Empat Film Indonesia di Berlinale



Setelah 49 tahun absen, film Kebun Binatang arahan sutradara Edwin masuk kategori utama kompetisi memperebutkan piala Beruang Emas.

Berlinale ke 62 yang tengah berlangsung di Berlin membawa harapan bagi dunia perfilman Indonesia. Empat film Indonesia diputar disini.

Kebun Binatang di Kategori Kompetisi

"Sekarang sih bisa diperhitungkan. Masuk kompetisi juga ada, produsernya juga internasional, ngga hanya dari  Indonesia aja. Secara kualitas bagus juga, secara cerita juga bagus, jadi segala-galanya bisa dibilang ok, kita siap menghadapi dunia internasional." Demikian jelas kurator film Asia Tenggara bagi Berlinale, John Badalu soal perfilman Indonesia di ajang internasional.

Dengan masuknya film berjudul Kebun Binatang arahan sutradara Edwin di kategori kompetisi Berlinale, John Badalu yakin, sineas Indonesia lainnya akan terpicu untuk berpikir lebih luas.
Film Kebun Binatang, merupakan hasil kerjasama produser di 3 negara: Indonesia, Hong Kong dan Jerman. Menjelaskan filmnya, Edwin bertutur, "Saya suka sekali berada di kebun binatang, apalagi di Jakarta yang padat danpoenuh polusi. Kebun Binatang menjadi tempat yang enak untuk menyendiri dan disitu kita bisa lebih tenang melihat apa yang ada disekitar kita dan saya percaya kita bisa melihat Indonesia kecil dalam kebun binatang."

Film berdurasi 90 menit ini dibintangi aktor Nicholas Saputra dan Ladya Cheryl, mengisahkan kerinduan dan keindahan. Tokoh utamanya, seorang gadis bernama Lana, ditinggalkan sejak bayi di kebun binatang. Kamera merekam kebun binatang dengan kacamata mikro seperti air hujan yang menimpa kulit gajah atau gerakan kaki bayi binatang.
Suatu hari, seorang koboi misterius menarik Lana keluar dari dunianya. Menurut penulis sekaligus sutradara, Edwin, manusia dan hewan memiliki kerinduan sama untuk bersentuhan.

Bukan Hanya Tentang Cinta

Edwin bukan nama asing di arena film festival Berlinale. Film pendeknya berjudul "Trip to the wound" pernah diputar pada Berlinale tahun 2007. Dua tahun sebelumnya, ia mengikuti program Berlinale Talent Campus. Daud Sumolang, juga pernah mengikuti Berlinale Talent campus. Ia dikenal sebagai penulis cerita film.
Dalam film Kebun Binatang, Daud Sumolang membantu Edwin, "kalau Postcard idenya dari Edwin. Jadi ia datang ke saya, dia cari co-writer, scriptnya juga masuk ke Sundance script workshop. Kami sempat ke sana ngebenerin script. Tahun ini ternyata diterima di Berlinale. Kalau dalam film 7 deadly kisses, saya sebagai pemain."

Dalam Berlinale kali ini, film pendek hasil karya Sammaria Simanjuntak masuk ke dalam daftar film pendek untuk piala Teddy, yang khusus bertema gay dan lesbian.
Film ini "7 deadly kisses" berdurasi 4 menit. Diawali dengan ide iseng, merancangnyan dalam 2 jam, pengambilan gambarnya 2 jam, editingnya pun 2 jam. Sammaria Simanjuntak mengomentarinya penuh canda, "Filmnya bercerita tentang 7 ciuman yang tidak boleh dilakukan. Kalo nggak, lo ditinggalin cewe lo".
Berlinale banyak menampilkan film bertema kebebasan, konflik, hak asasi, lingkungan, kemiskinan, dan kaum minoritas. Tidak hanya cinta.

Bisa Menyuarakan Banyak

Satu film Indonesia yang tampil dan juga bertema gay dan lesbian adalah Anak-Anak Srikandi, mengisahkan sejumlah perempuan lesbian yang hidup di kota-kota besar Indonesia. Salah seorang sutradara Anak Anak Srikandi, Stea Lim menggambarkan alasannya, "kita cuma pengen buat sesuatu, sebagai komunitas. Ngga pernah ada film Indonesia tentang ini, selalu dari Barat atau negara lain. Gimana dengan Indonesia sendiri, Indonesia kan besar."

Gegap gempita Berlinale bertabur bintang film Hollywood, Bollywood dan nama-nama top sineas manca negara yang berseliweran di atas karpet merah bioskop utama, Berlinale Palast. Berawal dari sebuah workshop yang didukung Goethe Institut, rangkaian kisah dalam film ini berkisar pada benturan sosial yang dialami kaum lesbian. Lebih lanjut Stea Lim mengakui, proses pembuatannya tidak mudah,  juga dalam pendanaan. "Kurang fundingnya banyak. Dari first workshop, fundingnya tuh lebih di workshopnya, dan sisanya tuh lebih banyak dari private funding, support dari temen-temen atau dari foundation, dibantu kru, kamera, pinjem segala macam"
Namun ada juga sejumlah program bagi sineas muda. Bekerja sama dengan kementrian luar negeri Jerman dan Goethe Institut, Berlinale mengundang para sineas dokumenter untuk mengikuti berbagai pelatihan film. 
Dari Indonesia, kedutaan Jerman memilih Sabran Arfan. Baginya Berlinale menambah wawasan, "Ternyata film bukan sekedar hiburan,  ada suatu kompleksitas dimana kita bisa bersuara banyak, dimana terjadi dialog yang luas terhadap berbagai negara, berbagai budaya, isu, dialog waktu antara satu generasi ke generasi lain. "
Film Sabran Arfan “Paotere” akan diputar dalam program pendamping, dalam proyek berjudul Film for Friends.  Negara negara lain yang diundang dalam proyek ini adalah Vietnam, Arab Saudi, Kuwait dan Paraguay
Miranti Hirschmann
Editor: Edith Koesoemawiria

http://www.dw.de/empat-film-indonesia-di-berlinale/a-15749463

Popular Posts