Gelombang Pengungsi Korban Taliban

Jumlah pengungsi asal Afghanistan yang hendak minta suaka ke Australia melonjak tajam. Mereka menjadikan Indonesia sebagai tempat transit. Cukup merepotkan.

Ketika perahu motor itu oleng diterjang badai di perairan Pulau Halau, Riau, salah satu penumpangnya, Ali Khan, masih tidur lelap. Hantaman ombak dan air laut yang masuk ke kabin perahu tak juga membuat lelaki 28 tahun itu terjaga. Maklum, perjalanan panjang dari negeri asalnya, Afghanistan, membuat Ali kelelahan, sehingga tidurnya pulas.

Ia baru gelagapan ketika perahu yang ditumpangi bersama 35 penumpang lainnya, plus empat awak perahu, itu terguling dan akhirnya karam digulung ombak. Ali pun menyadari malapetaka yang terjadi. Sontak, ia menyelamatkan diri, berenang, dan menyambar benda apa saja yang mengapung di sekitarnya.

Pengungsi dari Afghanistan itu akhirnya diselamatkan tim SAR. Dalam peristiwa nahas 28 Mei silam itu, 19 pengungsi tewas tenggelam. Kini mereka yang selamat ditangani pihak Kantor Imigrasi Pekanbaru. Mereka diamankan di rumah detensi imigrasi (rudenim) setempat.

Ali mengaku sangat terpukul. Selain kehilangan banyak rekan, tekadnya untuk mengadu nasib ke Australia kandas sudah. Kemungkinan Ali tinggal menunggu waktu untuk dipulangkan ke tanah airnya, menyusul sejumlah rekannya yang telah dipulangkan lebih dulu.

Ali Khan adalah salah satu warga negara Afghanistan yang terpaksa kabur dari negerinya lantaran kekerasan dan perang yang terjadi di sana. Ia keturunan etnis Hazara, salah satu suku yang paling banyak diburu milisi Taliban yang beretnis Pashtun. "Taliban sangat kejam. Mereka membunuh semua laki-laki dengan cara menyembelih. Masa depan kami sangat suram di Afghanistan,'' ujar Ali.

Maka, Ali pun nekat meninggalkan negerinya. Tujuannya: Australia. Ia terbujuk oleh agen tenaga kerja yang mengiminginya pekerjaan layak di "negeri kanguru" itu. Untuk sang agen, Ali merogoh kocek US$ 13.500, hasil menabung dan menjual harta bendanya. Semua tiket dan dokumen keimigrasian diurus sang agen. Ali pun duduk manis sambil harap-harap cemas.

Pada 23 Mei, Ali dan sejumlah rekan senasibnya meninggalkan desanya, Ghazni, menuju Kabul. Dari ibu kota Afghanistan ini, rombongan pengungsi itu terbang ke Dubai, terus ke Kuala Lumpur, Malaysia. Di sini, semua dokumen keimigrasian mereka disita agen di Malaysia. Ini adalah cara agar mereka dianggap sebagai pengungsi yang terusir dari negara asal dan sangat membutuhkan suaka politik di negara tujuan.

Mereka kemudian dibawa dan dikumpulkan di pedalaman. Di situ sudah ada puluhan warga Afghanistan lainnya. Lantas, pada 28 Mei, diberangkatkanlah satu perahu motor yang memuat 36 pengungsi. Ali termasuk di sini. Perahu itu berangkat dari Pelabuhan Port Klang, Malaysia, dengan tujuan pelabuhan tikus di Rokan Hilir, yang ditempuh dalam waktu dua hingga tiga jam.

Dari sana, mereka akan dibawa menyusuri selatan Pulau Sumatera, terus ke Jawa dan Nusa Tenggara Timur, untuk kemudian masuk ke Australia melalui Pulau Christmas. Namun, baru masuk perairan Pulau Halau, Rokan Hilir, badai sudah menerjang. Memang, demi menghindari kejaran petugas patroli, sudah kebiasaan awak perahu menyusup ke pelabuhan tikus saat dini hari atau saat muncul badai. Namun kali itu mereka betul-betul diterkam badai besar.

***

Memang tak mudah bagi imigran gelap asal negara konflik, termasuk Afghanistan, untuk sampai ke negara tujuan. Perjuangan mereka sangat berliku dan penuh bahaya. Bahkan, untuk melewati negara transit seperti Indonesia saja, mereka sering gagal. Kalau bukan celaka lantaran diterjang badai, ya, digaruk petugas keamanan.

Toh, semua hambatan itu tak menyurutkan niat mereka dan calon-calon pengungsi lainnya. Maklum, mereka tak punya pilihan lain. Di negara asalnya, mereka terusir atau bisa terbunuh. Jadi, yang penting bagi mereka adalah keluar dahulu dari negeri sendiri. Walhasil, gelombang pengungsian pun tak kunjung surut.

Polri dan pihak imigrasi pun dibikin sibuk. Pada kurun Januari-Mei 2009, menurut data yang diperoleh dari Mabes Polri, tercatat 1.217 imigran gelap dari berbagai negara konflik yang diciduk polisi di berbagai wilayah di Tanah Air. Imigran gelap asal Afghanistan menduduki peringkat teratas, dengan jumlah 664 (tahun lalu cuma berjumlah puluhan), disusul oleh imigran dari Sri Lanka (138), Vietnam (62), dan Pakistan (31). Ada juga pengungsi asal Myanmar, Irak, dan Iran. Namun jumlah mereka tidak banyak.

''Hasil pemeriksaan sementara, tujuan mereka adalah Australia. Jadi, Indonesia hanya tempat transit. Tapi tidak tertutup kemungkinan Indonesia juga menjadi negara tujuan,'' kata AKBP Benny Iskandar, Kepala Sub-Bidang Perbatasan Liaison Officer-Perbatasan NCB-Interpol. Menurut Benny, para pengungsi itu menyusup ke Indonesia melalui tempat-tempat rawan di daerah perbatasan, seperti kawasan Selat Malaka.

Seperti halnya Ali Khan, para pengungsi itu nekat meninggalkan tanah air mereka karena alasan keamanan. ''Ayah saya dipukuli kelompok Taliban karena menolak memelihara janggut. Setelah itu, saya tidak tahu lagi nasibnya,'' tutur pengungsi Afghanistan bernama Habibullah. ''Keluarga kami banyak dibunuh Taliban,'' tutur Juma, pengungsi lainnya.

Selain digaruk polisi, para imigran gelap itu pun diciduk aparat keamanan lainnya, seperti TNI Angkatan Laut. Juga oleh pihak imigrasi. Semuanya kemudian ditangani pihak imigrasi. Sampai 14 Juni lalu, menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM, tercatat 1.404 imigran gelap --904 di antaranya asal Afghanistan-- yang diamankan.

Sedangkan badan PBB urusan pengungsi (UNHCR) Regional Jakarta mencatat, sampai 18 Juni terdapat 1.928 kasus pengungsi yang ditangani. Sebanyak 441 di antaranya sudah mendapat status pengungsi, sisanya merupakan pencari suaka yang masih diproses. Dibandingkan dengan tahun lalu yang cuma 353 pencari suaka, tahun ini terjadi lonjakan tajam. Pada semester pertama saja telah tercatat 1.886 pencari suaka, 1.148 di antaranya berasal dari Afghanistan.

Lonjakan itu dicurigai sebagai dampak isu bahwa kantor UNHCR Kuala Lumpur akan ditutup. Isu ini ditepis Francis Teoh, Senior Regional Protection Officer UNHCR Jakarta. ''Di Kuala Lumpur ada 45.000 pencari suaka asal negara-negara konflik. Bagaimana mungkin kami menutupnya begitu saja,'' kata Francis. Ada dugaan, isu itu ditiupkan para penyelundup manusia yang ingin mendapatkan lebih banyak lagi orang yang nekat menyeberang ke Australia lewat Indonesia.

Indonesia tidak menandatangani Konvensi Jenewa Tahun 1951 menyangkut pengungsi, sehingga tidak menjadi negara penampung bagi pengungsi dari negara mana pun. Namun, atas pertimbangan kemanusiaan, Indonesia memberikan penampungan sementara. Misalnya terhadap pengungsi Rohingya dari Myanmar yang menetap sementara di tempat-tempat penampungan di Nanggroe Aceh Darussalam, Februari lalu.

Pengungsi Rohingya mendapat perhatian luas mungkin lantaran nasibnya yang luar biasa menderita. Mereka terusir dari negerinya dan ketika masuk perairan Thailand mendapat siksaan dan diceburkan ke laut oleh aparat keamanan setempat. Pengungsi dari Afghanistan dan negara Timur Tengah lainnya, meski tidak mendapat perhatian luas, tetap saja diperlakukan dengan baik.

Mereka ditempatkan di rudenim di daerah-daerah. Namun, karena jumlahnya banyak, sedangkan daya tampung rudenim terbatas, jadilah mereka tinggal berjejalan. ''Rata-rata kapasitas rudenim hanya sekitar 60 orang,'' kata Direktur Penyidikan dan Penindakan Imigrasi Ditjen Imigrasi, R. Muchdor M. Tidak jarang satu rudenim dijejali sampai 90 orang, bahkan lebih.

Terhadap pengungsi wanita dan anak-anak, pihak rudenim memutuskan menempatkan mereka di hotel. Misalnya dilakukan petugas Rudenim Pekanbaru. "Mereka kami tempatkan di hotel melati," kata Kepala Rudenim Pekanbaru, Yanizur.

Ada juga petugas rudenim yang memilih menempatkan sebagian pengungsi laki-laki di aula lantai II. Sebab, seperti terjadi di Rudenim Malang, Jawa Timur, Maret lampau, sebanyak 11 orang asal Afghanistan kabur. Namun satu orang dapat ditangkap. ''Mereka tampak tidak berbahaya dan sopan, sehingga pengawasan terhadap mereka agak longgar,'' kata Kepala Kantor Imigrasi Malang, Subroto.

Pelarian itu diduga melibatkan sindikat tertentu. Buktinya, ketika mereka kabur, sudah ada mobil yang siap di halaman. Pelarian lebih nekat terjadi di Rudenim Kupang, Nusa Tenggara Timur, Januari silam. Seorang anggota sindikat penyelundup manusia, Ali Cobra, meloloskan 18 pengungsi Afghanistan yang mendekam di sana.

Ali melumpuhkan tiga petugas piket. Mereka kabur menuju Australia, tapi perahunya karam di tengah laut. Tiga imigran bersama juru mudinya tewas tenggelam. Ali kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Penfui, Kupang, menunggu proses peradilan. ''Beta menyesal,'' katanya kepada wartawan Gatra Antonius Un Taolin.

Gelombang pengungsi ini mendapat perhatian serius dari Australia, yang menjadi negara tujuan pengungsi. Dalam siaran pers Kementerian Dalam Negeri Australia,12 Mei lalu, disebutkan bahwa pemerintah menyediakan dana 654 juta dolar Australia sebagai strategi untuk memerangi penyelundupan manusia dan memperkuat perlindungan perbatasan.

Sebanyak 42 juta dolar dari bujet tahun 2009-2010 itu dialokasikan untuk kepolisian Australia (Ausralian Federal Police), termasuk untuk menjalin kerja sama dengan Polri dalam penyelidikan dan membongkar sindikat penyelundupan manusia. Pada 4 Juni lalu, Menteri Dalam Negeri Australia, Bob Debus, mengadakan pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta. Keduanya menyambut baik langkah kerja sama itu.

Kerja sama tersebut memungkinkan kepolisian Australia turut serta menangani para pengungsi yang terciduk di Indonesia. Polisi Australia, misalnya, terlihat beberapa kali mondar-mandir ke Batam, Kepulauan Riau. Di daerah ini tecatat 100-an pengungsi Afghanistan yang diamankan. Polisi Australia menginterogasi para pengungsi secara ketat.

Menurut Kepala Kepolisian Kota Besar Barelang (Batam, Rempang, Galang), AKBP Leonidas Braksan, interogasi itu dilakukan untuk menentukan apakah si pengungsi bisa diterima di Australia atau tidak. ''Bila terbukti mereka adalah pengungsi yang minta perlindungan hukum dan memenuhi syarat, Pemerintah Australia akan menerima mereka,'' kata Leonidas kepada Indra Abdi dari Gatra.

Sebaliknya, kalau tidak memenuhi syarat, mereka akan dideportasi. Inilah yang terjadi pada sebagian besar pengungsi. Apa boleh buat, sudah nasib.

Taufik Alwie, Miranti Soetjipto-Hirschmann, Cavin R. Manuputty, dan Luzi Diamanda

***

Australia Kebanjiran Pengungsi
Keseriusan Australia menekan people smuggling (penyelundupan manusia) terlihat dengan ditunjuknya seorang duta besar khusus untuk masalah ini. Dia adalah Peter Woolcott, yang sebelumnya adalah pejabat senior di Departemen Luar Negeri Australia.

Peter ditunjuk sebagai duta besar khusus permasalahan people smuggling pada 8 Juni 2009. Dalam perbincangan dengan wartawan di Kedutaan Besar Australia, Selasa 7 Juli lalu, Peter menekankan bahwa imigran gelap asal Afghanistan, Irak, dan Sri Lanka adalah masalah regional, bukan semata problem Australia.

Menurut Peter, pada 2001-2002 terjadi peak people smuggling di Australia. Tren ini sempat menurun, tapi kembali meningkat. Pada 2009, misalnya, terdapat sekitar 800 orang yang diselundupkan secara ilegal ke Australia.

Imigran gelap yang ditangkap itu biasanya dibawa ke Pulau Christmas untuk diproses. Peter menyatakan, para imigran gelap yang diproses itu mengaku sebagai ''pengungsi'' dan mengajukan diri agar diberi status pengungsi. ''Mereka akan diinterviu. Kalau aplikasi pengungsi itu diterima, mereka akan dibawa ke mainland Australia,'' katanya.

Peter menjelaskan bahwa sebagian besar imigran gelap itu sebenarnya mampu secara finansial. Buktinya, mereka sanggup membayar sindikat untuk membawa mereka ke Australia. Selain itu, sebelum berlayar ke Australia dengan kapal laut, mereka sering menggunakan pesawat terbang dan transit di Indonesia atau Malaysia. ''Kemampuan secara finansial itu tidak membuat hak mereka mengajukan status pengungsi menjadi batal. Tapi yang mereka lakukan itu merusak sistem yang dibuat UNHCR,'' ujarnya.

Menurut Peter, banyak orang yang mengajukan status pengungsi lewat UNHCR di negara asal masing-masing. ''Mereka inilah yang sebenarnya memiliki klaim genuine sebagai pengungsi, tapi mereka harus diproses lebih lama dan menunggu lebih lama. Sedangkan imigran gelap itu, karena punya cukup uang, tinggal membayar untuk naik kapal dan berlayar ke Australia,'' ia menjelaskan.

Peter menyatakan, Australia sebenarnya cukup banyak memberikan status pengungsi. ''Kami bisa dibilang negara ketiga di dunia yang paling banyak menampung pengungsi. Kami menerima sekitar 30.000 pengungsi setiap tahun dari UNHCR,'' katanya.

Ketika ditanya mengapa Australia yang jadi tujuan bagi para imigran gelap itu, Peter menjelaskan bahwa para imigran gelap itu hanya mengikuti tawaran dari sindikat. ''Sindikat bilang, kami bisa membawa Anda ke Australia, dan mereka menerima,'' tuturnya.

Untuk menanggulangi masalah imigran gelap ini, Pemerintah Australia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia maupun Malaysia. Peter sudah berbicara dengan Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan, mengenai masalah ini. ''Pemerintah Australia bekerja sama secara bilateral dengan Indonesia dan Malaysia. Juga ada kerja sama dengan Polri,'' katanya.

Basfin Siregar

Published: Gatra 36/ 22 July 2009

Popular Posts