Sebuah Peta untuk Jalan Bersama

Film bersama video dan fotografi dikelompokkan sebagai industri kreatif. Sumbangannya terhadap PDB industri kreatif masih kecil. Padahal, potensinya sangat besar.

Jumat malam 13 Februari 2009, pukul 19.50. Studio 3 Cinestar Berlin berkapasitas 367 pengunjung penuh sesak. Para calon penonton yang telah membeli tiket jauh-jauh hari tak mendapatkan kursi. Mereka terpaksa duduk di kiri-kanan tangga studio itu dan meluber hingga pintu masuk.

Panitia bertindak cepat. Untuk menghindari situasi tidak nyaman, Studio 2 dibuka secara mendadak. Hari itu, pada jam yang sama, dua studio di kompleks Bioskop Cinestar pada Festival Film Berlinale ke-59 penuh terisi untuk film Laskar Pelangi. Film yang disutradarai Riri Riza itu diputar lima kali selama Berlinale berlangsung.

Laskar Pelangi bukan satu-satunya film Indonesia yang diputar di ajang festival film bergengsi itu. Masih ada film Generasi Biru arahan sutradara Garin Nugroho yang masuk dalam kategori "Forum". Film Pertaruhan (At Stake) arahan empat sutradara muda: Iwan Setiawan, Ucu Agustin, Lucky Kuswandi, dan Ani Ema Susanti, masuk dalam kategori "Panorama".

Lainnya adalah dua film pendek. Masing-masing berjudul Trip to The Wound karya sutradara Edwin (durasi tujuh menit) dan Musafir karya sutradara Bagus Wirati Purba Negara (durasi 16 menit) yang masuk dalam kategori "Berlinale Shorts" dengan menyisihkan sekitar 2.300 film pendek dari berbagai belahan dunia.

Dalam perhelatan tahunan itu, usai menonton Trip to the Wound, Senior Manager Network of Asian Fantastic Film, Jongsuk Thomas Nam, mengaku tertarik pada film-film Indonesia. Film Pintu Terlarang karya sutradara Joko Anwar menjadi salah satu ''bahan belanjaan'' yang sedang ditaksir pria asal Korea Selatan itu.

Jongsuk mengaku kaget begitu mendengar bahwa biaya produksi film tersebut ''hanya'' US$ 500.000. ''Kalau melihat warnanya, grafisnya, akting aktor dan aktrisnya, sulit percaya bahwa film itu diproduksi dengan low-budget,'' kata Jongsuk kepada Miranti Soetjipto-Hirschmann dari Gatra.

Buntutnya, Jongsuk ingin membawa Pintu Terlarang ke Korea Selatan sebagai semacam bahan panduan tentang strategi membuat film ''murah'' dengan kualitas --yang menurut dia-- oke. Dalam catatan Jongsuk, karena resesi, sepanjang tahun 2008 Korea Selatan hanya memproduksi sekitar 90 film feature.

Sebagian besar dari jumlah itu pun merupakan hasil garapan para produser dan sutradara terkemuka Korea Selatan, yang karena reputasinya jadi relatif lancar mendapatkan dana dari pemerintah atau lembaga film Korea untuk memproduksi film. Sedangkan para produser film independen Korea relatif kesulitan mendapatkan sponsor untuk membiayai film mereka.

Dalam situasi itu, menurut penilaian Jongsuk, strategi produksi film low-budget dengan genre spesifik seperti Pintu Terlarang menjadi salah satu jalan cara untuk menyiasati kendala keterbatasan dana yang dialami para kreator film independen di Korea Selatan. Apresiasi publik Berlinale terhadap film-film Indonesia adalah kabar menggembirakan.

Untuk Laskar Pelangi, respons penonton Berlinale seakan melengkapi ''sukses komersial'' yang diraihnya di dalam negeri. Sejak tayang perdana, akhir September 2008 hingga sekarang, film yang total produksinya berongkos Rp 9 milyar itu, menurut produser Laskar Pelangi, Mira Lesmana, telah ditonton oleh sekitar 4,6 juta orang di Tanah Air.

Beberapa bulan sebelum itu, skena perfilman Indonesia dibuat ''agak lain dari biasanya'' dengan membludaknya jumlah penonton film Ayat-ayat Cinta garapan sutradara Hanung Bramantyo. Film drama religius yang dirilis pada akhir 2007 itu berhasil mendatangkan sekitar 4 juta penonton selama masa edarnya di bioskop-bioskop se-Indonesia.

Belakangan, antrean panjang di depan loket penjualan karcis bioskop-bioskop di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang memutar film Indonesia cukup sering terlihat. Terutama, beberapa saat sebelum dan pada saat liburan sekolah ini, tidak jarang tertera keterangan ''tiket habis'' untuk jam pemutaran tertentu film-film seperti Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, King, dan paling mutakhir: The Tarix Jabrix 2.

''Tahun-tahun belakangan, banyak film nasional yang mampu bersaing dengan film impor dengan menembus jumlah penonton di atas 1 juta orang,'' demikian dikemukakan Direktur Utama PT Starvision Plus, Chand Parwez Servia, yang juga berperan sebagai produser The Tarix Jabrix dan sekuelnya, kepada Birny Birdieni dari Gatra.

Data dari Direktorat Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, produksi film nasional yang tayang di bioskop cenderung stabil dan terus meningkat sejak 2005 (33 judul) sampai tahun 2008 (87 judul). Untuk kuartal pertama 2009, telah tercatat 26 judul.

Jika proporsi itu bertahan pada kuartal-kuartal berikutnya, diperkirakan bakal terdapat lebih dari 100 judul film nasional sampai akhir 2009. Meski membutuhkan rentang waktu lebih panjang, pertumbuhan jumlah penonton film nasional beranjak meningkat dalam 10 tahun terakhir. Produser dari Miles Film, Mira Lesmana, mencatat bahwa pada 1998, jumlah penonton film nasional hanya 1%.

Namun, pada 2008, pangsa pasar film Indonesia mencapai 58% dari sekitar 45 juta penonton bioskop di negeri ini. ''Tolok ukur keberhasilan sebuah film secara komersial dapat dilihat dari jumlah penontonnya.'' kata Mira kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra.

Peningkatan jumlah produksi film nasional dalam kurun lima tahun terakhir, yang diiringi dengan kecenderungan naiknya jumlah penonton film Indonesia, itu mendapat tanggapan dari pemerintah. Diawali fenomena kehadiran para pejabat negara --mulai presiden, wakil presiden, hingga para menteri-- dalam acara seremonial menonton film nasional. Lantas ditindaklanjuti dengan memasukkan film dalam satu kelompok bersama video dan fotografi sebagai satu di antara 14 subsektor industri kreatif.

Industri Kreatif Subsektor Film, Video, dan Fotografi
Setelah pemerintah menyelesaikan penyusunan cetak biru ekonomi kreatif dengan target program dan pencapaian hingga tahun 2025, pada 22 Desember 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tahun 2009 sebagai "Tahun Indonesia Kreatif".

Dalam pemaparan "Studi Industri Kreatif Indonesia Tahun 2007", tim Departemen Perdagangan RI memasukkan kelompok film, video, dan fotografi (selanjutnya disingkat FV&F) sebagai satu di antara 14 kelompok industri kreatif. Ruang lingkupnya dipaparkan sebagai berikut: ''Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan ekshibisi film.''

Studi di negara yang terlebih dulu menerapkan kebijakan industri kreatif seperti Inggris (diperkirakan menyusun strategi industri kreatifnya pada 1990) menempatkan ''film & video'' sebagai satu di antara 13 kelompok yang telah terpetakan. Ruang lingkupnya, antara lain, meliputi reproduksi perekaman video, produksi dan distribusi film dan video, serta infrastruktur pemutaran film. Model pemetaan yang dilakukan Selandia Baru hampir mirip dengan Inggris.

Sementara itu, di negara seperti Australia dan Singapura, bidang film ditempatkan sebagai industri berbasis copy rights dan industri berdasarkan sifat distribusinya. Tapi, khusus berkenaan dengan bidang film, pada dasarnya semua negara itu menekankan pada ruang lingkup produksi, distribusi, pemutaran dan atau ekshibisi film.

Di Indonesia, dengan uraian yang disederhanakan, selama periode 2002-2006, produk domestik bruto (PDB) industri kreatif memberi kontribusi rata-rata Rp 104,637 trilyun atau 6,28% dari total PDB nasional. Dari jumlah itu, subsektor FV&F hanya menyumbang rata-rata Rp 261,4 milyar atau 0,25% dari rata-rata kontribusi PDB industri kreatif.

Pada periode yang sama, industri kreatif tercatat menyerap rata-rata 5,4 juta tenaga kerja. Dari angka itu, subsektor FV&F menyumbang rata-rata 17.496 tenaga kerja per tahun. Bandingkan, misalnya, dengan subsektor fashion yang bercokol di tempat tertinggi, dengan kontribusi jumlah tenaga kerja rata-rata 2,807 juta per tahun.

Namun ada kecenderungan, tren kenaikan jumlah produksi film dari tahun 2006 sampai 2008 berpotensi mengerek ''performa'' subsektor FV&F. Hal ini tercermin pada rata-rata nilai ekspor subsektor industri kreatif yang telah dimutakhirkan hingga periode 2002-2008 (indikator lainnya, seperti disebutkan tadi, sedang dalam proses pemutakhiran yang sama).

Nilai ekspor rata-rata subsektor FV&F untuk periode 2002-2006 mencapai Rp 2,210 milyar. Bandingkan dengan data sebelumnya. Pada periode 2002-2006, rata-rata nilai ekspor subsektor ini baru mencatat angka Rp 1,304 milyar.

Demikian pula kemampuannya menyerap tenaga kerja. Kepada wartawan Gatra Sandika Prihatnala, Direktur Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, Ukus Kuswara, melansir data Departemen Perdagangan yang mencatat jumlah rata-rata tenaga kerja yang diserap subsektor FV&F pada 2002-2008, yakni 31,167 jiwa.

''Hal ini tentu saja menunjukkan arah positif bagi keadaan ekonomi nasional,'' kata Ukus usai memberi presentasi dalam seminar mengenai industri kreatif film yang berlangsung pada hari ketiga penyelenggaraan Pekan Produk Kreatif Indonesia, 25-29 Juni lalu, di Jakarta Convention Center.

Perubahan nilai dan jumlah pada data "Studi Industri Kreatif Indonesia 2007" dari Departemen Perdagangan atas beberapa hasil pemutakhiran datanya menyiratkan tingkat kesulitan cukup tinggi untuk membaca gerak perkembangan dan pencapaian faktual ke-14 subsektor industri kreatif itu, khususnya kelompok FV&F.

Tetapi, di luar ancaman ketidakkonsistenan data itu, ada persoalan yang tak kalah pentingnya tentang frasa ''industri film nasional''. Sebelum perannya dikukuhkan sebagai satu di antara sekian banyak pilar ekonomi kreatif, seperti apakah sesungguhnya peta jalan industri film di Indonesia?

Industri Film Nasional
Frasa ''industri film nasional'' selalu saja memancing perdebatan dalam posisinya sebagai subjek yang disandingkan dengan predikat yang bersifat aktif. Garin Nugroho, sutradara film dan pemerhati pesoalan kebudayaan, menyebutkan bahwa industri film nasional masih berupa cita-cita setengah hati.

Menurut Garin, pada saat ini berkembang kecenderungan untuk mengukur eksistensi industri film nasional berdasarkan satu-dua film yang ditonton banyak orang atau berdasarkan jumlah produksi film saja, tapi mengabaikan syarat-syarat pendukung keberadaan industri film.

''Padahal, syarat-syarat itu adalah koridor untuk membentuk peta jalan industri film nasional,'' kata sutradara film yang sering dijuluki sebagai sutradara ''film festival'' karena eksplorasi dan inovasi artistiknya lewat medium film itu.

Garin mengemukakan, setidaknya ada tiga syarat strategis, dari sekitar enam syarat yang --dalam catatannya-- tidak pernah dapat terlengkapi dalam wacana industri film nasional sampai saat ini. Pertama, persoalan teknologi, yang berpijak pada data bahwa 60%-70% film Indonesia ''dilahirkan'' di luar negeri, seperti Thailand dan India. Kedua, berkaitan dengan aksesibilitas publik luas terhadap film nasional dan tata edar film. Ketiga, ''SDM yang profesional,'' katanya.

Minimnya pasokan SDM (sumber daya manusia) yang profesional menjadi salah satu alasan Shanty Harmayn untuk tidak serta-merta menggunakan kata ''industri'' dalam merespons peningkatan produksi film nasional beberapa tahun belakangan ini. ''Di Korea Selatan, pasokan tenaga kerja film per tahunnya 4.000 orang lebih. Sedangkan di Indonesia, kita masih berebutan mencari art director, aktor, dan lain-lain. Keadaan ini bukanlah sebuah industri,'' papar Shanty.

Juga dengan menggunakan industri film Korea Selatan sebagai model, Pemimpin Redaksi rumahfilm.org, Krisnadi Yuliawan, mengilustrasikan pencapaian yang diraih film Taegukgi Hwinallimyo (2004). Film yang distradarai Kang Je-gyu ini ditonton oleh hampir 12 juta warga Korea Selatan. ''Hampir seperempat jumlah penduduk Korea Selatan menonton film itu,'' kata Krisnadi.

Film berdurasi 148 menit itu diproduksi dengan biaya US$ 12,8 juta. Selain memperoleh penghargaan di beberapa ajang festival, Taegukgi meraup pendapatan US$ 68,7 juta dari hasil pemutaran di berbagai negara.

Fenomena Taegukgi bersinergi dengan berbagai aspek yang mendukung tegaknya industri perfilman sebuah negara. Misalnya ketersediaan bioskop dan jumlah layar yang dapat dijangkau masyarakat luas. Jumlah layar bioskop di Korea Selatan pada 2006 mencapai 1.648.

Jumlah layar bioskop di seluruh Indonesia sampai Juni 2009 tercatat 554 layar. Dari jumlah itu, jumlah layar bioskop non-21 hanya 141 layar di 56 lokasi. Konsentrasi bioskop terbanyak ada DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. ''Masih ada 15 provinsi di Indonesia yang belum memiliki fasilitas gedung dan layar bioskop,'' ujar Ukus Kuswara.

Buat Chand Parwez Servia, bioskop, SDM profesional seperti produser, dan bisnis video di Indonesia mengalami perkembangan. Sebab itu, Parwez menilai, industri film nasional telah terbentuk. ''Kondisi film nasional saat ini menunjukkan pertumbuhan luar biasa,'' kata Parwez.

Namun Parwez juga mencatat kekurangan, khususnya pemberantasan praktek pembajakan film. Selain itu, ia berharap, perkembangan industri film nasional yang telah ditandainya itu tidak dibebani dengan peraturan yang memberatkan. ''Pertumbuhan (industri film nasional) ini harus diberi ruang seluas-luasnya. Jangan sampai dibuat peraturan yang akan mempersempit ruang kreativitas film'' tutur Parwez.

Meski tidak tegas mengemukakan dukungan atau bantahannya mengenai eksistensi industri film nasional, pengamat film yang juga staf pengajar Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, Marselli Sumarno, menyetujui bahwa pada saat ini belum ada momentum bersama yang --secara serius dan penuh niat baik-- menjadi ajang pertemuan gagasan pemerintah dan para pelaku produksi film mengenai versi peta jalan industri perfilman nasional.

Kerangka pemikiran tentang peta jalan industri film nasional itu, menurut Marselli, sederhananya terdiri dari empat aspek. Yakni modal atau kapital, peremajaan teknologi, pasokan SDM yang profesional dan kreatif, serta distribusi dan pemasaran. Kata Marselli, di antara keempatnya, aspek penyediaan tenaga profesional dan kreatif-lah yang kondisinya mendingan. ''Tiga aspek lainnya belum terpenuhi,'' ujarnya.

Marselli memberi ilustrasi tentang seorang kenalannya, pengusaha asal Solo, Jawa Tengah, yang punya lahan bagus dan strategis, memiliki modal, dan ingin terjun dalam bisnis bioskop. ''Tapi langkanya panduan informasi dan sosialisasi mengenai peta jalan usaha pengadaan layar bioskop membuat teman saya itu kebingungan mau mulai dari mana,'' tuturnya.

Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mengemukakan bahwa perihal industri perfilman saat ini tidak lagi dibicarakan pada tataran wacana, melainkan sudah pada tahap implementasi. Tapi, menurut Garin Nugroho, tindakan pemerintah dalam kerangka industri kreatif bidang film terlalu makro. Padahal, industri film dikelilingi persoalan-persoalan yang bersifat mikro dan khas.

Tanpa menyelesaikan persoalan-persoalan itu, menurut Garin, film nasional akan sulit menemukan karakter industrinya. ''Semu,'' ujarnya.

Bambang SulistiyoPublished: Gatra 35/ 15 July 2009


Popular Posts