Biola Dodo Memanggil Hujan



Daun-daun rimba berguguran didera kemarau panjang. Kekeringan itu membuat seluruh penghuni hutan gelisah. Tak terkecuali Dodo, orangutan cilik yang lucu dan nakal. Di saat musim kering mencapai puncaknya, Dodo yang suka kelayapan menemukan biola yang jatuh dari jip yang melintasi hutan.

Ia penasaran pada benda asing, biola temuannya itu. Seumur hidupnya, baru kali ini Dodo melihat biola. Bermula dari biola itulah, Dodo menjalin persahabatan rahasia dengan Darwin, orangutan dewasa yang sejak kecil jadi piaraan manusia. Makanya, Darwin tak bisa memanjat pohon seperti kebanyakan orangutan.

Meski begitu, Darwin berlagak sok tahu tentang benda temuan Dodo. Ia menyebutnya alat musik untuk mendatangkan hujan. Dan si kecil Dodo yang polos itu pun makin penasaran. Ia berusaha keras mempelajari benda temuannya, walaupun dihalang-halangi orangtuanya.

Maklum, ibunda Dodo selalu mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Ia mewanti-wanti agar Dodo tidak berpijak di tanah dan menjauhkan diri dari benda asing. Toh, Dodo tetap nekat berusaha memainkan biolanya berkat bantuan Ratna, anak badak betina teman sepermainannya.

Ia menemukan ritme pertamanya dari tetesan air yang jatuh dalam botol di gua tempat Darwin tinggal. Lengking bunyi biola yang dimainkan secara serampangan sempat membuat hewan rimba kocar-kacir. Dalam waktu bersamaan, ditemukan jejak harimau dan anaknya yang sedang turun gunung mencari sumber air.

Kajadian itu membuat semua satwa rimba dan penduduk kampung di sekitar hutan ketakutan. Tapi Dodo tetap berusaha menyelamatkan hutan dengan biolanya. Apakah ia berhasil menemukan cara memainkan biola dengan melodi yang indah dan mendatangkan hujan? Kisah itu terpapar dalam sebuah film animasi untuk anak-anak berdurasi 79 menit berjudul Kleiner Dodo atau Si Kecil Dodo, produksi Rothkirch Cartoon Film, Jerman.

Dalam film itu, hutan lebat tempat Dodo tinggal digambarkan dengan pemandangan alam nan indah. Sinar matahari memantul dari permukaan sungai yang berkelok-kelok di tengah rimba. Dihiasi derasnya air terjun, bunyi tenggeret, dan kicauan burung. Tumbuhannya berdaun lebar dan pohon-pohon besar tinggi bersulur-sulur khas rimba Kalimantan, tempat orangutan berasal.

Di tengah rimba nan elok itu, Dodo terjerat dengan badak bercula satu, harimau, buaya, tapir, anoa, kuskus, babi hutan, burung enggang, dan lain-lain. Pencitraan warung, rumah, dan figur manusia yang tinggal di perkampungan dekat hutan itu disesuaikan dengan keadaan aslinya. Pada beberapa skena, ada kosakata bahasa Indonesia, seperti "kopi" dan "gula".

Kisah film ini diangkat dari sebuah buku anak-anak bergambar berjudul Kleiner Dodo, was spielst Du? (Sedang main apa kau, Dodo kecil?) karya Hans De Beer asal Belanda. Tiga judul buku lain dengan karakter Dodo beredar di Eropa sejak beberapa tahun silam.

Sedangkan nama Dodo disesuaikan dengan bahasa Jerman. Dalam bahasa Inggris menjadi Bobo dan dalam bahasa Italia menjadi Gogo. Hans De Beer mengisahkan latar belakang penokohan orangutan dalam bukunya. "Orangutan memiliki banyak kemiripan dengan manusia," katanya. "Apalagi, bentuk DNA mereka hampir sama dengan manusia dan gerak-geriknya menarik. Hewan ini sangat unik," Hans De Beer menambahkan.

Hans De Beer memang ilustrator ternama buku anak-anak. Seri buku sebelumnya --dikenal dan dibaca oleh hampir semua anak di Eropa-- yang mengisahkan tentang kehidupan seekor beruang kutub cilik, Der Kleiner Eisbar, juga telah naik ke layar lebar. Buku itu diterjemahkan ke dalam 27 bahasa.

Bidang ilustrasi profesional ditekuni De Beer selama 30 tahun, dibantu istrinya. Ia selalu menokohkan binatang pada bukunya. "Agar universal dan dapat diterima di seluruh dunia," katanya. "Bila saya menggambarkan seorang anak, maka pembaca akan segera melihat warna kulit, warna rambut, dan tingkat sosialnya. Ini yang saya hindari," kata De Beer pula.

Walaupun kecanggihan teknologi mampu memudahkan pekerjaannya, De Beer bersikukuh untuk berkarya secara konvensional, yaitu dengan pensil dan cat air. "Efeknya lebih berjiwa dan hangat. Namun, untuk film animasi, teknologi memang diperlukan guna menyempurnakan detail," ujar De Beer kepada Gatra ketika dihubungi via telepon.

Ironisnya, De Beer belum pernah sekali pun mengunjungi Pulau Kalimantan atau Sumatera. Untuk mendapatkan gambaran tentang hutan tropis, ia melakukan riset dengan membaca buku dan literatur. "Saya kan tak harus pergi ke Antartika untuk menggambarkan beruang kutub?" kata De Beer sambil terkekeh. Ia bercita-cita melancong ke Kalimantan setelah kisah Dodo yang ditulisnya naik ke layar perak.

Proses produksi film Kleiner Dodo yang berbahasa Jerman itu melibatkan 400 orang, termasuk animator dan pemusik. Pengisi suaranya adalah artis-artis cilik Jerman dan sebuah grup musik wanita asal Jerman, No Angels, yang melantunkansoundtrack film tersebut.

Film arahan sutradara Thilo Graf Rothkirch itu membutuhan 24 gambar per detik. Keseribu skena dalam film ini digarap 80 animator terbaik dunia asal Eropa, Amerika, Kanada, dan India. Dengan sistem pekerjaan tangan secara konvensional, beberapa bagian disempurnakan oleh program 3D, terutama untuk pencitraan getaran biola.

Untuk mendapatkan hasil penggambaran dan detail terbaik, Rothkirch yang juga produser film ini mengirim ko-sutradara, Ute von Muenchow Pohl, ke Sumatera selama tiga minggu untuk memotret, meneliti, dan mengamati rimba serta perilaku orangutan di habitat aslinya. Juga mencermati bunyi gesekan daun pada saat orangutan bergelayut dari pohon ke pohon.

"Kami ingin menggambarkan lingkungan yang otentik," ujar Rothkirch. Seluruh proses produksi film ini dari nol hingga tayang makan waktu dua setengah tahun. Beruntung, Rothkirch berhasil menggaet Warner Bros Jerman sebagai distributor.

Kisah Dodo memang amat sederhana. Namun di dalamya ditampilkan berbagai fenomena lingkungan, seperti perubahan iklim dengan penggambaran situasi musim kering berkepanjangan. Fenomena yang tak kalah menarik adalah orangutan yang dipelihara di dalam rumah dan dikembalikan ke habitat aslinya, seperti tokoh Darwin.

Untuk mendukung keberhasilan film itu, Rothkirch merangkul organisasi penyelamat orangutan BOS (Borneo Orangutan Survival) Jerman, yang giat melakukan program pengembalian orangutan ke habitat aslinya di Sumatera dan Kalimantan. Maik Schaffer, Sekretaris BOS Jerman, mengaku gembira film tersebut menggambarkan beragam fenomena yang terjadi di hutan hujan tropis.

"Orangutan dan satwa rimba tak hidup sendiri. Manusia memiliki pengaruh besar dalam kehidupan rimba," katanya. Selama pemutaran film itu di bioskop, BOS juga menyebarkan leaflet mengenai program yang mereka jalankan dan mengundang penonton untuk menjadi "orangtua asuh" bagi empat ekor anak orangutan berwajah lucu: Dodo, Grendon, Kesi, dan Lomon.

Empat orangutan itu tinggal di Kalimantan dengan donor tahunan. Hasilnya, BOS kebanjiran pertanyaan dan minat menjadi orangtua asuh bagi Dodo dan teman-temannya. Tak ketinggalan, Rothkirch pun jatuh cinta dan telah menjadi orangtua angkat bagi bayi-bayi orangutan lewat BOS.

Rothkirch berharap, film ini dapat menggambarkan keadaan rimba tropis dan mengulik kesadaran anak-anak tentang fenomena yang dihadapi hutan-hutan tropis dan unsur hayati yang terkandung di dalamnya secara dini. "Tentu orangtua mereka akan menceritakan tentang fakta hutan tropis dengan cara sederhana," ujarnya.

Premier film ini dilaksanakan pada 1 Januari lalu di kota Berlin dan Koln. Rothkirch mengungkapkan, "Kami sangat bangga, dalam 10 hari pemutaran, film ini menempati urutan kelima dalam dari chart mingguan di Jerman dengan 200.000 penonton. Ini angka statistik yang baik untuk film anak-anak," katanya.

Jika catatan bagus di pekan-pekan awal pemutaran itu berlanjut ke pekan-pekan berikutnya, film ini akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dan didistribusikan ke seluruh dunia. Kita tunggu saja!

Miranti Soetjipto-Hirschmann (Jerman)

Popular Posts