Tak Mau Balik, Ya, Silakan!

Bedasarkan laporan Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), jumlah pengungsi politik asal Aceh di Malaysia mencapai 20.000 orang. Ini angka sebelum penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Pasca-penandatanganan itu, UNHCR memastikan bahwa jumlah pengungsi karena politik berkurang. "Banyak pengungsi asal Aceh ini kembali ke Aceh dan sebagian memperoleh izin tinggal di Malaysia," kata Volker Tuerk, Kepala Perwakilan UNHCR Malaysia. Ia menyatakan, kini UNHCR tak aktif lagi mengurusi populasi para pengungsi setelah ada kesepakatan damai RI-GAM.

"Tak ada alasan bagi UNHCR untuk terlibat lagi," Volker Tuerk menegaskan. Sebelumnya, sebagian besar pengungsi Aceh mendatangi kantor UNHCR di Jalan Bukit Petaling, Kuala Lumpur, untuk mencari perlindungan. Mereka kemudian didata dan menjalani serangkaian wawancara sebelum dinyatakan memperoleh asylum (suaka politik) di bawah perlindungan internasional PBB.

Yang dianggap layak dibekali kartu tinggal sementara dengan logo UNHCR. Dengan kartu tersebut, mereka tidak akan dianggap sebagai pendatang haram. Setelah perjanjian damai Helsinki diteken, UNHCR tak lagi memiliki justifikasi. Kartu tinggal sementara di bawah pengawasan dan perlindungan UNHCR juga tak berlaku lagi.

Masalah yang menyangkut hidup puluhan ribu orang mantan pengungsi itu kemudian diserahkan kepada Pemerintah Malaysia. Atas pertimbangan kemanusiaan dan situasi di Aceh yang belum kondusif untuk kembali dan belum adanya jaminan mendapatkan mata pencaharian, maka eks pemegang kartu UNHCR itu diberi izin tinggal sementara.

Mereka diberi dokumen atau pas IMM 13 oleh Pemerintah Malaysia. Kartu IMM 13 diterbitkan berdasarkan Peraturan Imigrasi Malaysia Tahun 1963. Anak-anak di bawah 18 tahun didaftarkan sebagai tanggungan orangtua. Tujuannya, agar mereka dapat tinggal di Malaysia.

Kartu itu hanya berlaku dua tahun dan berakhir pada pertengahan tahun ini. Pendekatan dari tokoh-tokoh Aceh kepada Pemerintah Malaysia telah dilakukan untuk memperjelas status tinggal mereka dan juga kepastian untuk memperpanjang dokumen IMM 13 yang akan segera berakhir.

Meski begitu, hingga kini belum jelas kebijakan yang akan diambil Pemerintah Malaysia. Kartu IMM 13 itu diterbitkan sejak awal 1970-an, terutama bagi pengungsi asal Filipina yang lari dari konflik Moro, Filipina Selatan. Pemerintah Malaysia menerbitkan 54,000 dokumen IMM 13 untuk pengungsi Filipina.

Keputusan UNHCR yang tak lagi memberikan status pengungsi politik itu membuat pelarian politik asal Aceh kecewa. "Mestinya UNHCR tidak serta-merta melepaskan status tersebut di tengah jalan," kata Ibnu Sakdan Abubakar, mantan aktivis Fomapak atau Front Mahasiswa dan Pemuda Anti-Kekerasan yang sekarang berdiam di Malaysia.

Sebab banyak rekannya yang tak menerima kartu IMM 13. "Ada sekitar 4.000 orang yang tak punya, sehingga bisa jadi hidupnya bakal terombang-ambing," ia menambahkan. Syahrul, misalnya. Pemuda asal Aceh ini ditemui Gatra di Pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, masih memegang kartu UNHCR.

Ia menyatakan belum juga mengurus pergantian kartunya menjadi IMM 13, karena informasi yang didapatnya masih simpang siur. Syahrul berharap, kartu UNHCR-nya diberlakukan lagi, sehingga statusnya di Malaysia tetap legal. Ia merasa nyaman dengan status pengungsi berbekal kartu UNHCR, dan enggan balik ke Aceh dengan paspor Indonesia.

"Dengan kartu UNHCR ini, saya bisa langsung kerja. Sedangkan bila punya paspor Indonesia, harus punya izin kerja dan bolak-balik untuk urus izinnya. Belum lagi memperpanjang paspor," tutur Syahrul, yang belum yakin situasi di Aceh akan selalu aman dan kondusif.

Terhadap orang-orang seperti Syahrul itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) melakukan pendekatan dan sosialisasi tentang Undang-Undang Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu, juga menginformasikan situasi terkini di Aceh kepada tokoh-tokoh Aceh di Malaysia.

KBRI pun menyatakan bahwa pintu kembali ke Indonesia selalu terbuka. KBRI akan memfasilitasi dengan SPLP atau dokumen sekali jalan. "Namun, bila mereka masih ingin menikmati fasilitas yang diberikan Pemerintah Malaysia, ya, silakan saja," ujar A.M. Fachir, Wakil Duta Besar RI di Malaysia.

Irwan Andri Atmanto, dan Miranti S. Hirschmann (Kuala Lumpur)
[Laporan KhususGatra Nomor 32 Beredar Kamis, 21 Juni 2007]

Popular Posts