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, Jumat pekan lalu malah memasang foto bersama B.J. Habibie-Pfahls di halaman empat. Keduanya tampak tersenyum. Foto itu diambil pada pembukaan Technogerma di Indonesia, pameran yang diselenggarakan Kamar Dagang Jerman di Indonesia (Ekonid), 1 Maret 1999. Menurut Frankfurter, penampilan Pfahls hari itu merupakan penampakan terakhir Pfahls di muka umum. Setelah itu, ia lenyap bagai ditelan bumi.

Pfahls memang kenal baik dengan Habibie. Ia bekas salah satu deputi kanselir di bawah pemerintahan Kanselir Helmut Kohl. Pfahls, yang pernah menjadi Deputi Menteri Pertahanan, terlibat dalam sejumlah kasus korupsi sebesar 1,9 juta euro (DM 3,8 juta). Sebagian dari duit hitam itu ditengarai masuk kas partai Kohl yang saat itu lagi berkuasa, Christian Democratic Union (CDU-CSU), periode 1993-1998.

Uang itu didapat dari berbagai perjanjian jual-beli antar-negara yang ditangani Pfahls saat menjabat sebagai petinggi negara. Mulai kasus penjualan kilang minyak Leuna di daerah bekas wilayah Jerman Timur kepada Elf Aquitaine, perusahaan minyak Prancis, penjualan 36 tank Jerman ke Arab Saudi, hingga penjualan senjata ke Taiwan (baca: Pialang Bermodal Lobi).

Belakangan, Helmut Kohl mengakui telah menerima uang tersebut dari orang-orang yang tak pernah ia buka identitasnya. Penjualan sumur minyak Leuna seharga 30 juta euro, misalnya, sebagian hasilnya ia akui untuk mengisi pundi-pundi kas partai. Ia meminta maaf atas kesalahannya melanggar peraturan transparansi keuangan partai.

Setelah Helmut Kohl kalah dalam pemilu tahun 1998, dua pertiga dari dokumen penting berbagai transaksi itu hilang tak berjejak. Segepok berkas yang lenyap di antaranya adalah ihwal penjualan 16 kapal pemburu kapal selam (U-Boot-Jagd-Korvetten). Kapal bekas milik Jerman Timur itu dilego ke Indonesia pada 1994. Jumlahnya 39 buah: 16 korvet, 14 kapal pendarat tank (LST), dan sembilan penyapu ranjau.

Penjualan itu kontroversial, karena banyak ditentang menteri perekonomian dan ABRI, pada masa itu. Apalagi, harganya dinilai tidak wajar. Namun Habibie, saat itu Menteri Riset dan Teknologi merangkap Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, secara politik di atas angin. Ia mengemban Inpres Nomor 3/1992, yang memberinya wewenang untuk menjajaki dan menegosiasi pengadaan kapal untuk TNI Angkatan Laut itu.

Kini kondisi kapal itu mengenaskan. Butuh duit ratusan milyar untuk memperbaikinya. Sebagian mengapung di perairan Surabaya, mesinnya mati sama sekali (lihat: Nasib Malang Mesin Perang).

Menurut Hans Leyendecker, wartawan Suddeutsche Zeitung yang menulis lebih dari dua artikel panjang soal keterkaitan Habibie dan Pfahls, dokumen pembelian 16 kapal korvet oleh Indonesia itu masih ada. Ia memastikan, Pfahls terlibat langsung dalam pengadaan 39 kapal perang yang ditangani Habibie itu.

Negosiasi pembelian kapal itu dilakukan tahun 1992. Saat itu, Pfahls sudah mengundurkan diri dari Deputi Menteri Pertahanan Jerman. Ia lantas bekerja sebagai pengacara. Tapi, kata Leyendecker, penjualan alat militer memerlukan proses panjang, malah bisa bertahun-tahun. "Pfahls-lah yang mempersiapkan deal-deal itu ketika masih aktif di Kementerian Pertahanan," kata Leyendecker.

Di Jerman, kata Leyendecker, kasus penjualan kapal "kualitas Jerman" ke Indonesia ini kurang menarik perhatian publik. Tapi ia tahu, parlemen Jerman telah membentuk tim untuk mengumpulkan fakta tentang kasus Kohl dan konco-konconya ketika masih menjabat sebagai Kanselir Jerman. "Penjualan kapal itu diterangkan detail," katanya.

Jejak lain mengenai Pfahls di Indonesia ditemukan pada 2001. Ia dikabarkan menginap di salah satu hotel di Nusa Dua, Bali. Kepergiannya diatur Nikolaus Holzer, asisten manajer saat Pfahls menduduki posisi CEO Daimler Chrysler di Singapura (1992-1998). Nikolaus adalah anak Dieter Holzer, pialang senjata yang punya hubungan luas dengan dinas rahasia Jerman. Dieter dan Pfahls adalah dua sahabat karib. Juergen Kremb menguber Pfahls ke Nusa Dua, tapi tak berhasil.

Berikutnya, pada tahun 2000, Pfahls dikabarkan menginap di sebuah rumah milik orang kaya di Indonesia yang disebut "teman Habibie", tepatnya di Negara. Perburuan ke sini juga tak menuai hasil.

Tapi Habibie mengaku tidak kenal Pfahls. Pria kelahiran Gorontalo ini memang melihat koran yang memasang foto dirinya bersama Pfahls. Jagoan pesawat yang dikenal sebagai "Mr. Crack" ini ingat, foto itu diambil saat pembukaan pameran Technogerma. Ketika itu, kata Habibie, banyak orang yang ingin berfoto dengannya. Orang-orang Jerman pun ada di kiri-kanannya. "Mungkin orang itu kebetulan di belakang saya, dan gambarnya terambil," kata Habibie (baca: Terseret Orang Tak Dikenal).

Benar tidaknya hubungan B.J. Habibie-Pfahls mungkin baru akan terbuka kelak di pengadilan. Menurut Maximilian Hofmeister, hakim yang menangani kasus kakap ini, Pfahls baru dituntut dalam kasus korupsi penjualan 36 tank Fuchs ke Arab Saudi. Ia didakwa menilap sogokan 1,9 juta euro, dan menilap pajak dari uang yang diterimanya.

Kaitan kasus Pfahls dengan Indonesia belum disentuh. "Namun tidak tertutup kemungkinan akan terbuka ke sana," kata Hofmeister kepada Gatra. Maklum, Pfahls punya banyak kontak di Indonesia, ketika ia menjabat sebagai CEO Daimler Chrysler di Asia Tenggara.

Hofmeister juga membuka peluang atas kemungkinan terkuaknya pelarian Pfahls ke Indonesia. Polisi Jerman telah meguber Pfahls ke 12 negara, antara lain Kanada, Lichtenstein, Inggris, Cina, Filipina, dan Indonesia. Pfahls memang ditengarai bersembunyi di Asia setelah menghilang dari Taiwan, Juli 1999. Negara yang disinggahi kemungkinan Indonesia. "Kami belum yakin soal itu, namun Anda bisa lihat nanti pada proses pengadilan," katanya.

Pfahls lahir di Luckenwalde, dekat Berlin, pada 13 Desember 1942. Ia doktor di bidang hukum. Ia lancar berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman sebagai bahasa ibu. Sampai 1973, Pfahls bekerja sebagai juri di Pengadilan Wilayah Bayern. Ia kemudian menjadi jaksa untuk kasus-kasus niaga.

Kariernya menanjak sejak menjadi konsultan pribadi Franz Josef Strauss, petinggi CSU yang menjadi Kepala Wilayah Bayern. Ia menyiapkan dan mendampingi Strauss pada banyak perjalanan dan pertemuan. Di sinilah ia mulai menggalang jaringan dengan orang-orang yang berpengaruh. Pada Juli 1985, Pfahls menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Rahasia Dalam Negeri Jerman selama dua tahun.

Pada 7 April 1987, ia menduduki jabatan Deputi Menteri Pertahanan Urusan Pengawasan Peralatan Militer. Tak mengherankan bila B.J. Habibie yang pernah menjabat sebagai manajer untuk lini produksi senjata militer di Messerschmitt-Boelkow Blohm, perusahaan turbine engineering dan peralatan militer, kenal dengan Pfahls.

Ketika sang mentor Strauss meninggal pada 1988, prestasi Pfahls malah meroket. Pada 15 Januari 1989, tanggung jawabnya bertambah. Ia ikut menangani bidang pertahanan dasar, seperti kontrol peralatan militer, termasuk urusan pertahanan dalam negeri. Meliputi senjata, logistik teknologi informasi, transfer informasi, protokol, rekrutmen, informasi militer, dan humas.

Pfahls dianggap sering membuat perjanjian di luar kebiasaan, tapi anehnya tetap dapat berjalan lancar. Banyak perjanjian sulit yang dibantu kelancarannya. Walaupun Jerman terkenal dengan industri senjata pemusnah, ekspor industri ini bukanlah hal mudah. Setiap perjanjian jual-beli memerlukan izin dari banyak pihak. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Pfahls untuk bermain.

Adalah Karlheinz Schreiber, broker terkemuka perdagangan senjata berdarah Jerman-Kanada, yang mengatur seluruh pembayaran ongkos pelicin untuk para pejabat yang memuluskan bisnisnya. Polisi menemukan buku harian di kediaman Schreiber. Buku itu memuat semua kronologi peristiwa dagang, perjanjian, dan daftar orang yang menerima pelicin, lengkap dengan jumlahnya. Nama Pfahls ditulis secara eksplisit.

Pfahls, yang pernah bekerja pada dinas rahasia Jerman, punya jaringan luas. Ia dikenal licin, bak belut. Tahun 1999, surat penangkapan Pfahls atas kasus korupsi penjualan tank ke Arab Saudi diteken. Ia berjanji terbang ke Muenchen. Namun ia tak muncul. Pfahls langsung menghilang di Asia. Ia pun gampang melenggang berkelana di Taipei dan RRC (Cina) karena luasnya koneksi dia.

Wajar bila Pfahls punya hubungan mesra dengan para petinggi Taiwan. "Provinsi Cina Daratan yang memberontak" ini membeli kapal selam dari Belanda, tanpa persenjataan. Taiwan berhasil mendapatkan senjatanya dari Jerman berkat bantuan seorang tokoh di Indonesia. Menurut wartawan Der Spiegel, Juergen Kremb, selama 1990-1997 B.J. Habibie ke Taiwan delapan kali. "Saya tidak berhasil membuktikan apakah kepergian itu ada hubungannya dengan transaksi Jerman-Taiwan, tapi saya sangat mencurigainya," kata Juergen.

Peristiwa Pfahls, kapal Jerman Timur, juga penjualan senjata ke Taiwan, sudah lama berlalu. B.J. Habibie juga sudah mengalami berbagai pergantian posisi: menteri, wakil presiden, presiden, hingga kini menjadi rakyat biasa yang tinggal di Jerman sana. Habibie mengaku tak terusik atas berbagai berita penangkapan Pfahls itu, termasuk foto-fotonya yang terpampang di koran Jerman.

Memang tak mudah menyingkap sebuah misteri, termasuk dalam pembelian kapal eks-Jerman Timur, yang sudah 10 tahun berlalu.

Khudori, Miranti Soetjipto dan Luky Setyarini (Jerman)



Pialang Bermodal Lobi

IA tengah berjalan di kawasan Menara Eiffel, Paris, tatkala ditangkap polisi, Selasa pekan lalu. Bersamanya, seorang perempuan 30 tahun berkebangsaan Moldovia dan seorang teman pria berumur 40 tahun. Tatkala sekumpulan polisi gabungan Jerman dan Prancis meringkusnya, pria berumur 61 tahun itu tak bisa bergerak.

Pria itu bernama lengkap Ludwig Holger Pfahls. Ia buron sejak 1999. Ia masuk daftar "wanted" di Interpol. Penangkapannya bocor ke pers. Sebuah stasiun televisi di Paris sempat merekam adegan tatkala ia diringkus. Tapi polisi menyita kaset rekamannya. Kini Pfahls masih ditahan di Paris. Ia menjadi rebutan dua negara, Jerman dan Prancis.

Di dua negara itu, Pfahls memang menorehkan jejak kriminal cukup dalam. Ia diuber Pemerintah Prancis karena diduga ikut mengatur pembelian ladang minyak Leuna di daerah bekas Jerman Timur, serta perusahaan distribusi minyak di bekas wilayah Jerman Timur, Minol, kepada Elf Aquitaine, Prancis. Pfahls ikut hadir dalam negosiasi di kantor Kanselir Helmut Kohl. Bahkan, ia yang mengatur pertemuan pemimpin Elf waktu itu, Loik Le Floch-Prigent, dengan Kohl, pada Juli 1992.

Penjualan ladang minyak itu nilainya 30 juta euro. Kohl menyebut transaksi ladang minyak itu sebagai proyek industri terpenting Jerman-Prancis sejak Perang Dunia II. Pundi-pundi koalisi Partai Uni Kristen Demokratik-Uni Sosial Kristen, biasa disingkat CDU, bertambah 1,9 juta euro. Dalam kurs sekarang, sekitar Rp 22 milyar. Duit itu dipakai untuk dana kampanye. Helmut Kohl tak bisa mempertanggungjawabkan asal duitnya itu.

Kasus sumbangan gelap itu bergulir ke pengadilan. Kohl menolak menyebutkan dari siapa masuknya dana haram itu. Titik terang baru muncul dari pengakuan Wolfgang Schaubel, Ketua CDU. Ia mengatakan, partainya mendapatkan sumbangan dari Karlheinz Schreiber. Broker berdarah Jerman-Kanada itu adalah pialang perdagangan senjata yang kondang. Ia mengatur seluruh pembayaran ongkos pelicin untuk para pejabat yang melancarkan bisinisnya. Polisi menemukan catatan harian di kediaman Schreiber, memuat semua kronologi peristiwa dagang, perjanjian, dan nama penerima pelicin, lengkap dengan jumlahnya. Termasuk nama Pfahls, yang ditulisnya secara eksplisit. Schreiber dan Pfahls memang sudah lama saling mengenal.

Pfahls sesungguhnya bukan sekadar menerima. Ia menentukan strategi lobi untuk membeli Minol dan Leuna. Mantan kepala staf dinas rahasia Prancis, Pierre Lethier, yang juga ikut memburu Pfahls, menceritakan kisahnya di buku Argent Secret (Uang Rahasia). Di situ Lethier menggambarkan, Pfahls adalah sosok yang sangat menguasai liku-liku struktur kekuasaan Jerman, dengan lobi yang mengakar. Lethier bertemu Pfahls dan Dieter Holzer, broker senjata yang punya koneksi luas di Dinas Rahasia Jerman, di sebuah rumah peristirahatan di tepi Danau Tegern, Jerman.

Di situ mereka membicarakan siasat pembelian Minol dan Leuna. "Saya mendapatkan tawaran 1,3% dari investasi yang ditanamkan Prancis," katanya. Eh, tawaran itu ia ambil. Atas dosanya menerima sogokan itu, Lethier dihukum 15 bulan. Kepala Elf Aquitaine, Loik Le Floch-Prigent, juga dijebloskan ke tahanan Sante, Paris, tempat Pfahls kini ditahan.

Kasus heboh lain yang melibatkan Pfahls adalah penjualan 36 tank Jerman jenis Fuchs Spurpanzer buatan Thyssen Industrie, Essen, Jerman, pada 1991, kepada Arab Saudi. Total harga panser yang dilengkapi peranti pelacak itu mencapai 210 juta euro. Padahal, harganya cuma 110 juta euro. Sisanya untuk pelicin! Pfahls menerima 2 juta euro di rekeningnya pada sebuah bank di Swiss sebagai jasa broker.

Jalur yang ditempuh Pfahls untuk mendapatkan tank itu memang lumayan sulit. Pemerintah Arab ingin mendapatkan tank itu dengan cepat. Mereka risau setelah mendengar kabar bahwa Irak menyiapkan nuklir dan senjata biologi. Tapi Thyssen tak sanggup memenuhi jadwal yang ditetapkan. Beruntung, Pfahls memiliki koneksi luas di Angkatan Bersenjata Jerman. Ia kemudian berhasil mendapatkan 36 tank milik angkatan bersenjata, untuk dikirim ke Arab.

Pfahls juga sangat berperan dalam penjualan senjata ke Taiwan. Juergen Kremb, wartawan Der Spiegel, Jerman, yang rajin memburu Pfahls bertutur, Taiwan ingin membeli kapal selam dari Belanda. Untuk menghindari konflik dengan Cina, Belanda menjual kapal selam itu tanpa senjata. Untuk melengkapinya, Taiwan membeli torpedo dari Jerman, dengan bantuan pejabat tinggi Indonesia.

Penjualan itu berlangsung pada 1990-an, saat Pfahls menjadi Deputi Menteri Pertahanan yang bertugas mengontrol senjata. Di Indonesia, saat itu Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Menurut informasi Juergen, selama 1990-1997, B.J. Habibie delapan kali ke Taiwan.

Penjualan ke Taiwan itu membuat Pfahls mempunyai hubungan mesra dengan para petinggi di Taiwan. Sehingga, tatkala ia menghadapi persoalan hukum di Jerman, ia buru-buru terbang ke luar negeri. Ia diduga pergi ke Taiwan. Eh, tahu-tahu ia diringkus di Paris.

Luky Setyarini dan Miranti Soetjipto (Jerman)

Published: Gatra 37/31 July 2004

Popular Posts