Mebel ASEAN Cita Rasa Eropa



Pavilyun ASEAN Fushion (GATRA/Miranti Soetjipto-Hirschmann)Ribuan orang memadati pavilyun ASEAN Fushion di Hall 9 arena pameran "Tendence Lifestyle" di Messe, Frankfurt, Jerman, yang berlangsung pada 25-29 Agustus. Mereka terpikat oleh keunikan desain produk mebel dan interior karya desainer ASEAN. Para desainer dari Asia Tenggara itu menyatukan tren desain produk furnitur dengan aksesori Eropa.

Tak kurang dari 17 perancang interior ternama asal Indonesia, Filipina, dan Vietnam memajang karyanya di arena pameran produk gaya hidup terbesar di Eropa itu. Menurut Dian Indrianty dari Kamar Dagang Indonesia-Jerman (Ekonid), ASEAN Fushion mengusung konsep desain tanpa batas. Produk-produk ASEAN Fushion menanggalkan sekat etnik, meski tetap menampilkan kekhasan dari negara asalnya. "Desain ini hasil kesepakatan para kurator dan kamar dagang yang telah menyeleksi ketat ratusan karya para desainer ketiga negara itu," Dian menegaskan.

Keunikan ASEAN Fushion itu terlihat pada produk Iqbal Fachrudin, salah satu desainer dari empat desainer produk Indonesia yang tergabung di ASEAN Fushion. Iqbal mengandalkan pola segi empat yang sederhana untuk pernak-pernik meja tulis dan lampu dari bahan kayu eboni. Kesempurnaan kualitas pengerjaan desainer PT Tropis Uber Sahutu itu membuat produknya menonjol. "Latar putih pavilyun ini membuat produk saya eye catching," kata Iqbal, yang baru pertama kali berpameran di Eropa.

Desainer Indonesia lainnya, Leonard Theosubrata, juga memamerkan produk andalannya, kursi malas. Salah satu desainer paling berpengaruh di Asia versi buku Young Asian Designer terbitan DAAB, Jerman, ini mengandalkan kekuatan material dan bentuk gelombang. Detail kursi malasnya yang mirip bagian tubuh serangga sangat nyaman diduduki. Tak mengherankan jika karya Leonard diincar sejumlah konsumen Eropa.

Jika Leonard mengandalkan kursi malas, Anna Patricia Susanto menyuguhkan keindahan tekstur material alami. Ia memilih material terakota dan batu alam untuk vas bunga, pot, dan cermin unik, karyanya. Anna membuat dudukan lampu dari tumpukan batu alam. Perancang interior yang juga pemilik PT Nine Square Indonesia yang berbasis di Bantul, Yogyakarta, ini menonjolkan bentuk organik pada karyanya. Bahkan Anna tak segan menggunakan warna emas sebagai detailnya.

Agar desain produknya bisa diterima konsumen Eropa, ia banyak menerima saran dari rekan seprofesinya di Filipina. "Mereka telah puluhan tahun bergelut di pasar Eropa," tutur Anna. Kamar Dagang Filipina di Eropa memang giat mencari terobosan untuk merebut pasar Eropa yang selama ini didominasi Cina.

Akhir tahun lalu, mereka pun berinisiatif membuat kekuatan baru yang bertumpu pada desain negara ASEAN. Desain ini tak hanya bersaing di sisi harga, melainkan juga menawarkan kualitas sesuai standar Eropa. Keberhasilan ASEAN Fushion menarik para pembeli Eropa membuat proyek ini tetap bertahan.

Tahun depan, ASEAN Fushion akan melakukan road show ke Paris dan Milan. Menurut Dian Indrianty, mereka akan mengajak sekitar 30 desainer dan pengusaha. "Kami juga akan mengajak Thailand untuk memperkuat program ini," katanya. Harapannya, kelak delegasi ASEAN Fushion bisa menyamai delegasi Cina yang membawa 273 peserta di "Tendence Lifestyle" tahun ini.

Produk mebel dan aksesori Indonesia tak hanya tampil di pavilyun ASEAN Fushion. Di pavilyun Indonesia seluas 120 meter persegi, sekitar 50 pengusaha kecil dan menengah memamerkan produk unggulannya. Wakil Indonesia ini menjadi bagian 3.207 delegasi dari 78 negara yang ikut serta dalam pameran sepanjang lima hari itu.

Seluruh peserta menempati sembilan hall bertingkat, yang terbagi berdasarkan kategori: desain interior, peralatan masak dan makan, dekorasi rumah tangga, mainan anak-anak, perhiasan, dan dekorasi musim. Pavilyun Indonesia mengandalkan perabotan dan aksesori berbahan kayu. Mulai kayu mangga, akasia, kelapa, jati, sampai kayu asem.

Penggunaan material kayu ini sudah sesuai standar pelestarian lingkungan yang jadi isu krusial di Eropa. Makanya, khusus furnitur dari kayu akasia sudah mendapatkan asistensi dari World Wide Fund dan International Finance Corporation.

Sedangkan produk kerajinan banyak yang menggunakan bahan baku daur ulang, seperti pecahan kaca, abaca, dan batok kelapa. "Ramah lingkungan, jaminan keberlangsungan bahan baku, dan inovasi desain sesuai selera Eropa menjadi kunci agar diterima di pasar Eropa," kata M. Romahurmuziy, kepala pavilyun Indonesia.

Astari Yanuarti, dan Miranti Soetjipto-Hirschmann (Frankfurt)
[AstakonaGatra Edisi 44 Beredar Kamis, 14 September 2006] 

Popular Posts