Dari Jerman ke Jamaika


Jamaika berhasil mengukuhkan diri sebagai negara pencetak sprinter kelas dunia. Sprinter Indonesia, Fernando Lumain dan Serafi Anelies Unani, berhasil mencatat personal best time. Mempererat kerja sama pelatihan antara Jerman dan Indonesia.


Selepas lagu kebangsaan Jamaika, Jamaica, Land We Love, berkumandang, tak seperti biasanya, para penonton yang memadati Stadion Olympia, Berlin, Jerman, Jumat pekan lalu, tidak segera duduk kembali. Di sela-sela acara penganugerahan medali dalam kejuaraan dunia atletik ke-12 itu, mereka kompak menyanyikan lagu Happy Birthday penuh sukacita. Dendang gembira itu rupanya dipersembahkan bagi idola atletik mereka, sang juara dunia Usain Bolt.

Pada hari itu, pelari asal Jamika ini genap berusia 23 tahun. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Betapa tidak, dua rekor dunia ditorehkannya hanya berselang empat hari. Setelah sebelumnya mengukuhkan dominasinya sebagai manusia tercepat di dunia, dengan memecahkan rekor dunia 100 meter dengan catatan waktu 9,58 detik, Bolt kembali memecahkan rekor dunia nomor 200 meter dengan catatan waktu 19,19 detik.

Bolt memecahkan rekor dunia yang dipegangnya sejak ajang Olimpiade Beijing, Agustus 2008. Untuk nomor 100 meter itu, Bolt memecahkan rekor dunia dengan catatan waktu 9,69 detik. Untuk nomor 200 meter, Bolt juga memecahkan rekor yang dibuatnya dalam ajang Olimpiade Beijing, dengan waktu 0,11 detik lebih cepat dari rekor sebelumnya. Satu medali lagi sumbangan Bolt didulang dari nomor lari estafet 4 x 100 meter, bersama rekan senegaranya, mantan pemegang rekor dunia Asafa Powell serta juara Jamaika, Michael Frater dan Steve Mullings.

Atas prestasinya itu, Pemerintah Berlin, sebagai tuan rumah kejuaraan dunia IAAF ke-12 itu, memberi Bolt hadiah khusus. Pemuda kelahiran Trelawny, Jamaika bagian utara, ini mendapat sebongkah Tembok Berlin otentik, yang bernilai sejarah karena pernah menjadi pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur. "Tapi sejujurnya saya tak tahu bagaimana caranya membawa tembok itu pulang," kata Bolt.

Dalam kejuaraan dunia IAAF kali ini, Jamaika tampak begitu dominan pada nomor-nomor jarak pendek 100, 200, dan 400 meter, baik di nomor putra maupun putri. Selain menyabet gelar juara nomor 100, 200, dan estafet 4 x 100 meter, putra-putri Jamaika juga mencatat deretan waktu terbaik. Selain Bolt, pelari putri Jamaika, Shelly Ann Freser, menjadi juara nomor 100 meter, dengan catatan waktu 10,73 detik. Disusul oleh Kerron Stewart, juga asal Jamaika, dengan catatan waktu 10,75 detik.

Secara keseluruhan, peraih medali emas terbanyak tetap berasal dari Amerika Serikat. Selama sembilan hari lomba, "negeri Paman Sam" itu mengoleksi 10 medali emas, enam perak, dan enam perunggu. Posisi kedua ditempati Jamaika dengan tujuh emas, empat perak, dan dua perunggu. Sedangkan posisi ketiga ditempati Kenya dengan empat medali emas, lima perak, dan dua perunggu.

Indonesia masih belum bisa bicara banyak dalam kejuaraan yang diikuti 2.098 atlet dari 202 negara anggota Federasi Atletik Internasional (IAAF) itu. Dua pelari muda Indonesia yang ikut diturunkan, Fernando Lumain dan Serafi Anelies Unani, gagal bersaing dengan para pelari dunia dan tak lolos ke putaran berikutnya. "Tapi mereka berhasil mencatat personal best dan selalu berada di depan sebagian pelari lain. Jadi, hasil latihan mereka nggak jelek-jelek amat," ujar Sekretaris Umum PB PASI, Tigor M. Tanjung.

Dua atlet masa depan Indonesia itu, menurut Tigor, tampil setelah melakukan training yang difasilitasi Federasi Atletik Jerman (DLV = Deutsche Leichtathetik Verband) di Malente, Jerman, selama hampir satu bulan. Walaupun belum berhasil masuk babak berikutnya, keduanya tampak bangga dapat bertanding dalam kejuaraan internasional. Ditemui Gatra setelah pertandingan, Fernando mengaku senang. "Saya bangga dapat berkenalan, bahkan bertanding, dengan atlet kelas Olimpiade," ujarnya.

Begitu pula Serafi. Meski sempat mengalami cedera pada kaki kirinya menjelang ajang IAAF itu, ia justru berhasil memperbaiki waktu terbaiknya, dengan catatan waktu 12,05 detik atau 0,05 lebih cepat dari sebelumnya. Bodo Schmidt, mantan Presiden DLV yang juga mengamati training dua atlet itu di Jerman, menyambut prestasi personal best yang diraih Serafi ini dengan gembira. "Anda lihat hasilnya, bukan? Serafi mengikuti semua tahap latihan dengan disiplin. Saya yakin, ia masih bisa meraih prestasi lebih baik lagi," kata Bodo Schmidt.

Selama di Jerman, dua atlet itu didampingi pelatih yang juga mantan atlet lari nasional, Henny Maspaitela. Menurut Tigor, pengiriman dua atlet tersebut ke ajang internasional itu diharapkan dapat memicu semangat mereka untuk berprestasi. "Apalagi, mereka dapat melihat sendiri bagaimana atlet-atlet kelas dunia mempersiapkan diri menjelang pertandingan," ujar Tigor.

Miranti Soetjipto-Hirschmann (Jerman)

***

Tiga Puluh Tiga Tahun Jakarta-Malente

Untuk kejuaraan dunia atletik IAAF ke-12 di Berlin, persiapan tuan rumah Jerman ternyata tak main-main. Sejak jauh-jauh hari, Federasi Atletik Jerman (DLV), selain menyiapkan Stadion Olympia, Berlin, sebagai tempat penyelenggaraan, juga menyediakan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Mulai akomodasi atlet, jasa transportasi, hingga pusat pelatihan bagi atlet asing.

Atlet muda Indonesia, Fernando Lumain dan Serafi Anelies Unani, adalah dua di antara sedikit atlet yang dapat mencicipi fasilitas yang disediakan DLV itu. Apalagi, keduanya dapat menikmati pusat pelatihan di kota Malente, Negara Bagian Schleswig Holstein, Jerman bagian utara. Semenjak dua pekan sebelum terjun di ajang kejuaraan dunia atletik, dua atlet Indonesia itu bersama pelatih Henny Maspaitela telah menjajal fasilitas "wah" tersebut.

Training center Landessportverband Schleswig-Holstein (LSV) itu, menurut direkturnya, Harald Kitzel, dilengkapi dengan fasilitas akomodasi dan penginapan. Para atlet benar-benar dimanjakan. LSV yang merupakan kompleks olahraga dan asrama yang dapat menampung 140 tempat tidur bagi atlet dan pelatih dari seluruh dunia itu menyediakan berbagai fasilitas sangat lengkap. Mulai ruang seminar hingga ruang latihan seluas 280 meter persegi untuk olahraga bela diri, kolam renang lima jalur dengan panjang 33,33 meter, dan track sintetis indoor sepanjang 90 meter --semuanya indoor.

Menurut Sekretaris Umum PB PASI, Tigor M. Tanjung, fasilitas yang dinikmati atlet dan pelari Indonesia itu merupakan bagian dari kerja sama jangka panjang antara Indonesia dan Jerman. Sejak 1976, puluhan atlet dan pelatih Indonesia pernah berlatih di Jerman. Kata Tigor, tokoh yang memegang peran penting dalam hubungan itu adalah Bodo Schmidt. Mantan Ketua DLV ini menjadi perintis kerja sama ketika ditunjuk Pemerintah Jerman sebagai konsultan olahraga bagi Pemerintah Indonesia.

Ia kemudian merintis kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Jerman dalam membina olahraga atletik. Bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai pengiriman pelatih Jerman ke Indonesia atau pelatih Indonesia ke Jerman hingga pengiriman atlet untuk berlatih di Jerman. "Kami mengundang atlet dan pelatih top Jerman untuk mempresentasikan keahlian mereka di hadapan para pelatih Indonesia. Tentunya ini akan sangat berguna bagi kemajuan cabang olahraga atletik di Indonesia," tuturnya. Meski begitu, menurut Bodo Schmidt, kerja sama itu sempat terhenti karena berbagai hal.

Namun, sejak tahun lalu, hubungan kerja sama dua negara itu terjalin kembali. Pihak Indonesia sendiri akan terus bekerja sama dengan DLV. Menurut Ketua Umum PB PASI, Mohammad Hasan, kerja sama PASI dengan DLV itu akan terus dilanjutkan. Pada 2008, 10 pelatih Indonesia dikirim ke Jerman untuk berlatih mendalami strength and conditioning di Malente.

Indonesia pun berencana mengembangkan kerja sama dengan negara yang sukses membina para sprinter-nya, seperti Jamaika. Polanya sama seperti kerja sama dengan DLV. Menurut Mohammad Hasan, rencananya para pelatih Indonesia akan tinggal sekian lama di Jamaika dan mempelajari metode pelatihan di sana. Begitu pula atlet-atlet muda bisa disiapkan oleh pelatih asal Jamaika. ''Tapi, seperti keyakinan kita, untuk mencetak juara-juara dunia, Jamaika tetap mengandalkan pelatih-pelatih nasionalnya. Begitu pula kita,'' ujar Mohammad Hasan.

Miranti Soetjipto-Hirschmann (Jerman)

***

Belajar dari Jamaika, Kenapa Tidak?

Jamaika makin mengukuhkan diri sebagai negara adidaya dalam olahraga atletik. Prestasi sederet atletnya, seperti Marlene Ottey, Asafa Powell, Shelly-Ann Fraser, dan si legenda hidup Usain Bolt --pemegang rekor dunia 100 meter yang baru saja memecahkan rekor atas namanya sendiri 9,58 detik dan rekor dunia 200 meter (19,19 detik) dalam kejuaraan dunia atletik di Berlin, Jerman-- membuat para pembina atletik dunia penasaran pada metode pembinaan di negara asal musik reggae itu.

Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI), yang bertanggung jawab membina atletik di Indonesia, tengah merintis kerja sama dengan Asosiasi Atletik Jamaika (JAAA). Indonesia ingin mengetahui pola pelatihan dan pembinaan yang diterapkan Jamaika untuk melahirkan kampiun-kampiun atletik dunia.

Untuk itu, wartawan Gatra Hendri Firzani berbincang-bincang dengan mantan Presiden Asosiasi Atletik Asia yang juga Ketua Umum PASI, Mohammad Hasan. Berikut petikannya:

Apakah Anda mengikuti terus hasil-hasil kejuaraan dunia 2009 di Berlin?

Ya, tapi hanya nomor-nomor tertentu dan hasil-hasil yang spektakuler saja.

Apa kelebihan atlet-atlet Jamaika seperti Usain Bolt dan yang lainnya?

Postur tubuh sangat berpengaruh. Dengan tinggi badan 1,96 meter, tungkai yang panjang, dan berat ideal 86 kilogram, Usain Bolt dapat melangkah lebih panjang dibandingkan dengan atlet lainnya. Ditambah dengan frekuensi kaki dan ayunan tangannya yang tinggi, dia dapat berlari dengan sangat cepat. Ibaratnya, satu langkah Usain Bolt sebanding dengan tiga langkah atlet kita. Karena itu, sekarang PB PASI sudah menerapkan kriteria tinggi badan minimal 170 cm untuk atlet putra dan 160 cm untuk atlet putri dalam setiap proses seleksi. Bahkan tampaknya harus ditambah lagi tingginya, menjadi 175 cm dan 165 cm.

Apakah modalnya hanya tinggi badan?

Coba lihat otot-ototnya. Ini terbentuk bukan melalui latihan beban seperti atlet angkat besi atau binaraga, melainkan melalui latihan strength and conditioning. Seorang pelari sprint harus memiliki tenaga besar, tapi tetap fleksibel badannya. Ketika atlet menjalani latihan persiapan umum (general preparation), di sinilah diterapkan latihan strength and conditioning stabilisasi. Pelatih-pelatih kita masih banyak yang belum memahami apa yang harus dilakukan dalam persiapan umum. Malah kadang-kadang periode ini dilakukan terlalu singkat.

Apakah PB PASI sudah memiliki pelatih yang memahami latihan strength and conditioning itu?

Cukup banyak. Tahun 2008, saya mengirim 10 pelatih nasional ke Jerman untuk mendalami strength and conditioning ini. Sekarang sudah diterapkan pada banyak atlet, termasuk atlet di daerah, karena saya utus mereka ke daerah-daerah potensial untuk mengajarkan latihan ini. Hasilnya sudah kelihatan, seperti pada atlet Dedeh Erawati, Fernando Lumain, Agustina Bawele, dan yang lainnya.

Menurut Anda, bagaimana cara Jamaika menemukan bibit atlet tangguh seperti Usain Bolt?

Sebenarnya mudah dilakukan di sini. Di Jamaika, setiap minggu selalu dilakukan perlombaan antar-anak sekolah. Pesertanya ribuan anak. Dengan cara ini, pasti mudah mencari bibit muda atlet. Jadi, belum selesai kita mengagumi Asafa Powell, sudah muncul lagi anak ajaib, Usain Bolt. Di Jamaika, semua anak ingin menjadi pelari. Dalam kompetisi nasional di Jamaika, nomor sprint bisa sampai 100 kali babak penyisihan (di Indonesia maksimum dua babak).

Di sini, tidak usah setiap minggu. Tapi, setiap tiga bulan saja dilakukan kompetisi sekolah seperti itu, saya yakin, pasti ditemukan bibit-bibit unggul. Saya sudah memulainya dengan menyelenggarakan lomba 60 meter dan estafet 8 x 50 meter anak-anak sekolah dasar dan SMP. Dan, saya harap, seluruh daerah bisa melakukan perlombaan dua nomor ini. Sederhana, kan?

Apakah Usain Bolt dan kawan-kawannya diming-imingi bonus oleh negaranya?

Tidak perlu lagi, dan pasti dia tidak mengharapkan karena sudah begitu banyak hadiah yang diperoleh. Dari IAAF (Federasi Atletik Seluruh Dunia) saja, dengan rekor dunia nomor 100 meter dan 200 meter, dia bisa membawa pulang US$ 320.000. Belum lagi dari sponsor.

Bagaimana dengan sarana seperti lintasan sintetis di sana?

Sarana itu perlu, tapi bukan yang terpenting. Anda tahu berapa jumlah lintasan sintetis di sana? Cuma empat! Kebanyakan mereka berlari di atas rumput, tapi dengan disiplin dan semangat tinggi. Sekarang ini, lari sprint sudah menjadi life style di sana. Gaya berlari anak-anak sudah terbentuk. Seperti kalau anak-anak di sini, berjoget dangdut.

Kalau bekerja sama dengan Jamaika, apa yang akan dilakukan?

Kita akan kirim pelatih-pelatih kita untuk tinggal sekian lama mempelajari metode pelatihan di sana. Bisa juga kita kirim atlet-atlet muda untuk dipoles oleh pelatih mereka. Atau bisa pula pelatih andalan mereka kita undang ke sini. Untuk mencetak juara-juara dunia, Jamaika tetap mengandalkan pelatih-pelatih nasionalnya.

Dulu PB PASI bekerja sama erat dengan DLV (Federasi Atletik Jerman). Masihkah berlanjut?

Kerja sama ini berjalan sejak 30 tahun lalu dan masih berlanjut sampai sekarang. Seperti berangkatnya 10 pelatih kita mendalami strength and conditioning di Malente, Jerman, tahun lalu. Setiap tahun, secara kontinu kita juga mengirim pelatih mengikuti kursus di Mainz, Jerman. Pedoman dan sistem kepelatihan di Jerman sangat terstruktur dan tertib. Jadi, kita perlu meneruskan kerja sama ini.

Pubished: Gatra 42/ 2 September 2009

Popular Posts