Gesekan Kepentingan di Jalur Terang


FRED Dobberphul tampak gelisah dan kalut. Ia tak beranjak dari bangkunya di sebuah kafe di Jakarta Pusat, meski waktu telah menembus batas pergantian hari. Pria asal Jerman itu masih menikmati sisa malam. Ia bingung, belakangan tempat tinggalnya sering didatangi polisi. Tak jarang ia dipanggil dan diperiksa agen Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta.

Kecemasan Fred akhirnya mencapai klimaks lepas tengah malam Rabu pekan lalu. Dua orang polisi mencokoknya setelah ia menuang sisa bir ke mulutnya. Fred pun digelandang ke Mabes Polri dan ditahan. Ia menjadi tersangka kasus pengambilan benda muatan kapal tenggelam (BMKT) secara ilegal.

Pada saat hampir bersamaan, koleganya di PT Cosmix, Jean Paul Blanc, pria asal Prancis, juga diangkut ke kantor Bareskrim. Esoknya, setelah diinterogasi sehari penuh, kedua ekspatriat itu resmi dijebloskan ke sel tahanan Markas Brimob Kelapa Dua, Depok.

Drama penangkapan dua pemburu harta karun itu terjadi menyusul penyitaan beberapa benda dari kapal karam di perairan Cirebon yang tersimpan di markas PT Cosmix, sehari sebelumnya. Benda yang kata Fred, selaku pemilik PT Cosmix, tidak memilki nilai jual itu diboyong ke Mabes Polri sebagai alat bukti. "Penyimpanan benda-benda yang disiapkan untuk riset itu sudah sepengetahuan Panitia Nasional BMKT," kata Fred kepada Gatra sebelum penggerebekan terjadi.

Fred menyatakan, pengangkatan BMKT Cirebon oleh PT Paradigma Putera Sejahtera, mitra lokalnya, semua legal. "Kami berbekal izin resmi dari Menteri Kelautan dan Perikanan atas rekomendasi Panitia Nasional yang beranggotakan 11 instansi terkait," ia menambahkan. Di dalamnya ada unsur TNI, tapi Polri tidak.

Polisi jalan sendiri dengan versinya. Mereka menyegel dan menyita dokumen serta barang yang terkait kasus ini. Termasuk BMKT hasil pengangkatan di perairan Cirebon yang disimpan di gudang Paradigma. Menurut polisi, proses perizinan itu tak sesuai undang-undang. Jadi, ya, ilegal. "Sungguh ironis, benda-benda bersejarah itu milik pemerintah, kok disita polisi," ujar Direktur Utama PT Paradigma, Priyo S. Brodjonegoro.

Sejak awal, kasus ini memang sarat kontroversi. Dalam versi PT Cosmix, sebelum terendus Panitia Nasional BMKT, barang antik muatan kapal Cina tenggelam itu sebagian sudah dipanen nelayan. Hasil "tangkapan" itu lalu jatuh ke tangan PT Cosmix, dan menurut versinya, itu digunakan untuk riset dan studi kelayakan. Cosmix lambat memberitahu Panitia Nasional, dan menurut polisi, itu masalah. Namun kasus ini akhirnya tak berlanjut.

Berikutnya, izin survei dan pengangkatan PT Paradigma disoal. Juga perekrutan pekerja asing dianggap melanggar hukum (lihat: Investigasi Gatra edisi 28 Mei 2005). Kasus ini pun terhenti. Yang kini muncul adalah tuduhan bahwa Paradigma, yang mengangkat harta karun dari kapal Dinasti Ming abad ke-10 Masehi itu, disebut melakukan pencurian. Yang melapor tak lain dua staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Putu Ngurah Mangku dan Teguh Samudera, dengan sepengetahun Direktur Pengawasan Jasa Kelautan, Ghanty Syahabuddin.

Polisi pun melakukan penyelidikan hampir enam bulan. Di tengah penyidikan itu, Februari 2005 Menteri Kelautan Freddy Numberi menulis surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melaporkan ihwal perkembangan pengangkatan BMKT Cirebon. Ia minta presiden memberi nama program BMKT Cirebon yang hasilnya akan dijual di Balai Lelang Christie's di Amsterdam pada akhir 2006. Taksirannya US$ 8 juta hingga US$ 24 juta.

Freddy pun bersurat ke Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, 6 Mei 2005, memohon supaya penyelidikan kasus BMKT Cirebon itu dihentikan. Alasannya, pengangkatan harta karun itu resmi. Lagi pula, kalau penyidikan itu berlarut-larut, barang yang sudah diangkat itu telantar dan nilainya merosot. Ia memohon kepolisian tak mencari-cari kesalahan agar proses itu berjalan lancar.

Bagi Budi Prakoso, pemilik PT Tuban Oceanic Research and Recovery, badan usaha pemburu harta karun pula, surat Freddy itu adalah bentuk intervensi. Surat ke presiden bahkan disebut suatu kesalahan besar. "Sebab polisi sedang memproses pidananya," kata Budi.

Alih-alih menyetop penyidikan, polisi makin ngotot. Akhir Januari lalu, mereka menyita kapal MV Siren sewaan PT Paradigma yang sedang lego jangkar di perairan Marunda. Tindakan polisi yang dikomandoi Wakil Kepala Bareskrim, Inspektur Jenderal Gorries Mere, itu didasari anggapan bahwa PT Paradigma dan Cosmix melawan Undang-Undang tentang Cagar Budaya dan Benda Bersejarah.

Undang-Undang Nomor 5/1992 itu menyebutkan, yang berhak memberi izin pengangkatan benda bersejarah adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, bukan Menteri Kelautan. "Perizinan para tersangka dalam mengangkat BMKT itu dinilai ilegal," ujar Kepala Bareskrim, Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara.

Tuduhan itu ditolak Aji Sularso, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Menurut dia, dasar hukum yang dipakai ialah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

Dalam keppres itu dinyatakan, Menteri Kelautan menjadi ketua panitia. Wakilnya ialah Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut. "Jadi, kurang tepat bila ada pihak yang meragukan legalitas persetujuan yang diberikan Menteri Kelautan dan Perikanan ke PT Paradigma," kata Aji. Lagi pula, katanya, Paradigma hanya mengangkat, dan menerima komisi kalau barang sudah terjual. Benda antiknya tetap milik negara.

Anehnya, keppres keluaran tahun 2000 baru disoal sekarang. Padahal, dalam waktu enam tahun ini, beberapa titik harta karun dieksplorasi lewat proses perizinan yang sama. Direktur Pesisir dan Kelautan DKP Irwandi Idris mengatakan, sejak tahun lalu saja 41 perusahaan telah melakukan survei di penjuru perairan Nusantara. "Baru ada tiga proses pengangkatan," kata Irwandi. Sejauh ini, baru PT Paradigma yang dituduh melakukan pencurian karena mengikuti keppres made inGus Dur itu, plus dinyatakan melanggar Undang-Undang Cagar Budaya dan Benda Bersejarah.

Keppres itu mengamanatkan agar pengangkatan harta karun dari dasar laut dilakukan secara terbuka, transparan, dan melibatkan banyak pihak. Itu pula yang sedang dilakukan PT Samudera Kembar Jaya dan PT Adi Kencana Salvage di perairan Kepulauan Riau.

Usaha pengangkatan harta karun itu sudah lama dikerjakan orang --utamanya orang asing. Beberapa dari mereka sukses, untung besar. Sebut saja Teksing Kargo yang mengangkat 426.846 potong artefak dari Dinasti Cing (abad XIX) dengan nilai DM 6,42 juta. Yang terbesar dari perairan Batu Hitam, Belitung, 1998. Dari lokasi itu, PT Sulung Segara Jaya, bekerja sama dengan Seabead Exploration, mendulang 50.000 artefak yang kondang disebut Tang Kargo. Benda bernilai sejarah tinggi itu masih menyisakan persoalan hingga kini.

Namun pengangkatan harta karun sebelum tahun 2000 tak banyak memberi hasil ke negara. Prosesnya tertutup. Pengawasannya samar. Karena itu, di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, Panitia Nasional getol memburu ribuan artefak yang diboyong ke luar negeri. Toh, perburuan berbiaya tinggi itu tak membawa pulang hasil yang memadai. Pengejaran harta Tang Kargo cuma menghasilkan duit US$ 2,5 juta, plus sebutir Intan Kargo yang dihibahkan oleh Seabed Exploration ke Indonesia. Baru belakangan diketahui, isi perut kapal itu berharga US$ 40 juta.

Lain pula dengan PT Tuban Oceanic Research and Recovery. Perusahaan ini berhasil memetik 33.095 keramik dari Dinasti Yuan (abad VII-VIII) di Selat Karimata. Tapi, hingga saat ini, benda-benda antik itu masih tersimpan di gudangnya. PT Tuban Oceanic bekerja dengan izin model lama. Panitia Nasional bingung memprosesnya.

Carut-marut kebijakan BMKT, seperti pada kasus Tang Kargo, membuat para pejabat di DKP merumuskan prosedur baru. Konsep itulah yang dijalankan PT Paradigma dalam menggarap proyek BMKT Cirebon. Tapi keberadaan Panitia Nasional BMKT di bawah Departemen Kelautan itu dianggap menyalahi undang-undang.

Tak mengherankan bila Priyo S. Brodjonegoro menilai kasus harta Cirebon ini mengandung muatan politik. Ia menduga, ada konspirasi untuk menggagalkan pengangkatan harta karun dari Cirebon itu. Menurut Priyo, kalau ada ketidaksepahaman soal regulasi, jalan keluarnya sederhana. "Jika Kapolri dan DKP berkoordinasi, akan jelas mana regulasi yang dipakai. Kalau belum sepakat, bisa ke Menteri Sesneg atau Mahkamah Agung," ujarnya.

Sekarang Priyo serba repot. Investor yang dirangkul sudah merogoh kocek hingga 4,5 juta euro. Padahal, setiap kasus ini mencuat, taksiran Christie's menjadi anjlok. "Awalnya itu US$ 10 juta, lalu turun US$ 8 juta, dan kini Christie's tak mau lagi mengontak kami," Priyo mengeluh.

Atas kejadian itu, awal Februari lalu Freddy Numberi memberhentikan dua staf khususnya, Teguh Samudera dan Putu Mangku, yang gemar menghantam proyek Cirebon itu. Teguh sendiri adalah pengacara dari PT Tuban Oceanic, sedangkan Putu direktur di perusahaan milik Budi Prakoso itu. Persaingan bisnis? "Tidak. Saya tak pernah mengajukan izin mengangkat harta karun di Cirebon, kok," kata Budi.

Tapi Budi mengaku memberi masukan ke DKP dan polisi tentang apa yang disebutnya pencurian atas harta karun Cirebon. "Saya punya data-data kongkret," katanya. Ia juga menepis anggapan sakit hati ke Freddy karena bisnis pasir laut keluarganya di Riau ditutup. "Keluarga saya tak pernah ikut bisnis pasir," Budi menegaskan.

Apa pun, perburuan benda purbakala di dasar laut memang sarat persaingan, kadang diwarnai baku sikut. Indonesia sebagai jalur pelintasan Barat dan Timur memang kaya akan harta jenis ini. Penelisikan Badan Riset DKP menemukan ada 463 lokasi kapal tenggelam. Persoalannya, perburuan ini akan dilakukan lewat jalan terang atau jalur remang.

Kadang jalur remang, bahkan gelap seperti dulu, bisa membuat orang meluncur lebih mulus. Di jalur terang, jalannya padat sehingga terjadi saling senggol, saling gesek. Maka, pemburu harta sekaliber Fred Dobberphul dan Jean Paul pun kini harus meringkuk di balik terali besi.

Heru Pamuji, Basfin Siregar, dan Deni Muliya Barus
[Laporan UtamaGatra Nomor 18 Beredar Senin, 13 Maret 2006]

Popular Posts