Jual Ganja, Nyawa Taruhannya



Ladang Ganja di Aceh (Antara/Saptono)Dinding Penjara Sungai Buloh di Negara Bagian Selangor, Malaysia, tersembunyi di balik perdu dan pepohonan yang asri. Di dekat gerbang utama terpampang spanduk besar yang menunjukkan bahwa penjara itu baru meraih ISO 9001. Pengelolaan rumah tahanan itu agaknya beres. Tak ada kesan angker sebagaimana laiknya sebuah bangunan penjara.

Di dalam kompleks tersebut, sebanyak 5.292 tahanan menghabiskan hari-harinya. Dari jumlah itu, sekitar 500 orang adalah warga negara Indonesia (WNI). Setengah dari WNI tersebut berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Penjara itu adalah satu dari 18 hotel prodeo di Semenanjung Malaysia. Hanya perlu waktu 45 menit untuk mencapainya dari Kuala Lumpur melewati jalan tol yang mulus, seperti dilaporkan wartawanGatra Miranti S. Hirschmann, yang menyambanginya beberapa waktu lalu.

Suasana rumah tahanan baru terasa setelah melewati gerbang utama. Dibatasi taman yang terawat, tampak dinding penjara yang sebenarnya. Ada tembok tinggi diperkuat kawat berduri di atasnya. Untuk menembus tembok tadi, ada sejumlah pintu besi kokoh yang delengkapi dengan kamera monitor. Para penjaga tampak terus-menerus dalam kondisi siaga. Setelah melewati beberapa lorong, tibalah Gatra di sebuah ruang konsultasi, berukuran 3 x 4 meter.

Ruang itu berlantai semen, dindingnya bercat putih. Ventilasinya berbentuk segi empat, terletak dekat plafon, dilengkapi dengan jeruji. Cuma sebuah kipas angin kecil yang menyelamatkannya dari udara pengap. Namun ruangan tetap terasa panas.

Tak lama kemudian, datang pria berusia 20 tahun hingga 40 tahun. Mereka tampak sehat. Pakaian mereka sederhana: kaus oblong putih yang rombeng, dipadu dengan celana katun dan sandal jepit. Satu pergelangan tangan berkalung borgol besi yang ditautkan pada pergelangan rekannya secara berpasangan. Mereka semua WNI asal Aceh yang terancam hukuman gantung oleh pengadilan Malaysia. Para lelaki malang itu didakwa memiliki narkotika jenis ganja (dadah).

Seorang di antara mereka ialah Mohammad bin Idris. Pria 39 tahun asal Peurlak, Aceh, ini datang pertama kali ke Malaysia pada 1990. Ia tiba di Malaysia dengan status ilegal karena tak berbekal paspor. Dua belas tahun lamanya ia mencari nafkah dengan bekerja serabutan. "Kadang saya kerja bantu di kedai," katanya.

Biarpun berstatus ilegal, sejak menginjakkan kaki di Malaysia, Mohammad bin Idris aman-aman saja. Hidupnya mulai berubah ketika ia terkena razia polisi pada 2002. Ceritanya, Idris sedang mengendarai motor di Selayang Taman City, Kuala Lumpur. Ketika itu, polisi Malaysia sedang melakukan razia.

Mohammad bin Idris kedapatan membawa enam kilogram ganja seharga M$ 6.000, kurang-lebih setara dengan Rp 15 juta. Menurut Pasal l (Seksyen) 39 B ayat 1 Akta Dadah Berbahaya, pengedar atau pemilik dadah seberat 200 gram atau lebih diancam dengan hukuman mati. Idris dijebloskan ke Penjara Sungai Buloh. Di sini, ia berstatus tahanan reman (dalam proses). Selama lima tahun ini, ia bolak-balik ke gedung pengadilan di Jalan Raja, Kuala Lumpur, untuk menjalani sidang. Ia didampingi pengacara dari etnis Melayu.

Idris menolak disebut sebagai pemilik ganja itu. Ia mengaku cuma membantu teman untuk membawa barang haram tersebut ke suatu tempat. Ia pun menyatakan tak tahu bahwa ganjaran yang akan diterimanya adalah hukuman gantung. "Sungguh saya tak tahu, dan saya merasa terjebak," ujarnya kepada Gatra. Selama ia mendekam di penjara, tak ada seorang pun kenalan atau keluarga yang menengok. Teman di penjara adalah sesama orang Aceh yang ditahan atau teman satu kamar. Setiap kamar diisi enam orang, dengan enam tilam dan selimut.

Selama di tahanan, ia mendapat pemeriksaan kesehatan secara berkala dan makan tiga kali sehari. "Nasi, sayur, lauk, dan buah sudah pasti. Kadang ada daging atau ikan," tuturnya. Ia berharap, bila ada kemungkinan bebas, akan kembali ke Aceh dan tak mau lagi balik ke Malaysia.

Pasangan seborgol Mohammad bin Idris ialah Mohammad bin Abdul Rahman, 32 tahun, yang juga dari Peurlak. Ia terancam hukuman mati karena kedapatan memiliki ganja 4 kg. Ketika ditangkap pada pertengahan 2002, ia baru delapan bulan menapakkan kaki di Kuala Lumpur mengikuti kerabatnya.

Rahman juga masih bolak-balik mengikuti proses pengadilan dakwaan kepemilikan ganja di pengadilan Jalan Raja, didampingi pengacaranya yang orang Cina. Ia juga telah menerima hukuman satu kali pukul rotan atas dakwaan sebagai pendatang haram. "Biar cuma sekali, perih sekali. Rasanya badan saya hancur. Saya tak dapat tidur berhari-hari," ia mengenang. Keluarganya di kampung halaman telah mengetahui nasibnya. Mereka kadang menengok dengan membawa makanan khas Aceh, kari ayam, atau kebutuhan sehari-hari seperti pasta gigi.

Tahanan Aceh yang lain, Effendi bin Abdul Samad, 30 tahun, mengaku terdampar di Malaysia sebagai korban keadaan. "Kalau Aceh aman dan makmur, kami tak akan ada di tempat ini," katanya. "Coba pikir, kenapa sampai kami jual ganja di rantau? Lari ke sana kena GAM (Gerakan Aceh Merdeka), lari ke sini kena TNI, maka kami lari saja ke Malaysia," ia menambahkan.

Effendi membantah anggapan bahwa penjualan ganja di negeri jiran itu untuk mendanai kegiatan GAM. Malah ia dan teman-temannya tertawa, menganggap lucu tuduhan itu. "Nggak ada itu. Kami jual dan antar ganja buat cari hidup badan ini saja," ujarnya.

Ketika topik perbincangan kembali ke soal hukuman gantung, Effendi yang sebelumnya tertawangakak mendadak terdiam. Wajahnya yang keras berubah sayu. "Saya pasrah saja. Kalau memang takdirnya dihukum gantung, saya siap," katanya. Toh, ia berharap lolos dari tiang gantungan.

Baru setahun Effendi meringkuk di Sungai Buloh. Ia menjalani sidang terakhir pada 2 April 2007. Ia mesti sabar karena sidang lanjutan baru akan digelar satu tahun kemudian. Jeda persidangan yang lama itu karena banyak kasus yang ditangani, di tengah jadwal persidangan yang padat.

Berdasarkan catatan yang dihimpun Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kuala Lumpur, hingga pertengahan 2007 ini ada 297 WNI yang terancam hukuman mati. Sebanyak 265 orang dari NAD. Mereka umumnya terjerat kasus narkotika (264) dan pemilikan senjata api (1). Sedangkan 32 terdakwa lain dari berbagai wilayah Indonesia umumnya terjerat kasus pembunuhan.

Jumlah 297 terdakwa dengan ancaman hukuman mati itu belum menunjukkan data sesungguhnya. Sebab angka itu baru dari tiga penjara besar, yakni Penjara Sungai Baloh, Penjara Kajang --keduanya di Negara Bagian Selangor-- dan Penjara Taiping di Negara Bagian Perak. Pendataan difokuskan pada tiga penjara itu, karena tahanan asal Indonesia terkonsentrasi di sana.

Di Penjara Kajang, misalnya, kini ada 600 tahanan asal Indonesia. "Kami akan segera mendata penjara-penjara yang ada di Trengganu dan Kelantan," kata Tatang B. Razak, Kepala Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan Warga Indonesia di Malaysia.

Selama ini, proses pendataan dilakukan secara manual dengan mendatangi penjara di Malaysia. Sebab Pemerintah Malaysia belum mau memberikan data pasti tentang jumlah orang Indonesia yang berkasus hukum di Malaysia. Ini terjadi karena belum adanya penandatanganan mandatory consular notification (MCN) antara Pemerintah RI dan Malaysia.

Padahal, MCN itu telah diatur dalam Konvensi Wina. Isinya mewajibkan pemerintah sebuah negara melaporkan warga asing yang terjerat kasus hukum kepada perwakilan negara bersangkutan. Pemerintah Indonesia sudah mengusulkan penandatanganan MCN itu kepada Pemerintah Malaysia, Desember lalu. Namun belum juga ada tanggapan.

Maka, dalam kunjungan ke Kuala Lumpur, Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan persoalan MCN itu dalam pembicaraan dengan Abdullah Badawi, Perdana Menteri Malaysia. Dalam pembicaraan itu, Badawi merespons positif dan berpendapat bahwa sepatutnya tiap negara menerapkan MCN.

Dari seluruh terdakwa asal Indonesia di Malaysia itu, delapan orang telah divonis hukuman gantung oleh Mahkamah Tinggi Kerajaan. Mereka semua dari Aceh. Empat di antaranya masih menunggu proses banding di Mahkamah Rayuan, antara lain Nasruddin bin Daud (Pidie), Azhar bin Nurdin (Bireuen), dan Mustaqim bin Hanafi (Aceh Utara).

Empat terpidana lainnya tinggal menunggu eksekusi, karena permohonan banding mereka ke Mahkamah Rayuan ditolak. Mereka adalah Mardani bin Dadeh, Tarmizi Yakob, Bustamam bin Bukhari, dan Parlan bin Dadeh. Keempatnya dari Kabupaten Bireuen.

Sebenarnya empat orang itu masih punya peluang lolos dari tiang gantungan. Caranya, memohon amnesti atau pengampunan dari Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agung. Prosesnya makan waktu dan butuh advokasi yang kuat. Organisasi non-pemerintah seperti Kontras, Infid, YLBHI, Migrant Care, dan Kopbumi pun mendesak Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah kongkret untuk memberikan advokasi itu.

Caranya, membentuk tim advokasi, yang selanjutnya bekerja sama dengan pengacara hak asasi manusia Malaysia. Tugasnya, memperjuangkan pengurangan hukuman dan menunda eksekusi hukuman mati. "Sikap kami jelas, yakni berupaya menghapus hukuman mati," kata Usman Hafidz, Direktur Kontras. "Kami meminta Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat mendukung hal ini," ia menambahkan.

Dukungan itu bisa diwujudkan dengan berkomunikasi dan melakukan diplomasi intensif ke negeri jiran itu. Selain itu, pemerintah juga harus membentuk tim investigasi, yang bertugas mendata jumlah pasti WNI yang terancam hukuman mati.

Namun, untuk meminta pembatalan hukuman mati di Malaysia, perlu perjuangan luar biasa sulit, selama di Indonesia sendiri sulit menghapuskan hukuman mati. "Perlu waktu juga untuk membenahi sistem hukum kita," ujar Usman.

Usman Hamid menegaskan, advokasi atas WNI yang terlibat persoalan hukum di luar negeri harus berjalan paralel, baik di dalam maupun luar negeri. Untuk saat ini, Kontras berharap, pemerintah memprioritaskan mereka yang terdaftar pada death row atau yang telah dijatuhi hukuman mati.

A.M. Fachir, Wakil Kepala KBRI di Kuala Lumpur, menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia melalui KBRI terus melakukan pendekatan kepada Pemerintah Malaysia agar hukuman mati tak dilakukan. Upaya memberikan advokasi bagi para terdakwa dalam bentuk pendampingan secara hukum juga dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD.

Pemprov NAD sejauh ini telah mengirim dua tim investigasi dan advokasi. Tim pertama ditunjuk langsung oleh Gubernur Aceh, yang terdiri dari pengacara dan unsur LSM. Tim kedua terdiri dari anggota DPRD Aceh. Tim ini memprioritaskan mereka yang telah dijatuhi hukuman mati.

Ironisnya, isu hukuman gantung terhadap orang Aceh di Malaysia itu tak terlalu mendapat perhatian masyarakat Aceh di Malaysia. Ibnu Sakdan, warga Aceh asal Langsa yang tinggal di Kuala Lumpur, menyatakan, hal ini terjadi karena media di Malaysia tak pernah memberitakan persoalan itu. "Justru dari media Indonesia kami mengetahui hal tersebut," katanya.

Selain karena terbatasnya informasi, komunitas-komunitas Aceh di Malaysia selama ini juga tak terlalu ambil pusing dengan hukuman mati yang menimpa orang Aceh di Malaysia. "Hal itu memang yang terjadi. Buat mereka, itu risiko yang harus diterima," kata Alchaidar, dosen Jurusan Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Itu terjadi karena kebanyakan masyarakat Aceh di Malaysia tak memberi toleransi pada tindakan melanggar peraturan setempat dan menjurus kriminalitas.

Irwan Andri Atmanto, dan Miranti S. Hirschmann (Kuala Lumpur)
[Laporan KhususGatra Nomor 32 Beredar Kamis, 21 Juni 2007] 

Popular Posts