Orang Kita Sulit Mengatakan "Tidak"


Masalah perbudakan manusia di zaman modern ini menjadi bahasan serius badan dunia. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan, perbudakan modern ini menghasilkan uang yang tidak sedikit; 32 miliar dolar Amerika per tahun.

Antonio Maria Costa, kepala Kantor PBB urusan Obat Bius dan Kriminalitas menyerukan negara-negara di dunia untuk mempererat kerja sama melawan kejahatan terorganisir itu. Sebab, data PBB mengungkapkan, jumlah korban perdagangan manusia di seluruh dunia mencapai 2,5 juta orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Indonesia merupakan negara yang memiliki kasus perdagangan manusia cukup tinggi. Tidak hanya sebagai negara asal, namun juga sebagai tempat transit dan negara penerima.

Permasalahan yang ditimbulkan dari perdagangan manusia ini mencapai tingkat multi-dimensi. Menyikapi kenyataan itu, PBB Menggelar Konferensi di Wina untuk memerangi perdagangan manusia (UNGIFT --United Nations Global Initiative to Fight Human Trafficking). Konferensi yang berlangsung dari 13 - 15 Februari 2008 itu menghadirkan aktris Inggris, Emma Thompson, sebagai wakil dari Helen Bamber Foundation, juga dihadiri 1200 wakil dari ratusan negara, termasuk Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Meutia Hatta Swasono. Ia hadir pada pembukaan pertemuan di ibukota Austria itu.

Miranti Hirschmann dari GATRA berkesempatan mewawancara puteri Pahlawan Proklamator Bung Hatta itu. Berikut petikannya:

Agenda apa yang diusung Indonesia dalam menghadiri kongres ini?
Kami mempunyai agenda meningkatkan kerja sama dengan negara-negara dalam memberi dukungan terhadap korban. Ini merupakan wujud tanggung jawab, terutama sebagai negara pegirim dan negara destinasi.

Bagaimana peran Indonesia dalam memerangi perdaganan orang?
Sebetulnya posisi Indonesia punya peranan penting, karena warga kita banyak yang jadi korban, yang direkrut untuk trafficking, sehingga kita punya posisi untuk menyuarakan lebih gencar pada negara-negara lain untuk minta komitmen mereka dalam penanganan masalah trafficking.

Kita sudah menyuarakan hal ini lewat Bali Process dan Senior Officer Meeting dan Minister Meeting dalam Trans National Crime di ASEAN. Sekarang kami bawa ke Wina, karena forumnya lebih luas.

Sejauh ini, dengan negara mana saja Indonesia bekerja sama dalam penanganan human trafficking ini?
Indonesia punya kerja sama dengan Malaysia dan Singapura untuk illegal worker. Kalau negara-negara Timur Tengah agak sulit. Respon mereka selalu dalam proses, lamban dan banyak penundaan.

Saya pikir ini masalah kultur, namun bukan berarti menolak. Apalagi kementrian yang mengurus itu berbeda. Di Indonesia, urusan pekerja ditangani Depnaker, di Timur Tengah ditangani oleh kementrian yang mengurusi rumahtangga.

Bagaimana pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2007 mengenai Perdagangan Orang?
Cukup efektif. Apalagi ada PP yang baru disahkan dan Keppres yang sebentar lagi selesai. Kinerjanya nanti tentu didukung oleh gugus tugas yang telah dibentuk. Kementrian Pemberdayaan Perempuan adalah Pelaksana harian dalam gugus tugas itu di bawah Menko Kesra. Gugus tugas itu punya masing-masing tugas tapi ada kerja sama, kami bertemu empat bulan sekali.

Jadi UU ini sudah cukup kuat, mudah mudahan akan efektif mengetaskan kasus. Instansi yang terlibat adalah Dephukham, Deplu, Depsos, Diknas, Depag, Budpar, Polri, Depnakertrans, BNP2TKI, dan sejumlah LSM yang mengurusi trafficking, seperti Solidaritas Perempuan.

Menurut anda, faktor apa yang mampu mencegah kasus perdagangan orang?
Dalam konteks pencegahan, sumbernya kemiskinan. Kami punya program program peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas perempuan dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Ini harus disrespon instansi lain, seperti bagaimana mempelajari jaringan pemasaran dan sektor sektor terkait.

Yang juga penting adalah pendidikan, bukan sekadar baca tulis, tapi bagaimana memahami hidup dan kesadaran tentang bahaya. Misalnya bagaimana menyatakan `tidak mau`. Orang kita seringkali sulit mengatakan `tidak`, bila ada ajakan. Pendidikan juga dibutuhkan dalam persiapan kerja, pencegahan pernikahan usia muda. Ada juga kebiasaan-kebiasaan kultur yang harus dihapus.

Saya baru pulang dari Singkawang, dan di situ banyak sekali kemiskinan yang mengakibatkan anak-anak perempuan direkrut untuk dikirim ke luar negeri untuk dijadikan pengantin pesanan. Tak tahunya, dijadiakn PSK atau bagian dari perbudakan.

Perda-perda juga harus ditelaah kembali, seperti pembebasan biaya sekolah agar kemiskinan bisa diatasi. Termasuk juga Perda-Perda yang menghambat perempuan mendapatkan kerja. Perda yang mencerminkan diskiriminasi terhadap perempuan harus juga diatasi.
http://arsip.gatra.com//artikel.php?id=112243

Popular Posts