Menguak Misteri Bersama DESY


Dani Hamdani dan Miranti Soetjipto-Hirschmann

Pria asal Padang dipercaya mengoperasikan mesin canggih milik Universitas Hamburg untuk penelitian nanoteknologi. Tiap tiga bulan berkelana melakukan penelitian di tiga benua, tapi tak pernah lupa menengok tempat kelahirannya.
Hari itu, awal Mei lalu, cuaca musim panas bersuhu 30 derajat melanda kota Hamburg, Jerman. Namun hawa sejuk bersuhu tetap 18 derajat menerpa wajah wartawan kami ketika menapaki gedung luas mirip hanggar pesawat itu. Di sinilah Prof. Dr. Andrivo Rusydi, pria asal Padang, Sumatera Barat, bekerja. Dengan semangat, pria kelahiran 1976 itu menunjukkan sebuah mesin yang dilengkapi banyak pipa dan keran warna jambon.
"Inilah spektroskop Raman VUV-FEL (Vacuum Ultra-Violet-Free Electron Laser)," ujarnya, bangga. Mesin itu memang bukan alat sembarangan. Itulah spektroskop Raman VUV-FEL pertama dan satu-satunya di dunia. Universitas Hamburg membangun mesin seharga 3 juta euro (sekitar Rp 44 milyar) itu sejak 2005 dan baru selesai pada Februari lalu, untuk mendukung penelitian dengan tim utama terdiri dari Andrivo serta dua rekannya, Michael Ruebhausen dan Benjamin Sculz.
Mesin itu terletak di kawasan laboratorium yang biasa disapa DESY (Deutsches Elektronen Synchrotron). Terletak di pinggiran kota Hamburg, DESY dikelilingi pepohonan besar, tinggi, dan rimbun, tak ubahnya sebuah hutan kota. Di bawah kompleks itu terdapat cincin raksasa HERA (untuk penelitian partikel fisik) dan PETRA sepanjang 6,3 kilometer sebagai properti fundamental laboratorium tersebut.
Pintu masuk laboratorium Institut Fisika Universitas Hamburg itu berpalang sederhana dan dijaga dua petugas keamanan yang ramah. DESY merupakan salah satu laboratorium fisika terkemuka dunia yang mengutamakan penelitian struktur material dalam ukuran nanometer (sepersepuluh juta milimeter).
Di lab itulah Andrivo melakukan penelitian dasar mengenai nano-struktur. Motif penelitian dia adalah temuan superkonduktor baru Bednorz dan Muler pada 1986, yang melibatkan unsur tembaga (Cu) dan oksigen (O) pada senyawa kuprat (CuO2). Yang menarik, superkonduktor (bahan yang menghantarkan elektron atau listrik hampir tanpa hambatan atau resistensi = 0) baru itu bekerja pada suhu tinggi, yaitu 30 derajat kelvin. Untuk ukuran bahan superkonduktor, suhu beberapa ratus derajat celsius di bawah nol itu terbilang tinggi.
Superkonduktor baru tersebut merupakan salah satu temuan penting di jagat fisika zat padat. Maka, berbondong-bondonglah para peneliti dunia (baik kaum eksperimental maupun teori) mengais informasi untuk mendapat jawaban kenapa hal itu bisa terjadi. Setelah lebih dari 20 tahun diteliti, misteri kuprat masih belum bisa dipahami.
Nah, spektroskop Raman VUV-FEL itulah salah satu harapan untuk bisa menguak interaksi atom dalam ukuran nano. Cara kerja VUV-FEL, menurut Andrivo, pada prinsipnya sama dengan spektroskop Raman. Yaitu: foton dengan energi tertentu ditembakkan ke suatu materi. Foton diserap oleh elektron sehingga melompat dari lintasan awal ke lintasan dengan energi lebih tinggi (tereksitasi). Keadaan tereksitasi ini tidak stabil, sehingga elektron itu melepaskan sebagian energi yang diserapnya dan memancarkan energi.
Efek ini dikenal juga sebagai inelastic light scattering, yang ditemukan pertama kali oleh Chandrasekhara Venkata Raman, peraih Hadiah Nobel, pada 1930. Biasanya penggunaan spektroskop Raman dilakukan dengan laser berenergi kurang dari 3 elektron volt (eV). Sedangkan penggunaan VUV-FEL dilakukan dengan sinar berenergi sampai 600 eV. Sehingga VUV-FEL Raman spektroskopi dapat mendeteksi interaksi dalam skala 1 piko detik (10 pangkat minus 12 detik), dengan energi resolusi dalam skala milielektron volt (meV).
Tantangan utama dalam peneltian ini, eksperimen harus dilakukan dalam tingkat kevakuman tinggi dan dengan tekanan lebih kecil dari 10 pangkat minus 9 milibar. Sebagai perbandingan, tekanan atmosfer sekitar 1.000 milibar. ''Terbayang betapa vakumnya pipa-pipa itu,'' tutur Andrivo.
Superkonduktor suhu tinggi memiliki unsur oksigen dalam komposisinya, sedangkan oksigen sudah ada di udara. Sehingga jelas tujuan kevakuman itu untuk mengeliminasi interaksi yang ada di udara. Mencapai 10 pangkat minus sembilan milibar jelas tidak mudah. Ini teknik lama dan butuh kesabaran. Untuk mendapatkan tekanan yang rendah dan bisa digunakan untuk bereskperimen, dibutuhkan persiapan seminggu, bahkan lebih.
Proyek pembuatan alat ini dilakukan sejak 2005 dan makan waktu lama, karena harus bolak-balik ke perusahaan pembuat mesin itu agar spesifikasi, seperti energi, resolusi, tekanan, dan temperaturnya, sesuai dengan yang dibutuhkan. Akhirnya alat itu terpasang pada Februari 2008. Tapi masih butuh pemeliharaan, kalibrasi, dan lain-lain.
Operasional alat itu juga perlu biaya tinggi. Setiap eksperimen bisa mencapai puluhan ribu euro per jam. Berbagai kendala itu, menurut Andrivo, membuat orang harus sabar menanti hasil penelitiannya. "Masih perlu dua hingga tiga tahun untuk menghasilkan data yang valid," ujarnya. Dan itulah yang membuat Andrivo kagum pada budaya penelitian di Jerman.
Pemerintah negeri itu tak segan mengeluarkan dana besar untuk berbagai penelitian, walaupun belum tahu apakah eksperimen itu berhasil atau entah kapan akan menemukan hasil. Andrivon mulai meneliti di Universitas Hamburg pada 2005. Ketika itu, dia sedang melakukan penelitian di National Synchrotron Light Source of Brookhaven National Laboratory, Amerika Serikat. Di Brookhaven, dia mulai meneliti pada 2001 dan menelurkan banyak publikasi di jurnal tersohor, seperti NatureNature PhysicsSciencePhysical Review LetterPhysical Review B, dan Applied Physics Letter.
Awalnya, Andrivo mencari tempat untuk penelitian resonant inelastic soft x-ray scattering. Alat yang dia cari ternyata baru selesai dibangun di Universitas Hamburg. Selain meneliti, Andrivo juga ditawari mengajar mata kuliah fisika zat padat tingkat lanjut di jurusan fisika tingkat akhir master. Mata kuliah ini bertahun-tahun selalu diajarkan dalam bahasa Jerman. Sehingga untuk pertama kalinya, kuliah itu diselenggarakan dalam bahasa Inggris.
Suatu hari, Andrivo menerima e-mail dari National University of Singapore (NUS). Kampus itu sedang menjaring ilmuwan muda dunia dengan kategori "top 5 in their field". NUS rupanya sudah memiliki mesin Synchrotron. Maka, bergabunglah Andrivo sebagai tim peneliti NUS. Andrivo juga masih tercatat sebagai peneliti di Institut Teknologi Bandung, kampus tempat dia meraih sarjana fisika pada 1998. Andrivo meraih gelar master dan doktor dari Universitas Groningen, Belanda.
Sebagai peneliti, Andrivo tak punya jam kerja tetap. Tapi jadwalnya superpadat. Dalam setahun terakhir, setiap tiga bulan dia harus membagi waktu untuk meneliti dan mengajar di tiga benua. Enam minggu di Hamburg, tiga minggu di New York, dan tiga minggu berikutnya di Singapura, sekaligus menengok keluarga di Padang dan Jakarta. Ini belum termasuk seminar atau konferensi yang harus dihadirinya.
Di sinilah dukungan dan kerja sama sang istri, Wayan Sulistyaningsih, sangat penting baginya. ''Peran keluarga tidak dapat dipisahkan dari pencapaian saya selama ini," katanya. Ketika bereskperimen, dia bisa menghabiskan waktu 2 x 24 jam dan hanya tidur dua hingga empat jam. Makanya, bagi Andrivo, riset adalah hobi. "Kalau orang mengatakan bahwa peneliti adalah pekerjaan, maka ia akan stres," ujarnya.
Empat Rusydi dari Ganesha 10
Andrivo adalah putra pertama pasangan Rusydi Rusyid dan Ulvi Mariati. Ayahnya dosen kimia di Universitas Padang dan ibunya dosen di Akademi Perawat Padang. Tamatan SMU 2 Padang itu menyelesaikan kuliah di Jurusan Fisika ITB pada 1998. Ia meraih gelar master dan PhD di Rijk University Groningen.
Kepergian Andrivo ke ''kota kembang'' rupanya diikuti tiga adiknya, dan semuanya kuliah di ITB. Pertama, Febdian Rusydi yang menyelesaikan sarjana teknik fisika pada 2001. Setelah melanglang buana ke beberapa negara, Febdian kini kuliah master di Groningen. Aktivis mahasiswa di era reformasi, 10 tahun silam, ini sekarang menjadi Presiden Persatuan Pelajar Indonesia Groningen.
Berikutnya, Muhammad Ilhamdi Rusydi adalah sarjana teknik elektro dari ITB. Kini ia menjadi pengajar di Fakultas Teknik Universitas Andalas, Padang. Si bungsu, Anna Fadliah Rusydi, pun meraih sarjana teknik lingkungan dari kampus di Jalan Ganesha 10, Bandung, itu.

Popular Posts