Generasi Biru di Berlin

Festival Film Berlin menjadi ajang pemutaran perdana --di muka bumi-- film Generasi Biru. Kisah perjalanan Slank menanggapi perubahan politik, transisi demokrasi dalam warna dokumentasi musikal, animasi, dan tari.

Garin Nugroho boleh jadi adalah nama sutradara Indonesia --bahkan Asia Tenggara-- paling terkenal di Berlin, Jerman. Lima karya sutradara yang namanya melesat lewat film Cinta Dalam Sepotong Roti (1991) ini selalu mendapat tempat untuk diputar perdana di Berlinnale Film Festival. Tahun ini, giliran film Generasi Biru ikut festival berusia lebih dari setengah abad itu.

Film berdurasi 90 menit itu masuk dalam kategori Forum International of New Cinema ke-39 di perhelatan Berlinnale ke-59 ini. Satu ''kerumunan'' dengan dengan 48 film asal Jepang, Amerika Serikat, Argentina, Korea Selatan, dan Swedia.

Namanya juga ''World Premiere'', jadi publik Berlin memiliki kesempatan pertama menonton film itu sebelum kelak diputar di Jakarta (rencananya pada 19 Februari atau Kamis pekan ini). Tepatnya, pemutaran perdana Generasi Biru (GB) berlangsung pada 6 Februari lalu di Studio Arsenal, Berlin. Sesuai dengan jadwal, selama 11 hari festival berlangsung, GB diputar sebanyak tiga kali. Dua pemutaran lainnya bertempat di Bioskop Cinemaxx dan Cubix.

Sayang, penonton pada pemutaran perdana tidak membuat Studio Arsenal penuh. Salah satu penyebabnya adalah jam tayang yang terlalu malam, yakni pukul 23.00 waktu setempat. Padahal, Studio Arsenal terletak pada venue utama Berlinnale yang berada pada kompleks gedung Sony Center, lantai bawah dalam Museum Film dan Televisi.

GB berkisah tentang pertemuan anggota kelompok musik Slank (Bimbim, Kaka, Ivan, Abde, Ridho) dengan empat manusia dengan latar belakang berlainan. Ada seorang perempuan muda (Nadine Chandrawinata) yang terjerat narkoba, seorang pria yang berperilaku seperti binatang karena pernah disiksa sedemikan rupa, seorang ibu yang anaknya diculik pemerintah, dan seorang anak yang trauma setelah disiksa orangtuanya.

Film ini memadukan konsep dokumenter musikal dengan animasi, koreografi, dan mime. Sebagaimana judulnya yang sangat identik dengan kelompok musik Slank, GB mengangkat perjalanan grup musik yang bermarkas di Gang Potlot, Jakarta Selatan, itu di tengah arus politik dan situasi sosial Indonesia di era transisi, setelah mundurnya Presiden Soeharto. Ketika itu, krisis ekonomi bikin rungsing dan harga-harga membubung tinggi.

Lintasan-lintasan informasi mengenai kekerasan politik --pelarangan, penyiksaan-- dan konflik terjalin dalam kerangka merekonstruksi demokrasi. Dalam GB, warna-warna kelabu itu terpapar sebagai menu krisis sosial yang dilihat dari sudut pandang anak-anak Slank yang --cukup-- khas.

Menurut Garin, di Asia Tenggara, film dokumenter tentang perjalanan grup musik sangat jarang ditemukan. Di sisi lain, eksistensi dan dedikasi Slank selama 25 tahun di dunia musik dinilai Garin sebagai pencapaian luar biasa. Fenomenal. Oleh sebab itu, Garin memilih Slank sebagai tema. ''Perilaku Slank dan penggemarnya seperti teater besar, teater sosial politik, panggung oposisi dan harapan, kemarahan, ketidakpedulian, sarkasme, dan kebahagiaan orang muda,'' tutur Garin.

Film ini diproduksi selama dua minggu dengan biaya yang --menurut Garin-- terbatas. Penataan musiknya tentu saja ditangani penuh oleh Slank. Sedangkan aspek koreografi dipercayakan kepada tiga koreografer muda --Eko Supriyanto, Jecko Siompo, dan David-- serta seorang koreografer mime berpengalaman: Yayu Aw Unru. Sektor animasi ditangani Ricky Zulman, Terra Bajraghosa, dan Adi Panuntun.

Dalam menggarap GB, Garin bekerja sama dengan dua sutradara lainnya, John De Rantau dan Dosy Omar. Ensambel ini, dalam tataran tertentu, cukup lugas mengemas GB sebagai film yang cukup harmonis memadukan pendekatan dokumenter, animasi, dan musik dalam warna indie yang tidak sekadarnya.

Publik Eropa yang menonton film ini sering melontarkan pertanyaan yang sama: "Bagaimana film seperti ini dapat diputar di Indonesia?" Pertanyaan itu terlontar karena, dalam tanggapan mereka, GB merupakan film "bandel" dan "radikal".

Barangkali itu juga jawaban mengapa Garin memilih Berlinnale untuk pemutaran perdana filmnya itu di muka bumi. Di mata Garin, pada saat ini masyarakat Indonesia berubah menjadi masyarakat yang simbolik. "Saya bosan dengan film agama. Pemuda Indonesia harus lebih nakal, tapi nakal yang kreatif," ujarnya.

Bersama GB, ada enam film karya sutradara Indonesia lainnya yang diputar pada Festival Film Berlin ke-59 kali ini. Walaupun tidak dalam kategori yang dilombakan, prestasi ini cukup membanggakan sebagai bentuk pengakuan atas karya anak bangsa.

Film Pertaruhan (judul dalam bahasa Inggrisnya At Stake), karya empat sutradara dengan produser Nia Dinata, diputar dalam sesi panorama dokumenter. Film box office nasional, Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) karya Riri Riza diputar dalam sesi panorama feature. Dua film masuk dalam kategori film pendek, yakni Musafir karya B.W. Purba Negara dan Trip To The Wound karya Edwin.

Dua film lainnya, Takut, film horor karya tujuh sutradara muda Indonesia, dan Pintu Terlarang, sebuah thriller psikologis karya sutradara Joko Anwar, diputar di tempat ''khusus'' di luar skena festival, yakni di hadapan para distributor film dari berbagai negara.

Relatif mudah buat Garin menyiarkan pesan estetiknya kepada publik Jerman. Kesempatan tayang perdana lima filmnya dalam festival bergengsi dan bereputasi seperti Berlinnale bisa dijadikan salah satu indikator pengakuan warga Eropa atas karya-karyanya. ''Siapa yang tidak kenal Garin?'' begitu ucap seorang penonton bule setelah menonton GB.

Bambang Sulistiyo, dan Miranti Soetjipto Hirschmann (Jerman)
Published: Gatra 15/ 25 February 2009

Popular Posts