Comebacknya si Anak Dirgantara



Cover GATRA Edisi 29/2005 (GATRA/Wisnu Prabowo)"Untuk Anak Intelektual Dirgantara yang Saya Cintai dan Sayangi"

B.J. Habibie, Kakerbeck 13 September 2003

KATA kenang-kenangan itu ditorehkan Bacharuddin Jusuf Habibie di halaman pertama bukunya yang berjudul panjang: Human Rights, Democracy and Development of Human Resources and Technology toward a New World Secure Society. Buku berisi kumpulan tulisan Habibie semasa pensiun itu diserahkan di kediamannya yang asri di Kakerbeck, Hamburg, Jerman, 2003, pada "anak-anak dirgantaranya".

Meski sudah pensiun, presiden ketiga RI itu rupanya selalu teringat pada "anak dirgantara". Mereka, tak lain tak bukan, para alumni Industri Pesawat Terbang Nusantara (kini PT Dirgantara Indonesia), yang terserak di bebagai belahan bumi. Di Jerman saja, jumlah mereka kini mencapai 40 orang.

Tiap kali ketemu, "Pak Habibie selalu menyinggung kondisi industri penerbangan Indonesia," kata Ir. Triyoga Waskito, yang kini bekerja di Lufthansa Technik Completion Center di Hamburg. Sebelumnya, Triyoga terlibat dalam proyek CN235 dan N250. Ir. Taufik Askan, salah satu anak dirgantara, pernah beberapa kali secara tak sengaja bertemu Habibie di supermarket atau di depan kantornya.

"Sekarang berapa jumlah kalian di sini?" katanya, seperti ditirukan Taufik, yang kini bekerja di perusahaan subkontraktor Airbus di Hamburg, dekat kota kediaman Habibie. Lain waktu, Habibie semangat berbicara tentang membangkitkan industri penerbangan. "Cari ilmu banyak di sini. Mudah-mudahah kita bisa bangun kembali. Kalian siap, ya!" katanya.

Impian Habibie mewujudkan "teknologi menuju masyarakat baru" melalui industri penerbangan memang tak pernah padam. Untuk mewujudkan kembali impiannya, ia kerap menemui sejumlah petinggi lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia, pejabat tinggi, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Salah satu pembicaraan kami dengan Pak Habibie adalah membahas masalah penataan kembali PT Dirgantara Indonesia," kata SBY usai bertemu Habibie, Februari lalu. "Saya sebagai presiden ingin betul menata kembali industri nasional, termasuk industri dirgantara, untuk menciptakan lapangan kerja," kata SBY lagi.

Gerakan comeback Habibie semakin lancar karena klop dengan kebijakan Kantor Menteri Negara BUMN. Sebelumnya, Menteri Negara BUMN, Sugiharto, sudah menyatakan niatnya membangun kembali "almarhum" Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) ke dalam sebuah perusahaan induk. "Saya tidak menghidupkan BPIS, tapi menyinergikan ke dalam holding company industri strategis," kata Sugiharto pada acara Silaknas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Februari lalu.

Sugiharto optimistis, kondisi berbagai industri strategis masih bisa diharapkan. "Krakatau Steel kemarin baru laporan telah untung Rp 600 milyar lebih. Saya akan menggali kembali sembilan industri strategis itu menjadi satu, insya Allah," kata Sugiharto.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga sudah membuka jalan bagi Habibie. Mereka baru saja menyelesaikan proyek kajian untuk memproduksi kembali N250 dengan nama N250 R, Desember lalu. "Kode R itu artinya reproduksi," kata Habibie. Ia berharap, mulai tahun depan, N250 R sudah mulai mengepakkan sayapnya. "Nah, tiga tahun kemudian targetnya N250 R bisa masuk ke pasar," kata Habibie kepada Gatra.

Niat Habibie untuk kembali memang sudah lama terpendam. Setidaknya sejak PT Dirgantara Indonesia kelihatan sakit-sakitan. Jauh nun di Jerman, Habibie agaknya hanya bisa memandang "kerajaan teknologinya" perlahan-lahan ambruk. Ia tak bisa berbuat banyak.

Apalagi, Dirgantara sempat menjadi maskot teknologi Indonesia. Tapi justru sang maskotlah yang pertama kali kena semprit, terancam bangkrut. Berbagai program penerbangan andalan dibubarkan, subsidi dicabut, menyusul tawaran pensiun dini bagi karyawan.

Lalu terjadilah drama pilu: BPIS dibubarkan. Peristiwa ini juga membuat banyak anak dirgantara resah. Triyoga yang ditunjuk sebagai koordinator anak dirgantara di Jerman segera mengumpulkan teman-temannya yang berdiam di sekitar Hamburg dan Bremen. "Waktu itu, kami berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan untuk membantu industri dirgantara," kata Triyoga.

Jerman memang menjadi "sarang" eksodus para mantan karyawan Dirgantara setelah perusahaan pesawat terbang negara itu goyah. Awalnya mereka lebih banyak ditampung oleh perusahaan pesawat terbang Fairchild Dornier di Jerman.

Setidaknya ada 80-an orang eks Dirgantara di sana. Namun, apa daya, Fairchild Dornier bangkrut pada April 2002. Karyawannya pun kocar-kacir. Anak-anak Dirgantara pun menyebar. Sebagian bekerja di perusahaan raksasa penerbangan, Airbus Industry di Hamburg maupun Bremen. "Ada juga yang bekerja di perusahaan-perusahaan subkontraktornya," tutur Triyoga.

Beberapa proyek mutakhir menjadi garapan mereka. "Misalnya saja Airbus jenis A380 yang baru saja melaksanakan first flight bulan lalu," kata Triyoga. Sebagian eks Dirgantara lainnya bekerja di Munich. Misalnya di pabrik helikopter, Eurocopter. "Sebagian tenaga ahli kita juga ada beberapa yang wanita," Triyoga menambahkan.

Dari pertemuan tak resmi itu, mereka sepakat untuk ramai-ramai menemui Habibie. "Kami datang untuk silaturahmi sekaligus mohon pengarahan," ujar Triyoga. Sebagian besar rombongan berasal dari Hamburg, kemudian Bremen, juga dari Munich. "Karena mendesak, rekan-rekan dari Eropa tidak bisa hadir," katanya. Menurut hitungan Triyoga, jumlah tamu Habibie mencapai 60-an orang.

Habibie beserta sang istri, Ny. Ainun Habibie, pun menerima mereka di kebun belakang kediamannya sambil menikmati barbeque. Habibie sempat mengantar tamu-tamunya berkeliling. Melihat ruang utama rumah, kolam, garasi, serta tempat tinggal pengawal.

"Kebunnya luas, tapi jangan bandingkan dengan rumah-rumah mewah di Pondok Indah. Untuk ukuran seorang mantan presiden, rumah itu kelewat sederhana," kata Ir. Donny Prihadana, mantan Kepala Bidang Validasi Uji Terbang untuk Struktur PT Dirgantara Indonesia (DI). Kini ia bekerja di Airbus Hamburg.

Dalam pertemuan itu, Habibie terus terang menyatakan tentang kondisi Dirgantara yang parah. Pemecatan besar-besaran sudah terjadi. Bukan itu saja, nasib industri strategis sepeninggal Habibie bak anak ayam kehilangan induk yang sudah di ujung tanduk. Dari 10 industri andalan itu, yang masih tampak kinclong hanya beberapa.

Habibie kemudian bercerita tentang upayanya menawarkan bantuan pada pemerintah untuk menata kembali industri strategis. Itu berawal dari membangkitkan Dirgantara.

Namun, ketika itu, Menteri Ristek masa Orde Baru ini mengajukan sejumlah syarat. Antara lain adagolden share sebesar 5% untuk anaknya, Ilham Habibie. Sebagai imbalannya, Habibie bersedia mencarikan dana.

Ihwal golden share ini sempat mengundang kontroversi. Sebagian menuding Habibie ingin menghidupkan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di tubuh industri strategis.

Karena itulah, tawaran ini jadi tak menarik bagi Menteri Negara BUMN ketika itu, Laksamana Sukardi. "Siapa pun yang mau membantu silakan saja. Tapi, kalau mau golden share 5%, utang-utang DI mau diapakan? Kami ingin mendengar dulu penjelasannya," kata Laksamana.

Kepada anak didiknya, Habibie menjelaskan, yang dimaksud "anak" dalam syarat golden share itu banyak yang salah terima. Ia membantah bahwa itu bukan untuk "anak biologis", melainkan "anak intelektual".

"Ya, seperti Anda-anda ini," katanya kepada anak-anak didiknya. Habibie berkata, ia ingin orang-orang yang bekerja pada industri dirgantara punya semacam hak veto untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Boleh jadi, itu taktik Habibie agar Dirgantara tidak diganggu tetek-bengek politik. Hal yang terakhir ini memang juga menjadi syarat comeback-nya Habibie.

Kini, setelah pemerintahan berganti, Habibie merasa peluangnya lebih terbuka membangun kembali kejayaan industri strategis. Sebagai langkah awal, Habibie lebih senang menjejakkan kakinya pada industri penerbangan. Namun, kembali membangun puing-puing kejayaan industri strategis tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan terberat, boleh jadi, adalah mengajak ribuan tenaga ahli Indonesia yang telanjur berada di luar negeri untuk kembali. Padahal, merekalah yang bakal menjadi "otak" BPIS jika kelak dibangun kembali.

Apalagi dari pantauan Gatra, mereka sudah hidup mapan dan nyaman di sana. Tentu dengan gaji yang berlipat kali dibandingkan ketika bekerja di Tanah Air. "Di sini kami tak pusing cari tambahan. Di IPTN dulu, sistem penggajiannya belum mapan sehingga kadang-kadang harus cari yang lain," kata Donny terus terang.

Ir. Baddi Hidayat, mantan staf ahli Departemen Fatigue & Fracture Mechanics PT DI, mengaku gaji di tempatnya kini bekerja jauh lebih besar. Setelah di-PHK pada Maret 2004, Baddi sejenak menjadi konsultan teknik suatu perusahaan di Pulogadung. Dua bulan lalu, ia diterima sebagai karyawan kontrak di sebuah perusahaan subkontraktor Airbus di Inggris. "Jika dibandingkan ketika masih di PT DI, gaji di sini berlipat-lipat kali. Tapi memang masih lebih besar orang pribumi (Inggris)," kata Baddi.

Selain gaji yahud, penghargaan para bule itu terhadap tenaga ahli Indonesia juga bukan main. Itu terlihat --kecuali di Inggris-- dari sistem penggajian yang ada. "Mereka tidak membedakan orang asing atau bukan, orang baru atau lama," kata Taufik. Besar kecilnya gaji ditentukan oleh keahlian yang dimiliki.

Toh, bak pepatah, hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri. Hampir semua tenaga ahli yang dihubungi Gatra menyatakan harapannya bekerja kembali di Indonesia. "Kami-kami ini kan makannya sambal," kata Imam Birowo, mantan Deputy Vice President PT DI yang dulu dipercaya menangani Flight Test Center proyek N250.

Kini Imam dipercaya menjadi chief engineer basic system pada Eurocopter. Sebuah perusahaan manufaktur helikopter di bawah EADS (European Aeronautic Defence and Space Company) --konsorsium industri penerbangan Eropa yang bermarkas di Ottobrunn, Munich. Karena itu, Imam serta beberapa rekannya yang bekerja di Eurocopter siap kembali ke Tanah Air. "Kami kangen kembali ke Tanah Air. Hanya saja, program dan tujuannya harus jelas betul," katanya.

Donny yang saat ini tinggal di Hamburg dengan istri dan kedua anaknya menyimpan harapan yang sama. "Kami ingin kembali. Pasti ada pengorbanan, sama seperti ketika kami harus meninggalkan Tanah Air," ujarnya.

Lagi pula, jika bekerja di tempat asing, ada saja yang membuat tak kerasan. Misalnya saja soal izin kerja. Walaupun kontrak kerja tak mencantumkan batas waktu, Donny mengaku tidak betah harus terus-menerus mengurus perpanjangan izin kerja serta izin tinggal. "Yah, auslander ist auslander, orang asing tetap orang asing," katanya.

Jika anak-anak dirgantara ini akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, apakah semua urusan jadi beres? Belum tentu. Jalan rupanya masih panjang. Manajer program untuk proyek British Aerospace di PT DI, Ir. Kornel M. Sihombing, Msc, menganggap sekadar semangat untuk kembali tidak cukup. "Beliau datang dengan membawa apa saja? Lalu duitnya dari mana?" ujarnya.

Kornel boleh jadi ada benarnya. Selain anak-anak didiknya, Habibie masih memerlukan banyak "bahan bakar" untuk menghidupkan kembali industri strategis. Bahan bakar itu, yang utama, apa lagi kalau bukan fulus.

Habibie memang punya sejumlah jurus simpanan untuk urusan ini. Rencananya, ia akan membuat sebuah perusahaan. "Katakanlah namanya PT Regional Aircraft Company (RAC)," katanya. Nah, dana awal akan berasal dari penjualan sebanyak 30% saham RAC.

Apakah Habibie akan berhasil? Segala tekad untuk kembali ini tentu bakal teruji di lapangan.

Nur Hidayat, Hatim Ilwan, Basfin Siregar, Rahman Mulya, dan Miranti Soetjipto (Jerman)
[Laporan UtamaGatra Nomor 29 Beredar Senin, 30 Mei 2005] 
http://arsip.gatra.com//artikel.php?id=84884

Popular Posts