Nasib Malang Mesin Perang


Dirancang bukan untuk perairan daerah tropis. Kerja mesinnya tak bisa lagi memacu laju dengan cepat. Kapal eks Jerman Timur turun derajat, dari satuan tempur ke satuan patroli.

TONGKRONGANNYA sih masih menyeramkan. Tubuhnya tampak tegap dan kokoh. Sehingga masih sanggup mengusung beragam senjata berat. Boleh dibilang, cukup bisa membuat ketir lawan yang mencoba menerjang. Namun sayang, hidupnya kini sungguh tak bergairah. Sehari-hari kerjanya lebih banyak mengambang kaku di Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur, pangkalan milik Armada Timur TNI Angkatan Laut (AL).

Itulah nasib empat kapal perang jenis korvet Parchim milik TNI-AL, yang dibeli dari eks negara Jerman Timur. Karena keadaannya masih loyo, keempat kapal itu terpaksa tak bisa turut dalam operasi bersama pengamanan Selat Malaka bersandi Malsindo, yang mulai berlangsung Selasa lalu.

Dalam operasi yang melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Singapura itu, jajaran kapal korvet milik Indonesia yang bertugas hanya KRI Teuku Umar, KRI Silas Papare, KRI Memet Sastrawijaya, dan KRI Pati Unus. "Keandalannya sudah cukup memadai," kata Kolonel Sumantri, Kepala Dinas Penerangan Umum TNI-AL. Nasib kapal-kapal itu memang sedikit lebih baik. Mereka masuk dalam kelompok korvet yang sudah rampung diperbaiki.

Kapal jenis korvet merupakan bagian dari 39 kapal perang eks Jerman Timur yang dibeli tahun 1994. Jumlahnya 16 buah. Sedangkan sisanya terdiri dari sembilan kapal jenis penyapu ranjau dan 14 kapal jenis Frosch. Harganya memang terbilang murah. Total duit yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia "hanya" Rp 1,5 trilyun.

Untuk satu unit korvet, misalnya, hanya dibanderol US$ 11 juta. Itu sudah termasuk biaya perawatan sebelum berlayar dari Jerman menuju Tanah Air. Bandingkan dengan harga kapal serupa buatan Belanda yang seharga US$ 250 juta. Malah kapal buatan PT PAL yang terbilang murah berlabel harga US$ 60 juta.

Namun, pembelian itu mengundang kontroversi. Walau murah, harga itu menjadi terasa mahal karena kondisi keuangan negara lagi cekak. Apalagi awalnya nilai yang diajukan sampai US$ 1 milyar. Hingga sempat terjadi semacam tawar-menawar antara Habibie, kala itu pimpinan proyek pengadaan kapal, dan Mar'ie Muhammad, saat itu Menteri Keuangan. Sampai akhirnya dicapai angka kesepakatan US$ 442 juta.

Selain itu, yang lebih mengundang perdebatan, kondisi hampir semua mesin perang itu bak rongsokan besi tua. Bahkan ada yang sudah mangkrak 10 tahun. Kapal-kapal yang rata-rata dibuat tahun 1976 itu mesinnya sudah ringkih. Kecepatan larinya sudah boyot. Malah, ketika dalam perjalanan ke Indonesia, dua di antaranya mandek di Kolombo, Sri Lanka, untuk masuk bengkel. Hanya tiga buah yang layak beroperasi normal.

Tak aneh kalau di balik pembelian kapal itu dicurigai ada apa-apanya. Nama Habibie pun, orang yang paling berperan dalam jual-beli itu, terseret-seret. Kontroversi ini sempat menjadi konsumsi pemberitaan berbagai surat kabar. Sehingga Soeharto menjadi marah, dan berujung pemberangusan Tempo, Editor, dan Detik.

Setelah rezim Soeharto tumbang, kondisi sebenarnya kapal-kapal itu semakin terbukti. Kala pengiriman pasukan dalam rangka operasi militer di Aceh, Gatra sempat merasakan betapa tuanya kapal-kapal perang itu. KRI Teluk Gilimanuk yang ditumpangi memang mampu melaju 20 knot. Namun di tengah perjalanan, kapal jenis Frosch ini terpaksa beberapa kali melempar sauh.

Itu bukan karena kelelahan ataupun mogok. Melainkan harus menunggu iring-iringan KRI Teluk Lampung dan KRI Teluk Cirebon, yang tercecer di bekakangnya. Sebagai kapal sesama jenis Frosch, mestinya Teluk Lampung dan Teluk Cirebon mampu bergerak maksimum 22 knot hingga 25 knot. Namun kenyataannya, keduanya hanya bisa merayap 12 knot. "Kalau ngejar musuh di laut, pasti kita kalah," ujar seorang prajurit TNI-AL yang sama-sama menumpang Teluk Gilimanuk.

Sebagai gambaran saja, waktu tempuh Surabaya-Aceh, yang seharusnya bisa dicapai dalam empat hari, molor menjadi enam hari. Wajar kalau beredar kabar, kapal-kapal ini turun derajatnya. Dari satuan tempur menjadi satuan patroli saja.

Itu baru perkara kecepatan. Soal lainnya yang mendera kapal-kapal eks Jerman Timur itu, antara lain, persenjataan yang terbatas, dek kapal yang kumuh dan berkarat, kapasitas ruang logistik yang kecil, hingga pendingin udara yang terbatas. Untuk kondisi dua terakhir memang beralasan.

Sebab, kapal-kapal itu dirancang untuk beroperasi di daerah dingin dan berjelajah pendek. Selain tak perlu banyak alat pendingin, logistik pun tak perlu banyak diangkut. Ingat, kapal ini dipakai Jerman Timur kala masih bermusuhan dengan "saudaranya", Jerman Barat, yang berjarak cuma "sejengkal". Masuk akal kalau kondisi teknis kapal sebetulnya tak cocok untuk Indonesia yang ada di daerah tropis serta berkawasan laut luas pula.

Karenanya, begitu masuk jajaran TNI-AL, hampir semua alat tempur itu mesti masuk bengkel. Harga beli yang murah menjadi tak berarti setelah melihat biaya perbaikannya. Bayangkan saja. Menurut Laksamana Bernard Kent Sondakh, Kepala Staf TNI-AL, untuk memperbaiki satu unit kapal, rata-rata butuh ongkos US$ 30 juta. "Duit itu terutama untuk mengganti mesin yang sudah rusak," katanya.

Menurut Sondakh, perbaikan terpaksa dilakukan unit per unit, bukan sistem per sistem. Dalam artian, menyangkut perbaikan mesin secara menyeluruh, bukan bagian per bagian. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya. Sebab, jika harus mengganti bagian mesin yang rusak, suku cadangnya harus didatangkan dari negeri asalnya, yang sudah melebur menjadi satu Jerman. Itu pun onderdilnya belum tentu tersedia.

Untuk kapal jenis korvet, misalnya, 10 di antaranya dipermak di galangan kapal PT PAL, Surabaya. Menurut Subekti S., Direktur Pemeliharaan Kapal dan General Engineering PT PAL, dua mesin pendorong di sisi kiri dan kanan seluruh kapal diangkat. Lalu diganti dengan mesin yang masih gres. Kedua mesin ini berfungsi sebagai penggerak kala kapal dalam perjalanan. Sedangkan mesin di tengah yang hanya berguna untuk manuver di dermaga tetap memakai yang lama.

"Teknologi mesin lama punya kemiripan dengan mesin buatan Rusia," kata Subekti. Maklumlah, kala itu kiblat Jerman Timur memang ke Rusia. Sehingga, kalau sekarang sekadar mau mengganti komponennya, suku cadangnya sulit didapat. Itu pun sudah tak efisien. Mesin usang ini punya 56 silinder yang tersusun membentuk bintang segi enam. Komposisi ini membuat kapal jadi boros bahan bakar. Butuh minum 40 ton bahan bakar untuk sekali beroperasi.

Sedangkan mesin baru, empat unit merek MTU dan enam lagi produk Jerman, hanya terdiri dari delapan silinder yang tersusun lurus. Sehingga konsumsi bahan bakar bisa diirit hingga hanya butuh 15 ton dalam satu hari. Selain itu, karena pabrik pembuatnya masih ada, untuk memperoleh komponen penggantinya sangatlah mudah. "Di Indonesia sendiri spare part-nya sudah banyak dijumpai," kata Subekti. Begitu juga dengan kecepatannya, bisa kembali melaju normal 22 knot-25 knot.

Kesepuluh kapal itu sudah selesai dipermak, dan semuanya telah kembali ke pangkalan TNI-AL di penghujung 2003. Mereka bergabung dengan dua kapal lainnya yang diperbaiki di tempat terpisah. Sehingga kini tinggal tersisa empat korvet lagi yang menunggu giliran kucuran dana untuk perbaikan. Kapal-kapal itulah yang hingga kini kerjanya hanya nongkrong di Dermaga Ujung, Surabaya.

Hidayat Gunadi, Hendri Firzani, dan Taufan Luko B. (Surabaya)



Terseret Orang Tak Dikenal

PROFESOR Doktor Bacharuddin Jusuf Habibie benar-benar menikmati hari tua di negeri keduanya, Jerman. Waktunya lebih banyak tersita untuk membaca dan menulis. Dua hobi yang sempat sedikit telantar kala ia sibuk sebagai Presiden RI. Setelah "pensiun" jadi presiden, nama Habibie, kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini, masih tetap beredar di lingkungan para pemimpin dunia.

Hingga kini, penyandang penghargaan dari berbagai lembaga dunia itu tercatat sebagai anggota Integration Council bersama bekas pemimpin negara lainnya, seperti Bill Clinton, Jimmy Carter, Helmut Schmidt, Mikhail Gorbachev, Miyazawa, dan Lee Kuan Yeuw.

Dua pekan belakangan ini, ketenangan Habibie terusik. Namanya dikait-kaitkan dengan Ludwig Holger Pfahls, 61 tahun, penjahat Jerman yang ketangkap di Paris, Prancis, setelah buron selama lima tahun. Orang dekat bekas Kanselir Helmut Kohl ini dituduh menggelapkan pajak dan mengorupsi proyek jual-beli senjata. Duit haram itu mengalir ke Partai Uni Kristen Demokratik, partai yang bekuasa saat Kohl memimpin Jerman.

Kasus yang menggegerkan ini menjadi berita utama berbagai surat kabar di Jerman. Di situ tertulis bahwa Pfahls punya hubungan erat dengan Habibie. Foto bekas Direktur Daimler Chrysler di Asia Tenggara itu tampak mejeng dengan Habibie pada acara pameran industri Jerman Technogerma di Jakarta, tahun 1999.

Koresponden Gatra di Jerman, Miranti Soetjipto dan Lucky Setyarini, berhari-hari mengontak telepon dua rumah Habibie di Kekerbeck, Jerman Utara, dan Muenchen, Jerman Selatan. "Bapak sedang pergi berlibur dengan cucu-cucunya," kata seseorang yang menerima telepon Gatra.

Ketika Miranti, Senin sore lalu, kembali menghubungi telepon rumah Habibie di Muenchen, seorang pengasuh cucu Habibie berjanji menyampaikan permintaan wawancaranya. Setengah jam kemudian, saat ditelepon kembali, dijawab suara lembut Ny. Ainun Habibie. Setelah Gatra memperkenalkan diri, suara di ujung telepon berganti suara laki-laki, B.J. Habibie.

B.J. Habibie: Selamat sore, dengan siapa ini?
Gatra: Miranti Soetjipto dari majalah Gatra.
B.J. Habibie: Wah! Halo, apa kabar? Anda telepon dari mana ini? Dari Jakarta?
Gatra: Dari Nuernberg. Saya kontributor untuk Jerman.
B.J. Habibie: Ah, ya! Bagaimana, Dik. Ada apa?

Media Jerman memberitakan Anda terkait dengan sepak terjang Pfahls, bahkan mereka memuat foto Anda dengan dia.

Siapa sih dia? Saya kenal aja enggak! Eh� ya, di pesawat menuju Muenchen, saya melihat di koran ada foto saya dengan orang itu waktu pembukaan Technogerma dulu. Tapi begini, ya, waktu itu kan pembukaan pameran, banyak sekali orang ingin berfoto dengan saya. Fotografer juga banyak sekali. Banyak juga orang Jerman di sekitar saya. Lagi pula, tempatnya besar.

Waktu itu, kami memang mengunjungi stan industri besar-besar, seperti Siemens dan BMW. Mungkin waktu itu kebetulan orang itu berdiri di belakang saya, dan gambarnya terambil. (Kala itu Habibie hadir untuk membuka pameran sebagai Presiden RI).

Di Suddeutsche Zeitung edisi 14 Juli disebutkan, Anda ada hubungan dalam usaha pelarian Pfahls di Asia.

Saya belum baca itu. Lagi pula, saya nggak langganan koran itu.

Der Spiegel edisi Senin ini pun kembali menyebut Anda terkait.

Saya ini kan mantan Presiden Indonesia, ya. Wajar kalau disebut-sebut oleh media. Tapi belum tentu ada hubungannya, kan?

Anda disebut juga dekat dengan orang-orang Pfahls dari Partai Uni Kristen Demokratik, seperti Helmut Kohl.

Saya kan sudah lama tinggal di sini. Jadi, wajar saja saya kenal mereka.

Termasuk dengan Franz Josef Strauss (bekas Ministerpresident --setara gubernur negara bagian-- Bayern, di mana anaknya, Max Stauss, baru saja dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi)?

Apalagi itu, dia kan petinggi daerah sini. (Muenchen terletak di Bayern). Kenal tapi bukan teman dekat, seperti juga kepada pejabat-pejabat lain (Habibie menyebut beberapa nama).

Pfahls juga, kan, pernah bekerja sebagai kaki tangan Strauss?

Kalau saya kenal dengan seseorang seperti Strauss, belum tentu dong saya kenal dengan stafnya. (Selanjutnya Habibie bercerita panjang lebar tentang pemilihan presiden dan pers Indonesia. "Siapa pun presidennya, harus kita bantu demi rakyat Indonesia," kata Habibie. Ia terkesan menghindari pembicaraan tentang kasus Ludwig Holger Pfahls itu).

Apa kegiatan Anda sekarang?

Saat ini, saya sedang menulis paper tentang hak asasi manusia dan Islam. Tulisan ini pesanan pemimpin negara-negara Eropa dan Menteri Pertahanan Jerman. Untuk selanjutnya akan saya sampaikan dalam forum bertajuk "Radikalisme dan Terorisme" dengan contoh kasus Indonesia.

Published: Gatra 37/ 31 July 2004

Popular Posts