Wawancara B.J.Habibie: Kabinet Tidak Mengenal SARA dan Partai


B.J. Habibie:
Kabinet Tidak Mengenal SARA dan Partai

Mengenakan pullover bertipe turtle neck warna broken white, B.J. Habibie terlihat bugar. Di usia 71 tahun, mantan Presiden RI itu masih aktif bekerja di depan komputer enam jam sehari, termasuk Sabtu dan Minggu. Habibie yang kini tinggal di kawasan perumahan elite perbatasan kota Muenchen, selatan Jerman, pun antusias diajak bicara soal perkembangan politik dan ekonomi di Tanah Air.

Ditemani kue nastar dan kroket ala Belanda dengan saus mustard, B.J. Habibie bertutur berbagai hal soal 10 tahun reformasi kepada wartawan Gatra Miranti Soetjipto-Hirschmann, yang menyambanginya pada Februari lalu. Petikannya:

Bagaimana Anda melihat perjalanan reformasi di Tanah Air?
Setelah 10 tahun, saat ini demokrasi Indonesia mengalami kemajuan. Rakyat berbuat lebih bebas dengan berbicara apa yang mereka pikirkan. Pede (percaya diri)-nya lebih tinggi. Mereka tidak merasa takut atau terpaksa untuk melakukan. Kebebasan pers pun sekarang terbuka, lebih kritis, lebih objektif, dan rasional. Saya rasa, demokrasi Indonesia berjalan dan berada pada jalurnya. Pandangan politik pun lebih bebas disampaikan.

Apa saja yang harus diperhatikan?
Kebebasan harus seimbang dengan tanggung jawab. Ini yang harus dikembangkan. Apa yang dilakukan harus berdasarkan pada kebenaran dan harus ada rasa tanggung jawab. Ini yang kadang terlupakan. Mereka terlalu bersemangat dalam menikmati kebebasan, tapi sering melupakan kebebasan yang harus diimbangi tanggung jawab. Ini memerlukan waktu.

Pers, misalnya. Pada awalnya, mereka merasa bebas bicara tentang berbagai hal. Kadang terlalu bersemangat dan sering melupakan bahwa masyarakatlah yang membacanya. Kualitas pers dan kualitas masyarakat tampaknya mengalami kemajuan. Bila hanya mementingkan sensasi, pers tidak akan menghasilkan apa-apa. Janganlah membohongi publik.

Apakah Indonesia dapat dijadikan model demokrasi di Asia Tenggara?
Saya tak dapat mengatakan ini merupakan model ideal, bisa-bisa orang mengatakan bahwa Habibie arogan. Satu hal yang pasti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen. Sebanyak 250 juta penduduk dengan 400 suku, dan kita sanggup me-reform dari sistem otoritas ke sistem demokrasi secara damai. Bila kita membandingkannya dengan tempat lain, seperti di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Balkan dan Amerika Selatan, situasi kita tidaklah buruk. Tapi apakah ini bisa dijadikan model, biar orang lain yang menilai.

Ketika Anda pertama membebaskan para tahanan politik, apakah ada tekanan?
Tidak. Saya tak pernah mendapatkan tekanan. Saya tidak terima bila ada yang mencoba menekan. Bereaksi berdasarkan tekanan bukan karakter saya. Saya bereaksi atas dasar keyakinan. Saya tumbuh di lingkungan yang bebas dalam berpikir dan menyampaikan pendapat, baik saat di Indonesia maupun saat saya belajar di Eropa. Saya banyak bekerja sama dengan orang Inggris, Jerman, dan Amerika yang memberi pengaruh langsung dan tidak langsung pada perilaku saya. Saya tidak membedakan orang dari agama, latar belakang, budaya, dan pendidikannya. Saya menerima orang apa adanya.

Berdasarkan nilai-nilai ini, saya berkesimpulan bahwa memasukkan seseorang ke penjara hanya karena memiliki opini yang berbeda dengan kita itu salah. Saya pikir, penjara adalah tempat bagi kriminal, bukan bagi orang yang memiliki pendapat berbeda tentang apa pun. Tidak ada seorang pun yang mempengaruhi saya. Banyak orang marah saya melakukan hal ini.

Setelah 10 tahun reformasi, Indonesia jalan di tempat atau mundur?
Saya perhatikan, sekarang ini kita terlalu banyak berkonsentrasi pada politik. Kalau waktu pemilu, bolehlah kita berkonsentrasi pada politik. Jadi, kalau mau pemilihan presiden secara langsung, ya, wajar saja. Tiga atau enam bulan sebelumnya sudah aktif dalam berpolitik. Jangan semua, yang lain harus kerja. Tapi, kalau presiden sudah terpilih, stop berpolitik, kita bantu presiden melaksanakan tugasnya. Kedua, kalau Anda dari partai dan tidak berada dalam pemerintahan, jangan terus memusuhi. Malah harus diperjuangkan, apa yang sudah dijanjikan untuk rakyat harus benar terlaksana, baik secara perorangan maupun partai.

Yang payah lagi, mereka campur adukkan antara sistem presidensial dan parlemen. Kalau di sini (Jerman), partai-partai dipilih, nanti partai-partai membuat koalisi. Kalau punya lebih banyak suara dan ingin membuat undang-undang, dia bisa cepat menyusunnya. Sekarang di Indonesia, hal ini campur aduk antara presidensial dan parlementer.

Sebenarnya presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. Tidak ada satu partai pun yang memiliki suara lebih dari 50%. Presidennya punya suara lebih dari 50%. Lalu sebetulnya, pada penyusunan kabinet, presiden tidak perlu berbicara dengan partai mengenai calon-calon untuk duduk di kabinet. Dia punya hak dan berkewajiban memilih siapa saja, terutama orang yang paling profesional mampu melaksanakan tugasnya, agar programnya bisa dilaksanakan. Jadi tidak menghambat pembangunan.

Akibat pencampuran sistem parlementer dan presidensial, maka dia yang tidak bisa mengambil kebijakan cepat, hambatan bisa datang dari legislatif, dan sebagainya. Hal ini harus diperhitungkan masak-masak agar pembangunan tidak dirugikan. Saya harapkan nanti, presiden yang akan datang benar-benar dapat memilih putra terbaik bangsa untuk dijadikan menteri atau pembantunya dalam bidang yang paling tepat.

Jadi, kabinet tidak berdasarkan jatah partai?
Tidak! Tidak mengenal SARA dan tidak mengenal partai. Partai harus terima itu, jangan menuntut. Konsep bahwa partai besar harus mendapatkan porsi kabinet lebih banyak itu salah. Tidak ada hubungannya. Kamu anggota partai saya, maka harus mendapat jatah sekian. Tidak. Karena itu, saya berpendapat bahwa yang mencalonkan presiden itu partai plus. Plusnya itu, ya, independen. Buat kriteria yang harus dipenuhi agar siapa saja yang dapat dijadikan calon presiden. Seperti terjadi pada pilkada.

Kita punya program pembangunan. Nanti, setelah lima tahun, kita laksanakan lagi pemilihan partai dan anggotanya yang mewakili partai di DPR dan DPRD, dan kita memilih presiden dan wakil secara satu paket secara langsung. Tapi bicara politik saat itu saja. Kalau sudah selesai, jangan bicara politik lagi. Bicara saja mengenai pembangunan. Kita bantu supaya pembangunan jalannya baik.

Apakah saat ini Indonesia condong pada politik kekuasaan?
Saya tidak mau mengatakan politik kekuasaan, nanti bisa disalahartikan. Yang jelas, pada kenyataannya, politik yang dilaksanakan di Indonesia oleh partai-partai itu tidak menguntungkan sebagai katalisator untuk mempercepat pembangunan. Sementara itu, pembangunan kita butuh untuk kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, pemerataan, dan lain-lain. Kita harus kembangkan. Bagaimana caranya, saya tidak aktif lagi. Partai-partai politik harus tahu.

Dengan politik sekarang, rakyat jadi mudah dipecah belah?
Kalau begini terus, bisa saja terjadi. Tapi saya yakin tidak akan begini terus karena pemimpin Indonesia iktikadnya ialah persatuan, kesatuan bangsa, dan pembangunan. Tapi penentu kebijakan masih belum yakin pada langkahnya. Masih ragu. Harus belajar percaya dan belajar dari kesalahan orang lain, jangan bikin kesalahan lagi.

Bagaimana dengan pendidikan yang makin mahal?
Nah ini. Itu yang saya tidak setuju. Sebetulnya pendidikan di Indonesia tidak boleh dibebankan pada orangtua. Pemerintah harus memberikan secara merata pendidikan minimum kepada semua warga negara di mana pun dia berada. Menurut saya, sampai tamat SMP atau sekolah kejuruan atau tamat SMP plus sekolah kejuruan. Bisa juga memberi bantuan pada yang berbakat pada tamatan SMP untuk mengecap sekolah kejuruan bagi yang membutuhkan. Harus dapat dari pemerintah atau pemerintah bekerja sama dengan swasta.

Seperti di sini (Jerman --Red.), setelah lulus SMP, kalau mau jadi montir atau ahli membuat roti, harus ikut pendidikan tiga tahun. Nah, selama tiga tahun itu harus dibiayai pemerintah dan perusahaan tempat praktek kerjanya.

Bisakah sistem pendidikan Jerman diterapkan di Indonesia?
Bisa, tapi dengan kurikulum yang disesuaikan. Saya bicara mengenai principal system-nya. Bukan hanya Jerman, negara-negara Eropa begitu. Belanda dan Belgia juga begitu. Jepang pun mengambil alih sistem dari Eropa.

Bagaimana Anda memandang Indonesia yang gemar mengimpor?
Pendapat saya, we have to back to basic. Kita harus impor substitusi dan expor oriented. Semua ekonomi kita harus diarahkan impor substitusi. Artinya, apa yang tidak perlu diimpor kita buat sendiri, import substitution. Apa yang kita buat kita ekspor.

Contohnya, kita butuh mobil. Mobil bisa saja baru 40% dibuat di Indonesia dan 60% masih harus diimpor. Apa yang bisa kita buat, kita buat mobilnya, tapi barang yang kita impor sebesar 60% itu harus bisa dikompensasi dengan jumlah yang sama dengan ekspor, tidak usah dalam bentuk yang sama. Misalnya, kita ekspor dalam bidang tekstil, garmen, produk perkebunan, dan pertanian.

Industri strategis kini hilang gigi dan tak terurus, kenapa?
Bagaimana, ya? Itu sudah lewat. Sedih sekali. Terus terang, pesawat N250 yang saya buat itu ternyata adalah pesawat terbang yang paling tepat untuk situasi sekarang, karena harga minyak tembus US$ 100 per barel. Jadi, perhitungan saya sudah benar. Sekarang Cina mau buat, India membuat, Eropa mau buat. Padahal, N250 sampai kini masih paling canggih. Ini menyedihkan.

Kita dipanas-panasi dan lebih cepat percaya pada orang lain daripada saudara sendiri. Itu penyakit.

[KolomGatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 15 Mei 2008]

Popular Posts