Ledakan di Bawah Merah Putih


Bom di depan KBRI di Paris merusak sebagian gedung kedutaan. Para saksi terdekat ledakan itu bertutur.

ANGIN dingin musim gugur kota Paris segera menyapa, saat Gatra menjejakkan kaki di Rue Cortambert, Sabtu sore pekan lalu. Temperatur sekitar 15 derajat celcius terasa menusuk tulang. Sebenarnya, penerbangan langsung dari Muenchen bukan perjalanan melelahkan, namun pemandangan di perempatan ruas Rue Cortambert dan Rue Nicolo tak urung menyesakkan dada. Sang Saka Merah Putih, simbol negeri kita, berlubang-lubang dan agak kumal. Kibarannya di lantai III Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Prancis itu terasa menyiratkan duka.

Jumat, 8 Oktober 2004, pukul 5 kurang 5 menit, ketika warga kota masih terlelap, sebuah ledakan kuat berdentum di depan KBRI, tepat di bawah bendera Merah Putih tadi. Bahan peledak diletakkan di atas trotoar tepat di jendela basement. Jendela ini adalah ruang tidur keluarga Alex Paliama, staf lokal dan penjaga gedung KBRI.

Meski Pemerintah Prancis hanya menyebut sebagai ledakan sedang, daya hancurnya masih terlihat di radius 100 meter dari pusat ledakan. Kaca etalase toko pakaian anak-anak "Boudou" di ujung Rue Cortambert pecah berantakan. Begitu pula dengan gedung-gedung sekitarnya.

Perempatan Rue Cortambert dan Rue Nicolo penuh serpihan kaca. Mobil-mobil yang tengah diparkir di kedua jalan itu, tatkala ledakan terjadi, penyok bahkan ada yang tak berkaca sama sekali. Sekitar 36 jam setelah ledakan, empat ruas jalan yang melintasi kedutaan besar kita sudah tidak diblokir polisi. Namun pita kuning polisi dan pagar penutup jalan ada di mana-mana. Pusat ledakan, berlubang selebar 50 sentimeter, ditutup pagar pengaman.

Gedung KBRI yang berlantai empat tampak morat-marit. Sebagian jendela ambrol. Dindingnya menghitam terbakar. Tiga gedung yang berseberangan dengan KBRI --berlantai lima dan enam-- semua kaca jendelanya pecah. Karena sudah memasuki musim gugur, penduduk yang rumahnya tak lagi berkaca segera menutup jendela dengan karton untuk menahan udara dingin.

Polisi masih banyak berjaga-jaga. Banyak yang sekadar lewat melihat keadaan jalan itu dengan berjalan kaki. Sebetulnya kawasan itu belum layak dilewati karena terkadang serpihan kaca dari lantai atas rontok ke jalanan. Polisi amat ketat menyortir semua orang yang bermaksud mengunjungi KBRI. Gatra sempat bersitegang dengan mereka, karena untuk masuk ke kedutaan butuh tanda pengenal khusus.

Kedutaan besar kita di Paris terletak di distrik 16, Rue Cortambert 47-49, sekitar 1 kilometer arah barat dari Menara Eiffel. Distrik 16 terkenal sebagai pemukiman prestisius. Di sini banyak gedung dengan gaya arsitektur klasik berumur rata-rata lebih 100 tahun. Tak mengherankan bila pemerintah kota Paris mengategorikannya sebagai salah satu warisan kota.

Gedung nomor 49 itu dibeli pemerintah saat booming minyak tahun 1980-an. Duta Besar Barli Halim, ketika itu, membeli gedung nomor 47 Rue Cortambert dan menyambungkannya dengan nomor 49. Sehingga ruangan di Kedutaan Besar menjadi cukup banyak. Apalagi, setelah Departemen Luar Negeri melakukan rekonstruksi besar-besaran, ukuran gedung itu terasa kian besar.

Tak seperti umumnya kedutaan besar negara asing di Jakarta, gedung KBRI berbaur dengan perumahan penduduk. Begitu pula dengan kedutaan-kedutaan negara asing lain yang lokasinya tersebar di seluruh Paris. Hanya beberapa kedutaan negara besar yang punya sistem pengamanan khusus.

KBRI terletak di perempatan jalan antara ruas Rue Cortambert dan Rue Nicolo. Fasilitas umum terdekat ada di Rue Nicolo, yaitu sebuah klinik kesehatan. Sekolah juga terdapat di sekitar situ, sehingga di siang hari daerah itu ramai oleh lalu lalang mobil dan anak sekolah.

Selain menghancurkan kaca-kaca, getaran kuat mematikan telepon dan listrik. Ini membuat staf KBRI hari itu kalang kabut. Karena telepon mati, semua telepon genggam para diplomat dan staf KBRI tak berhenti berdering untuk konfirmasi berita dari Jakarta. Walau demikian, KBRI tetap melayani para pemohon visa di bagian konsuler dengan fasilitas terbatas. Hanya di satu ruangan mereka bisa bekerja, kebetulan di situ masih ada aliran listrik. Untung sore hari itu juga, telepon dan listrik kembali berfungsi.

Biasanya KBRI Paris menyelenggarakan salat Jumat di ruangan serba guna yang muat untuk 150 orang. Setidaknya tiap salat Jumat terisi 40% masyarakat Islam Indonesia, juga warga dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Namun di hari nahas itu, salat Jumat tidak diselenggarakan.

Sebenarnya kedua pintu masuk kedutaan --bagian konsuler atau pengunjung dan garasi mobil duta besar-- dimonitor dengan kamera pengawas. Namun, menurut seorang staf kedutaan, pada malam hari kamera dimatikan. Kamera memang cuma merekam saat jam kerja. Salah satunya persis di bawah tiang bendera. Sayang, pagi itu kamera belum bekerja, sehingga kesibukan pengebom dan peristiwa ledakan luput dari sorotan.

Menurut Andreas Sitepu, Kepala Bidang Konsuler KBRI, sebelum ledakan itu tidak ada sinyal atau ancaman telepon atau peringatan dari pihak tertentu. Andreas, yang ditunjuk menjadi juru penerang pada pers, tidak yakin ledakan itu ditujukan ke kedutaan. Karena pusat ledakan tidak terjadi di wilayah kekuasaan kedutaan, melainkan di kawasan umum. "Bila memang ditujukan ke kita, mereka tidak akan pilih lokasi itu, karena masih ada titik lebih rawan sepanjang jalan ini," katanya.

Secara fisik, Sitepu melanjutkan, selain kaca pecah, dan tembok rompal, gedung kedutaan tidak mengalami kerusakan berarti. Ruang politik dan ruang rapat di lantai I rusak paling parah. Lantai II dan III cukup dibersihkan, dan sudah bisa digunakan lagi. Pagi itu, saat datang ke KBRI, Sitepu tak diizinkan memasuki kantornya oleh polisi. Setelah berdebat akhirnya dia bisa masuk. Sejak itu tamu dan telepon tak henti mengalir. Pasukan antiteroris, polisi, dan pihak asuransi. Bahkan, Menteri Dalam Negeri pun datang hanya 45 menit setelah ledakan.

Kebetulan, saat ini di Prancis belum ada duta besar definitif, sejak A. Silalahi mengakhiri masa tugasnya 31 Juli lalu. KBRI sementara dipimpin Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia dan kuasa usaha sementara atau DCM (Deputy Chief of Mission) Lucia H. Rustam. Minggu siang Lucia Rustam mengajak Gatra ke ruang kerjanya yang indah, bergaya Renaisans, berlangit-langit tinggi, di lantai IV. Jendelanya yang tak berkaca ditutup karton.

Lucia baru saja pulang dari jamuan makan siang bersama mantan anggota Komisi I DPR, Joko Susilo, Bambang Widianto, dan Franky Kayhatu. Mereka adalah rombongan pertama Indonesia pertama yang meninjau kejadian tersebut. Mereka datang pada Sabtu 9 Oktober 2004, sehari setelah ledakan, dengan penerbangan dari Jakarta.

Kedatangan mereka sempat mengundang gunjingan, karena rombongan dari Markas Besar Kepolisian RI yang diketuai Goris Mere baru tiba Minggu. Namun itu ditepis Lucia. "Mereka menjadwalkan kedatangan ke Paris sejak lama. Ada acara di Belanda, namun karena ada kejadian ini, mereka meninjau kantor ini," katanya.

Ia bercerita kesibukan menerima tamu dan telepon baik dari dalam negeri maupun Pemerintah Prancis. Menteri Dalam Negeri Dominique de Villepin datang 45 menit setelah ledakan terjadi. Kemudian wakil wali kota distrik 16 juga meninjau. Juga Wakil Direktur Kementrian Luar Negeri Bagian Asia dan Oseania. Jam 11 siang, enam jam setelah ledakan, Menteri Luar Negeri Michel Barnier juga melihat-lihat ruang duta besar, dan semua ruangan yang mengalami kerusakan termasuk lantai dasar.

Ditemani Lucia Rustam, Barnier mendatangi gedung seberang kedutaan. Di lantai I dan II ia masuk ke apartemen-apartemen yang rusak, bertanya kepada warga, dan menyalami mereka untuk menunjukkan simpati. Setelah itu Monsieur Barnier langsung berangkat ke Cina untuk bergabung dengan Presiden Prancis Jacques Chirac yang sedang melawat.

Sore itu juga, pukul 17.30, Lucia diundang Kepala Deputi Direktur Protokol Kementerian Luar Negeri dan Keamanan Prancis. Ia bertemu dengan perwakilan negara negara lain seperti kedutaan Malaysia, Pakistan, Brunei, Singapura, Australia, dan Jepang untuk briefing peningkatan keamanan. Pemerintah Prancis berjanji meningkatkan keamanan pada tempat tempat sensitif, terutama lokasi diplomatik. "Saya salut akan tindakan Pemerintah Prancis yang cepat, intensif, dan simpatik," ujarnya.

Ditanya latar belakang di balik peledakan ini, Lucia hanya geleng kepala. Selama ini, lanjutnya, belum pernah ada serangan atau ancaman terhadap KBRI maupun para diplomat kita di negeri bersemboyan "liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan)" itu. "Saya tidak ingin berspekulasi. Ini adalah wewenang aparat Prancis melakukan penyelidikan," ujarnya.

Mendagri Dominique de Villepin di lokasi ledakan memang sudah mengeluarkan pernyataan. Menurut Monsieur Villepin, ledakan bom itu merupakan perbuatan kriminal murni, dan Pemerintah Prancis akan mengadakan peningkatan pengamanan pada wilayah yang dianggap sensitif. Di televisi, Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin juga mengutuk dengan keras ledakan yang disebutnya berlatar belakang kriminal itu. Pemerintah Prancis, Raffarin melanjutkan, akan melakukan penyelidikan yang cepat dan komprehensif.

Hingga Rabu lalu belum ada perkembangan berarti hasil penyelidikan tersebut. Memang sehari sebelumnya, Kepolisian Prancis dikabarkan menahan seorang pria di sebuah kafe internet. Dari kafe itulah dikirim e-mail yang mengklaim bertanggung jawab atas ledakan di depan Kedutaan Besar Indonesia itu.

Pria yang mengaku berasal dari Kamerun itu ditangkap hari Minggu. Identitas pasti dan motif peledakan itu masih diperiksa polisi. Namun, seorang petugas, seperti dikutip kantor berita AFP, menduga pria itu punya masalah kejiwaan. Ia mengaku, salah seorang temannya jadi korban pada serangan 11 September 2001 di World Trade Center, New York.

E-mail tersebut dikirim ke Kepolisian Distrik 16, lokasi Kedutaan Besar Indonesia, juga beberapa media Prancis. Dalam suratnya, sang bomber mengklaim atas nama Front Islam Bersenjata Prancis, sebuah kelompok yang sebelumnya tak pernah terdengar.

Dalam surat elektronik tersebut, Front Islam menuntut pembebasan kelompok militan Islam yang terlibat dalam pengeboman di Paris pada 1995. Kelompok itu juga mengancam akan mengadakan gencatan senjata hingga tanggal 30 Januari. "Setelah itu kami akan melakukan aksi baru paling berdarah yang pernah terjadi di Prancis."

Para penyelidik meragukan keabsahan klaim dalam e-mail tersebut. Namun tak urung, setelah ledakan di bawah bendera Merah Putih di Rue Cortambert, pengamanan di kedutaan-kedutaan besar di Paris makin diperketat.

Dani Hamdani, dan Miranti Soetjipto (Paris)



Orang Terdekat Ledakan

ALEX Paliama tampak sibuk membersihkan tempat tinggalnya yang berantakan. Pecahan kaca bercampur aduk dengan tas, baju, make-up, sepatu. Semua kaca jendela, di dapur, ruang keluarga, kamar tidur anak, dan ruang tidur utama, yang menghadap ruas Rue Nicolo, pecah. Pecahan kaca berhamburan hingga tempat tidur. Ia menunjukkan sebilah kaca yang mendarat sangat dekat dengan posisi tidur putrinya.

Alex adalah saksi mata terdekat dalam ledakan tersebut. Pria berusia 55 tahun ini tinggal di lantai dasar kedutaan dengan tugas mengurus dan menjaga gedung. Bapak tiga anak ini mulai dinas di KBRI sejak 1982 sebagai tenaga honorer. Mulai 1985 ia diangkat menjadi staf lokal hingga sekarang.

Kamis malam itu, Alex tidur di ruang keluarga. Istrinya, Fransina (Popi) Paliama, 52 tahun, tidur di kamar, begitu pula anaknya, Milka Maria Yohana Paliama (Melanie), 26 tahun, Anoralemona Paliama (Mona), 16 tahun, dan cucunya dari Melanie, Sebastian, 5 tahun. Alex terbangun oleh suara ledakan yang amat hebat. Ia dan keluarganya panik, berlarian ke lantai atas. Asap memenuhi ruangan. Popi, Melanie, dan Mona keluar dari kegelapan dengan kepala bersimbah darah. Sebastian dalam gendongan ibunya tampak ketakutan.

Di luar, Alex melihat begitu banyak pecahan kaca di jalan. Ia melihat ada mobil yang sudah tak ada lagi kacanya. Ia pikir saat itu penyebabnya bom mobil. Ambulans dan pemadam kebakaran langsung datang kurang 10 menit setelah ledakan. Warga yang terluka, umumnya oleh pecahan kaca, dikumpulkan di Rue Cortambert 48. Mereka didata, diperiksa, kemudian dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Semuanya 10 orang. Mereka tidak menghitung Sebastian, karena hanya batuk. Di antara mereka ada yang pekak telinga, luka pada lutut, bahkan pingsan di jalanan.

Popi dirawat di H�pital Ambroise Par� ruang 423-424, Avenue Charles de Gaulle, rumah sakit umum milik pemerintah. Luka ringan tampak pada kepala dan mata Popi. Guratan luka juga tampak pada lengan. Ia mengeluh kepalanya sakit, namun setelah diperiksa dokter menyatakan tidak apa-apa.

Popi bersyukur pada Tuhan karena bisa keluar dari maut. "Sayalah orang terdekat dengan bom itu. Tak sampai tiga meter, namun Anda lihat, saya hanya mengalami luka ringan. Saya bahkan tak mengalami pekak telinga. Sebetulnya saat itu bisa saja saya mati, namun rupanya Tuhan berkendak lain," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Miranti Soetjipto (Paris)

Published: Gatra 49/23 October 2004

Popular Posts