Degup Nasionalisme Dari Ribuan Mil


Sejarah mencatat, semangat kebangsaan tidak akan pernah pupus meski terhalang jarak ribuan mil dan waktu puluhan tahun. Pada tahun 1920-an, para pemuda seperti Mohammad Hatta, Iwa Kusumasumantri, Mohammad Nasir Datuk Pamoentjak, dan lain-lain merintis perjuangan kemerdekaan Indonesia dari negeri Belanda dimana mereka belajar. Pergerakan itu dimulai dibentuknya perkumpulan sosial bernama Indische Vereniging (IV) yang dibentuk para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda tahun 1908. Inilah cikal bakal terbentuknya Perhimpunan Indonesia.
Lewat perkumpulan itulah para mahasiswa di perantauan mendiskusikan keadaan tanah air mereka. Dari serangkaian diskusi, kemudian pada tahun 1913, seiring dengan tibanya tokoh seperti Dokter Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat, IV mencetuskan konsep Hindia bebas dari Belanda. Lalu IV pun melangkah ke arena politik dengan menerbitkan jurnal Hindia Poetra tahun 1916. Pada tahun 1924, nama Indonesia mulai dipakai dengan mengganti nama Inische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging dan jurnal Hindia Poetra berubah nama menjadi Indonesia Merdeka.
Para mahasiswa itu berjuang menanamkan “ideologi” nasionalisme. Mereka menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda yang bersimpati, serta dengan organisasi-organisasi internasional. Mereka mempropagandakan tuntutan Indonesia, menandingi propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia adalah tanah jajahan yang belum siap merdeka. Para mahasiswa itu ingin pula menunjukkan bahwa mereka ini mempunyai ideologi yang masuk akal dan mempunyai pengikut di Indonesia
Pada tahun 1925, nama Indonesische Vereniging berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi ini kemudian menjadi tonggak perlawanan politik untuk mewujudkan perjuangan meraih kemerdekaan, bahu-membahu dengan para pemuda di Tanah Air. Lewat PI pula pada tahun 1926 dengan diketuai Mohammad Hatta, para mahasiswa menyetujui Indonesia merdeka nantinya adalah sebuah negara berbentuk kesatuan.
Puluhan tahun kemudian, sejarah kembali membuktikan bahwa nasionalisme tidak pernah pudar hanya karena terpisah jauh dari negeri sendiri. Hanya saja bentuk ekspresinya kini beragam dan juga para pelakunya tak melulu mahasiswa yang aktif di pergerakan. Lakon perjuangannya pun beragam, dari memperkenalkan Indonesia ke dunia luar lewat kesenian, pengetahuan, dan sastra, sampai memperjuangkan nasib agar tak ditindas bangsa asing di mana mereka bekerja.
Para buruh migran di Hong Kong, misalnya, hingga kini terus berjuang menghapuskanunderpayment (gaji di bawah standar) dan aturan-aturan yang mengekang hak mereka sebagai pekerja seperti aturan dua minggu (two week rule) dan new condition of stay (NCS). Two-week rule adalah ketentuan pembatasan masa tinggal dua pekan bagi pembantu rumah tangga asing setelah dipecat atau habis kontrak. Sebab putusnya kontrak kerja serta-merta mengakibatkan habisnya visa. Sedangkan NCS adalah larangan bagi bedinda asing untuk berganti pekerjaan selain pembantu rumah tangga, sekalipun dia sudah bekerja puluhan tahun.
Mereka memperjuangkan hak-haknya yang ditindas lewat organisasi Indonesian Migrant Workers Union (IMWU). Mereka tak berjuang sendirian, merak juga bekerja sama dengan PBB. Eni Yuniarti, misalnya, aktivis buruh migran Indonesia di Hongkong ini pernah tampil di depan anggota Komite Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan (CEDAW) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Eni, sebagai Sekretaris Jenderal Indonesian Migrant Worker Union (IMWU), diminta berbicara mewakili buruh migran Hong Kong.
Di dalam forum informal, Eni melobi Komite CEDAW agar mendesak Pemerintah Hong Kong untuk menghapus aturan Departemen Imigrasi soal two-week rule dan NCS tadi. Akibat perjuangannya, Eni dipecat ketika mengikuti Konferensi Regional Buruh Migran di Korea Selatan pada 2004. Ia minta cuti, tapi tak diizinkan. Sewaktu diperlihatkan surat undangannya, ia malah langsung dipecat. Namun ia sadar risikonya, layaknya Hatta dan kawan-kawan dulu, Eni dan rekan-rekannya harus menanggung derita memperjuangkan martabat bangsanya di mata orang asing.
Dan di tengah perjuangan itu para buruh masih juga sempat mengharumkan nama bangsanya lewat seni sastra. Tarini Sorrita, misalnya, di tengah kesibukannya masih sempat menulis kumpulan 23 cerpen yang diberi judul Penari Naga Kecil. Rini tergabung dalam mailing list (millist) Cafe De Costa, perkumpulan penggemar sastra yang tergabung dalam millist kossakata@yahoogroups.com. Selain tempat berkomunikasi dan berbagi informasi, millist itu juga merupakan sarana pamer, sekaligus ajang saling kritik karya pekerja migran Hong Kong.
Ada juga Forum Lingkar Pena (FLP). Lembaga yang berdiri pada 15 Februari 2004 itu kini punya 16 anggota. Tujuh di antaranya sudah mencatatkan karya dalam buku kumpulan cerpen Hong Kong, Namaku Peri Cinta, yang diterbitkan Lingkarpena Publishing House, akhir tahun lalu. “Buku ini mendobrak sejarah sastra di Indonesia!” ujar sastrawan Taufiq Ismail, yang hadir dalam peluncurannya di Hong Kong.
Berbeda dengan di Hong Kong, orang-orang Indonesia di Arab Saudi ada yang beruntung mendapat kewarganegaraan sehingga memiliki status istimewa. Mohammad Umar Al-Malayu, 24 tahun, misalnya. Pria yang akrab disapa Mas Kris ini, mendapat kewarganegaraan dari kakeknya Muhammad al-Malayu yang pindah dari Ponorogo ke Arab Saudi sejak tahun 1954. Muhammad, yang akrab dipanggil Mbah Cengkeh oleh komunitas Ponorogo di sana, beruntung bisa memiliki tanah dan bangunan flat di wilayah Syamiah, pinggiran Masjidil Haram. Ia biasa menyewakan flatnya saban musim umrah dan haji kepada jamaah seharga ratusan ribu riyal.
Toh, meski tinggal jauh dan sudah mendapat kewarganegaraan, keluarga Muhammad tak pernah lupa akan negeri asalnya. Mereka dalam kesehariannya tetap memakai bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Rumahnya pun sering dijadikan tempat kongkow dan acara kumpulan orang Jawa yang bermukim di Mekkah. “Meskipun saya warga Saudi, tapi hati kecil saya masih tetap merasa sebagai orang Indonesia,” ungkap Kris. Ia terkenang saat masih kecil, ketika berkunjung ke kampung halamannya di Ponorogo, pamannya menghadiahkan mainan ketapel yang tidak pernah ia temukan di Saudi.
Selain Kris, ada juga Mohammad Ali Hasyim, 34 tahun. Bedanya ia masih berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI). Ia hanya mengantongi iqamah (izin tinggal) dan menetap di Saudi sejak tahun 1977, saat usianya baru dua tahun. Ia mengikuti jejak orangtuanya yang “hijrah” ke Saudi dari pulau garam Madura. “Saat itu, Saudi masih kekurangan penduduk, sehingga orangtua saya dengan gampang bisa memboyong keluarga,” ia mengenang.
Di Saudi, Ali dan keluarga berbisnis hamlah (grup haji untuk para TKI). Pada tahun 2003, ia resmi digandeng PT Titipan Kilat (TIKI) Wisata untuk operasional di Saudi. Lalu sejak tahun 2006, ia terjun ke bisnis kargo dengan mendirikan TIKI Cabang Arab Saudi. Karena peraturan menetapkan ia harus punya mitra lokal, ia pun menggandeng Hamid Al-Leihiby.
Lewat bisnisnya, Ali bisa menerjemahkan nasionalisme versinya sendiri. “Saya ingin membantu memberikan lapangan pekerjaan buat sanak saudara di kampung halaman,” tuturya. Impitan ekonomi yang terus melanda rakyat Indonesia menggugah fikirannya agar usahanya disini turut memberikan berkah bagi keluarganya di Indonesia. Kini ia termasuk jajaran orang Indonesia yang sukses usaha di negeri orang. Paling tidak, sedikit membuka mata orang Saudi untuk merubah persepsi, bahwa orang Indonesia tidak melulu hanya jadi pembantu rumah tangga dan sopir.
Nuansa nasionalisme juga berdegup di Amerika Serikat dan Jerman. Dua tahun lalu, misalnya, wartawan Gatra Bernadetta Febriana menjadi saksi kehebohan acara peringatan kemerdekaan RI yang diadakan Kedutaan Besar RI di Washington. Di sanaGatra menangkap nuansa nasionalisme yang begitu kental.
Anak-anak usia belasan tahun yang lahir dan besar di sana, dan belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya di Tanah Air, fasih menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagian lagi menjadi pasukan pengibar bendera Merah Putih. Mereka juga menyanyikan lagu Nyiur Hijau gubahan Maladi. “Tanah airku tumpah darahku. Tanah yang subur, kaya makmur….,” lantang dinyanyikan anak-anak itu. Lalu pekik “Merdeka!” pun terdengar menggetarkan bulu roma.
Di Jerman, degup nasionalisme berkembang dalam bentuk kegelisahan orang Indonesia atas kondisi bangsanya. Ging Ginanjar, misalnya, wartawan Indonesia yang bekerja di Deutsche Welle sejak tahun 2005, mengaku cemas dengan Indonesia. Dalam kacamata Ging, negerinya kini tengah menuju suatu siklus kekerasan, di mana ekspresi dan ungkapan hati seseorang sangat dibatasi oleh sentimen-sentimen kesukuan dan agama yang semakin kental.
“Ini jelas berbeda dengan gagasan untuk bersatu 100 tahun lalu oleh Boedi Oetomo, semangatnya kesetaraan dan tanpa pandang bulu, tidak memandang perbedaan dalam agama,” tuturnya. Bahkan jika dibandingkan dengan zaman rezim Soeharto, kondisi saat ini lebih buruk. Toh, ia tak lantas melupakan begitu saja Indonesia, ia masih kangen juga rasa bakwan goreng yang biasa dia beli di pinggir jalan. Ia pun masih sering memantau perkembangan di Tanah Air lewat siaran radio. Ia memimpikan Indonesia yang lebih baik, lebih menghargai kebebasan berekspresi dan mengemukakan pikiran seperti di masa lalu.
Sementara itu, Diah Putri Pramiandari, mahasiswi sebuah universitas di Koeln, gelisah dengan cara hidup orang Indonesia yang jauh dari disiplin. “Orang Indonesia nggakdisiplin, antre di supermarket saja suka nyerobot,” tuturnya. Ia ingin budaya disiplin orang Jerman bisa ditiru orang Indonesia. Uti, yang menimba ilmu komunikasi di Koeln, bercita-cita memajukan bidang public relations (PR).
Ilmu PR-nya sudah kerap ia terapkan di tempatnya bekerja di Hard Rock Cafe di Koeln. Ia selalu tersenyum ramah pada setiap pengunjung dan menyapa dengan hangat. Dengan sikap itu ia ingin mempromosikan wajah Indonesia yang ramah, dan orangnya yang murah senyum serta tulus, sesuatu yang di Indonesia sendiri sudah jarang ditemui. “Ya, sekalian promosilah, saya bangga, kok membawa identitas sebagai orang Indonesia,” tuturnya.
Dalam rangka mempromosikan Indonesia juga, ia bersemangat membantu rekan-rekannya para mahasiswa Indonesia di Jerman yang akan menyelenggarakan konser Slank di Hamburg. Uti bertugas memublikasikan dan menjual tiketnya. “Saya ingin orang Jerman juga tahu musik pop Indonesia,” tuturnya.
Promosi Indonesia lewat musik juga dilakukan duo pianis Shanti dan Sonja Sungkono. Nama keduanya memang sudah terkenal di kalangan pemusik klasik Eropa. Dalam setiap konsernya, pianis kembar itu selalu memperkenalkan diri sebagai duo pianis Indonesia. “Banyak yang terpana, karena jarang sekali orang Indonesia yang bergelut di bidang musik Eropa dan bertempur di negara orang lain,” Shanti mengaku.
Menurut Shanti, dengan mempromosikan asal-usul mereka, para penikmat musik klasik banyak yang mulai mencurahkan perhatian ke Indonesia. Sebab, konser piano mereka selalu dianggap sempurna dan penampilan mereka pun unik, dengan kostum yang elegan namun seksi, yang berbeda dengan para pemusik klasik lain yang selalu tampil dengan gaya konservatif.
Shanti dan Sonja datang ke Jerman 17 tahun lalu pada 1991 sebagai mahasiswa. Mereka merampungkan studi musik di Hochschule der Kuenste, Berlin. Sekarang keduanya menetap di ibu kota, Berlin. Prestasi mereka juga dapat dibanggakan. Mereka telah meraih Prize Winner Jerry Coppla Prize pada Murray Dranoff Two piano Competition di Amerika pada 1999. Dua tahun berikutnya secara berturut turut mereka meraih Prize Winners Juergen Sellheim Foundation.
M. Agung Riyadi, Miranti Soetjipto-Hirschmann (Jerman), dan Noordin Hidayat (Arab Saudi)
[1970-SekarangGatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 15 Mei 2008]

Popular Posts