Mencegah Anak Laut Tenggelam

Kekayaan hayati Segara Anakan bakal tinggal kisah indah pengantar tidur. Tingkat sedimentasinya kian mengkhawatirkan. Dalam waktu setahun, satu juta meter kubik endapan lumpur memenuhi laguna terbesar di Indonesia itu.

Keberadaan Segara Anakan nyaris menjadi sebatas legenda. Inilah sebuah laguna terbesar di Nusantara yang terletak di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang dipagari Pulau Nusakambangan. Segara Anakan dalam bahasa Jawa berarti ''anak laut'', dan itu yang memang menggambarkan betapa luasnya wilayah perairan ini.

Data Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) menunjukkan, luasnya pernah mencapai 6.450 hektare pada 1900-an. Segara Anakan merupakan tempat pertemuan tiga sungai besar, yakni Sungai Citanduy, Cikonde, dan Cibeureum. Itu masih ditambah puluhan anak sungai lainnya, juga yang berasal dari Pulau Nusakambangan.

Karena keberadaan Nusakambangan itu pula, Segara Anakan terlindungi dari empasan ombak ganas Samudra Hindia. Hutan bakau di sana juga menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Kondisi ini sedikit banyak membuat keanekaragaman flora dan fauna di laguna itu tumbuh subur dan menjadi salah satu pusat perhatian riset dunia sejak abad ke-19.

Catatan para peneliti Eropa ketika itu menggambarkan Segara Anakan sebagai tempat yang kaya vegetasi laut. Mulai beragam jenis ikan, hiu, penyu, lumba-lumba, buaya air payau, sampai beberapa jenis kera dan kerang penghasil mutiara. Hingga kini pun, Segara masih menyedot perhatian peneliti dunia.

Tiap tahun, puluhan peneliti mancanegara menyempatkan diri bertandang ke Segara Anakan untuk melakukan berbagai penelitian. Mulai masalah bakteri dan parasit, hutan bakau, hingga masalah sosial budaya. Salah satu proyek penelitian yang lumayan gede adalah SPICE II (Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine Ecosystem).

Kini Segara Anakan menjadi bagian dari proyek kerja sama Jerman-Indonesia. Belakangan, kemegahan Segara mulai tenggelam perlahan-lahan ditelan proses sedimentasi yang terus terjadi. Betapa tidak, menurut catatan BPKSA, luas perairan Segara kini menciut hanya mencapai 600 hektare pada 2003 (lihat: Laguna yang Menyempit).

Dalam jangka waktu 150 tahun, dua pertiga dari luas permukaan air laguna berubah menjadi daratan. ''Laju sedimentasi yang terjadi mencapai 1 juta meter kubik tiap tahun,'' kata Supriyanto, Kepala BPKSA, kepada pers. Sebanyak 750.000 meter kubik per tahun dari jumlah itu berasal dari Sungai Citanduy, sedangkan Sungai Cikonde membawa sedimen sebanyak 250.000 meter kubik per tahun.

Menurut Asisten Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam BPKSA, Saiful Purnamaji, dampak yang timbul lumayan luas. Kerusakan yang paling nyata adalah banjir menahun. Seluas 800-1.000 hektare lahan produktif di kawasan irigasi Sidareja-Cihaur, di sebelah barat, selalu terendam banjir ketika musim hujan atau laut pasang. Banjir juga senantiasa melanda sebagian wilayah Ciamis, Jawa Barat, terutama di kawasan irigasi Lakbok, Ciamis, seluas 700-5.000 hektare lahan produktif yang ada.

Dampak lainnya terjadi pada kehidupan ekosistem Segara. Peneliti Jerman dari Proyek SPICE, Kathleen Schwerdtner Manez Costa, menuliskan betapa Segara Anakan pernah mempesona dunia dengan mutiaranya sejak zaman penjajahan dalam artikel ilmiahnya, "Volcanic Eruptions and The Forgotten Pearls" (2008).

Menurut Kathleen, kerang mutiara dapat bertahan hidup pada kedalaman 5-30 meter di laut dan membutuhkan permukaan cukup keras untuk menempel. Kondisi ekosistem Segara Anakan memang cocok bagi mereka dan tumbuh. Bahkan maskapai perdagangan Belanda, VOC, pernah menjadikan mutiara Segara Anakan sebagai komoditas andalan pada 1717. Catatan sejarah yang ada mengungkapkan, perusahaan dagang Belanda itu pernah membawa 30 pound mutiara (atau setara dengan 1.080.000 butir mutiara berbagai ukuran) dari Segara ke Belanda.

Perdagangan ini bertahan hingga 37 tahun, hingga VOC akhirnya melepaskan monopolinya karena berbagai masalah manajemen. Kini kejayaan mutiara Segara Anakan tinggal kenangan. Proses sedimentasi yang disertai menyusutnya hutan bakau amat berpengaruh pada kehidupan biota di sana.

Bukan cuma kerang, populasi ikan, hiu, dan lumba-lumba pun menyusut drastis. Padahal, hutan bakau merupakan sarana berbagai biota untuk berkembang biak. Maka, hasil tangkapan pun mengalami perubahan. Akibatnya, terjadi dampak sosial, masyarakat pesisir pelan-pelan beralih profesi. ''Sudah banyak yang memilih bercocok tanam pada siang hari, tetapi malam hari tetap mencari ikan,'' kata Hartoyo, Ketua Jurusan MIPA Teknik Perikanan dan Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Selain masalah sedimentasi, sejumlah masalah memang turut berpengaruh. Misalnya populasi penduduk yang terus memadat. Menurut data BPKSA, jumlah penduduk di sekitar laguna kini mencapai 15.278 jiwa, meningkat pesat sebanyak 45% sejak 1980-an. Padahal, jumlah yang ideal untuk tinggal di kawasan dusun-dusun laguna hanya 8.000 jiwa.

Yang kini menjadi pertanyaan banyak pihak, apakah serbuan sedimentasi itu dapat dicegah? Untuk mencegah akibat, tentu lebih dulu harus tahu sebab-sebabnya. Para peneliti SPICE II menyimpulkan, proses sedimentasi itu terjadi karena beberapa hal. Salah satunya adalah penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan (unsustainable land use) yang terjadi pada kawasan kota yang berada di hulu Sungai Citanduy.

Begitu juga yang terjadi di kawasan hulu Sungai Cimeneng, yang kini terjadi penggundulan hutan dan konversi lahan. Namun ada juga analisis bahwa sedimentasi yang terjadi murni karena gejala alam. Sedimen yang terus memenuhi Segara tak lain berasal dari kegiatan vulkanik Gunung Galunggung yang masih merupakan kawasan hulu Sungai Citanduy. Geolog yang juga menjadi peneliti SPICE II, Martin Lukas, meneliti proses sedimentasi itu sejak abad ke-19.

Itu terlihat dari berbagai catatan kuno yang ada. Lihat saja catatan geolog dan ahli tumbuhan kondang dari Jerman, Franz-Wilhehm Junghuhn, yang tersimpan rapi di pusat arsip Leipzig, Jerman, tentang letusan Galunggung pada 1822. ''Khususnya Sungai Citanduy membawa muntahan letusan itu dalam jumlah luar biasa besar ke arah laut, yaitu laut yang berada di daratan, Segara Anakan, yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Itu menyebabkan terjadinya penyempitan permukaan sungai dan pendangkalan akibat endapan tanah dalam kurun waktu beberapa hari saja."

Junghuhn juga menerangkan, terjadi gangguan lalu lintas kapal besar di kawasan Segara: ''Beberapa tahun sebelum terjadi letusan, Segara Anakan tercatat dapat dilayari oleh kapal kapal laut besar hingga Cilacap. Sekarang terusan sempit itu hanya dapat dilalui oleh kapal dayung, kadang-kadang endapannya terbawa saat mendayung."

Tak hanya Junghuhn, peneliti Belanda, J.M.G. Schaafsma, melihat gejala yang sama pada 1927. Bahkan ahli topografi ini yang pertama kali meramalkan, kelak laguna Segara akan lenyap sama sekali. Schaafsma menarik kesimpulan itu dengan membandingkan kondisi topografrasi sekitar kawasan Segara pada 1898-1901 dengan kondisi 1924. Ketika itu, ia menghitung, perairan bagian utara Segara akan berubah menjadi daratan sejauh 300 meter hingga tertutup sama sekali.

Menurut Martin, ramalan Schaafsma itu bisa saja terjadi. Setelah era 1960-an, proses sedimentasi itu menjadi makin cepat gara-gara kepadatan penduduk dan banyaknya konversi lahan. ''Jika sedimentasi itu tidak dihentikan, laguna itu akan menghilang,'' kata Martin.

Berbagai upaya mencegah agar si ''anak laut'' tidak tenggelam oleh daratan bukannya tidak ada. BPKSA bekerja sama dengan sejumlah instansi, melalui kegiatan Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan, sedang melakukan berbagai aksi pencegahan. Sebagian ada yang telah selesai. Menurut Saiful, langkah penyelamatan itu dilakukan pada sektor sumber daya air dan pengendalian sedimen hingga memberdayakan masyarakat desa dan sosialisasi.

Pengendalian fisik sedimen, antara lain, dengan penyodetan Sungai Cikonde dan mengeruk sebagian wilayah Segara. Sungai Citanduy juga akan disodet pada 2011, tapi masih harus menunggu hasil analisis dampak lingkungannya (amdal). Selain itu, wilayah celah Plawangan pun akan dikeruk. ''Yang penting, DAS (daerah aliran sungai) Citanduy dapat segera dinormalisasi,'' kata Deputi III Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Emil Agustiono, kepada pers.

Menurut Martin, kegiatan pengerukan dan sodetan memang dapat mengurangi dampak sedimentasi. Tetapi usaha itu harus ditindaklanjuti dengan manajemen budi daya lingkungan yang berkelanjutan dan pembinaan masalah sosial ekonomi. Apalagi, jika tak hati-hati, upaya pengerukan dan sodetan dapat mengancam dan menimbulkan masalah lain pada ekosistem yang ada.

Oleh sebab itu, menurut Hartoyo, hal yang lebih penting lagi adalah memberdayakan warga Segara. ''Penyuluhan bagi masyarakat tentang perubahan yang sedang terjadi di Segara perlu dilakukan, sehingga mereka bisa cepat menyesuaikan diri,'' kata Hartoyo. Soalnya, Segara Anakan nyaris tinggal menjadi legenda.

Nur Hidayat, dan Miranti Soetjipto-Hirschmann (Segara Anakan)



SPICE untuk Segara
Namanya cukup ''pedas'', tapi ini tak ada hubungannya dengan bumbu masakan atau grup musik tertentu. SPICE adalah Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine, lembaga penelitian kelautan hasil kerja sama Indonesia-Jerman. SPICE sudah berjalan pada periode 2003-2007.

Kini proyek SPICE II masih dilanjutkan untuk menyelesaikan berbagai proyek penelitian SPICE I. Pihak Jerman diwakili Center of Tropical Marine Ecology, Bremen, Jerman, bekerja sama dengan berbagai universitas seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Jenderal Soedirman, Univeristas Riau, Universitas Hasanuddin, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Berbagai proyek penelitian dalam program SPICE II cukup penting bagi Indonesia, khususnya di kawasan Segara Anakan. SPICE II dibagi dalam enam klaster menurut tema penelitian. Nah, Segara Anakan mendapat tempat pada klaster 2, yang mengutamakan penelitian tentang ekologi dan dinamika sosial ekonomi serta interaksinya, serta klaster 6, yang menitikberatkan pada bidang pemerintahan dan manajemen sistem sosio-ekologi pesisir.

Penelitian dalam klaster 6 itu cukup menarik. Mereka menekankan peran manusia dan dinamika alam sebagai penyebab erosi, degradasi sumber ekosistem, dan ekosistem hutan bakau yang berada dalam laguna Segara Anakan. Parameternya adalah laju partikel lumpur dalam air serta menggunakan foto satelit yang direkam dari tahun ke tahun sehingga tampak bagaimana perluasan sedimentasi tersebut.

Miranti Soetjipto-Hirschmann

Laguna yang Menyempit
Tahun Luas Perairan (ha)
1903: 6.450 1939 6.060
1944: 5.460 1971 4.290
1984: 3.270 1986 2.700
1992: 1.800 2003 600
Sumber: BPKSA

Published: Gatra 39/ 12 August 2009

Popular Posts