Indonesia, Sebatas Teman Tapi Mesra



Gadis itu terlihat gelisah. Ia duduk di ruang tunggu Kantor Imigrasi Konsulat Jenderal Republik Indonesia Tawau, sembari melayangkan pandang ke sekitarnya, akhir Februari lalu. Pakaiannya rapi, lengkap dengan penutup kepala. Namun tatapan matanya sedikit tegang. Sesekali wanita berusia 27 tahun bernama Siti Aminah itu melongok ke ruang kerja. "Saya sedang membuat paspor supaya bisa cari kerja," ujarnya pelan.

Tanpa paspor, Siti sulit mendapat pekerjaan. Apalagi, ia hanya mengecap pendidikan hingga kelas VI SD. Kedua orangtuanya berasal dari Bone, tapi ia lahir di Sabah, Malaysia. Siti hanya sekali mengunjungi tanah moyangnya di Bone saat berumur tujuh tahun. Di usia belia, Siti ditinggal orangtuanya kembali ke Indonesia. Ia lalu dirawat sang paman.

Tak berselang lama, ia sudah berhadapan dengan petugas imigrasi. Ketika ditanya apa yang ia ketahui tentang Indonesia, dengan lantang Siti menjawab, "Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945." Jawabannya berhenti sampai di situ. Ia menggigit bibir. Rupanya sang petugas mengerti kekhawatirannya.

Pertanyaan berlanjut tentang artis Indonesia pujaan Siti. Wajah gadis itu berbinar dan menjawab dengan bersemangat, "Krisdayanti, Agnes Monica, dan Radja. Lagu favorit saya Jangan Benci Bilang Cinta dan Ratu: Teman Tapi Mesra." Sang petugas tersenyum, lalu kembali bertanya, "Kalau lagu Indonesia Raya, tahu?" Wajah Siti berubah bingung, "Lagu apa itu?"

Berikutnya giliran Ramadi yang diwawancarai petugas. Pria 22 tahun itu tidak memiliki selembar pun dokumen. Tujuannya, memohon paspor agar aman dalam perjalanan dan mudah mencari kerja di perkebunan. "Susah bila tiada paspor," ujarnya gugup. Ia mengaku pernah mengikuti orangtuanya ke Indonesia saat berumur empat tahun.

Ditanya tentang Indonesia, Ramadi menjawab mantap. "Okelah. Indonesia punya Presiden Bambang dan Wakil Jusuf Kalla." Petugas imigrasi kembali bertanya tentang jumlah pulau di Indonesia. Tanpa ragu Ramadi menjawab, "Dua puluh delapan dan empat pulau besar." Pertanyaan terakhir untuk Ramadi adalah warna bendera Indonesia. Dengan tersenyum lebar, pemuda keturunan Timor ini menjawab yakin, "Merah-Putih-lah."

Siti Aminah dan Ramadi adalah satu dari puluhan ribu anak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang lahir dan berdiam di Sabah sejak 1970-an. Mereka sering disebut sebagai undocumented children atau anak anak tak berdokumen. Anak-anak migran itu hanya memiliki surat lahir sebagai identitas atau bahkan tidak memiliki selembar pun dokumen. Orangtuanya menikah tanpa dilaporkan ke catatan sipil. Kelahiran mereka sering tidak dilaporkan.

Masalah muncul ketika mereka beranjak dewasa. Identitas mereka dipertanyakan. Pihak berwajib Malaysia bak hantu yang akan menangkap dan memasukkan mereka ke penjara. Tak jarang mereka dideportasi. Apalagi, dengan ketatnya peraturan tenaga kerja, makin jarang majikan mempekerjakan tenaga asing yang hanya berbekal surat lahir. Penerangan dari Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa mempekerjakan orang asing tanpa dokumen bakal dikenai hukuman.

Siti, Ramadi, dan teman-teman senasib lalu berbondong-bondong mendatangi Kedutaan Besar RI dan kantor-kantor perwakilan Indonesia di Malaysia. Mereka merasa lebih tenang bila punya paspor Indonesia, walaupun pengetahuan tentang Indonesia amat minim.

Sebagai negara berdaulat, Malaysia tentu tidak menyukai pendatang tanpa izin. Karena itu, Pemerintah Indonesia mengupayakan agar warganya memiliki dokumen pendukung. KBRI dan kantor perwakilan khusus di Malaysia memberi kemudahan dalam pemberian paspor bagi Siti dan teman-teman.

Harga yang ditetapkan bagi pemohon paspor Indonesia adalah M$ 25. Bahkan sejak 16 Maret 2007 diturunkan menjadi M$ 22. Apalagi, pelayanan satu hari atau one day service mulai diterapkan pada November 2006. Sepanjang 2006, ada 7.636 paspor diproses KJRI kantor penghubung Tawau. Sedangkan di KJRI kota Kinabalu, pada 2006 tercatat 5.803 paspor telah diproses. Jumlahnya naik dari 5.366 paspor pada tahun sebelumnya.

Proses permohonan kepemilikan paspor tentu harus disertai dokumen lengkap dan sah. Bila tidak, pihak imigrasi akan mencecarnya saat wawancara, seperti dialami Siti dan Ramadi. Tak selembar pun data mengenai orangtua mereka.

Konsul Imigrasi KJRI Tawau, Dodi Karnida H.A., mengingatkan bahwa mereka tinggal di Malaysia sebagai orang asing. Ia kerap menyosialisasikan hal itu dengan membagikan lembar informasi mengenai Indonesia. Secarik kertas dengan nomor telepon dan alamat KJRI Tawau diselipkan pada paspor mereka sebagai upaya perlindungan bila terjadi apa-apa terhadap mereka.

Dalam bahasa sehari-hari, para TKI ini disebut sebagai orang Indon. "Terminologi Indon ini seolah-olah merendahkan bangsa Indonesia," ungkap Dodi. Maka, KJRI Tawau pun menebar spanduk yang mendorong para WNI menyebut diri sebagai orang Indonesia, bukan Indon.

Banyak pula terjadi anak-anak TKI hanya bersekolah hingga kelas II atau III SD. Alasannya, mereka hanya memiliki surat lahir atau paspor dan bukan warga negara. Karena itu, mereka tak diizinkan melanjutkan pendidikan ke sekolah kebangsaan (sekolah negeri di Malaysia).

Sebetulnya mereka boleh bersekolah, tapi harus menyelesaikan prosedur sebagai orang asing. Misalnya wajib mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Malaysia. Setelah itu dikenai bayaran layaknya orang asing yang bekerja di Malaysia. Prosedur semacam ini tentu memberatkan para buruh yang pendapatannya rendah.

Nota kesepahaman penempatan tenaga kerja yang diteken Pemerintah Indonesia dan Malaysia pada 2004 menegaskan, selama masa kontrak tidak dibenarkan membawa keluarga dan tidak boleh menikah. Dengan demikian, status anak menjadi tak jelas. Padahal, pada era sebelum 2004, banyak anak-anak TKI yang sudah berumur 40 tahun dan ada pula yang masih usia sekolah.

Walaupun ribuan tenaga kerja Indonesia menghadapi berbagai masalah, Malaysia tetap menarik minat warga negara Indonesia untuk bekerja di sana. Hal ini tampak jelas dari jumlah TKI yang mendatangi kedutaan dan kantor-kantor perwakilan RI di Malaysia.

Paling ekstrem terlihat di KBRI Kuala Lumpur. Kedutaan megah di Jalan Tun Razak ini setiap hari didatangi sekitar 1.500 tenaga kerja Indonesia dari berbagai tempat di Semenanjung Malaysia. Mereka mengurus paspor dan berbagai dokumen lain untuk menghindari ancaman deportasi.

Pada 2006 saja tercatat ada 5.330 warga Indonesia (4.021 lelaki dan 1.309 wanita) dideportasi lewat Tawau. Mereka diseberangkan dengan kapal laut menuju Nunukan. Setiap minggu, sekitar 100 warga Indonesia dideportasi lewat Pelabuhan Laut Tawau oleh imigrasi Malaysia. Sebagaimana hasil pengamatan Gatra di Tawau pada akhir Februari lalu. Hari itu, tercatat 107 orang asal Indonesia terkena sanksi deportasi.

Sebelum dideportasi, mereka ditampung di pusat tahanan sementara untuk menunggu proses hukum. Di sana juga mereka mendapat arahan. Bila ingin kembali ke Malaysia, sebaiknya menggunakan dokumen lengkap agar tak ditangkap. Lalu para TKI itu digiring ke Pelabuhan Tawau layaknya pesakitan dengan pengawalan ketat oleh sekitar 10 petugas imigrasi Malaysia.

Selama menunggu keberangkatan, mereka duduk berbaris di lantai pelabuhan. Penjual makanan berseliweran menawarkan dagangan untuk bekal di perjalanan. Di kejauhan, tampak KM Mega Ekspress sudah menunggu dan membawa mereka sore itu juga, ke Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Tentu dengan kawalan petugas imigrasi dari pihak Indonesia.

Anehnya, mereka tidak jera. Sebulan, bahkan seminggu kemudian, para TKI itu akan kembali ke Sabah dengan berbagai cara. Sepanjang 2006, misalnya, tercatat 18.644 TKI berangkat dari Nunukan.

Wakil Kepala Perwakilan KBRI di Kuala Lumpur A.M. Fachir menilai, sejauh Malaysia masih menerapkan pendekatan imigrasi, akan selalu ada kegiatan deportasi. "Yang tak memiliki permit sah akan mendapatkan sanksi dan tak boleh berdiam di Malaysia," ujarnya. Menurut Fachir, jika hanya satu pihak yang ditangani, tidak akan menyelesaikan masalah.

Ada pekerja, tentu ada majikan. Nah, majikan yang lebih suka merekrut pekerja ilegal juga harus diberi sanksi. Jika tidak, selalu ada pekerja ilegal yang masuk. "Ini masalah permintaan," Fachir menegaskan.

Masalah klasik ini tak pernah berujung. Akibatnya, anak-anak buruh migran menjadi korban. Lihat saja kehidupan Wanurhayat binti Udin di sebuah perkebunan kelapa sawit di daerah Sandakan. Gadis berusia 15 tahun itu tak pernah melihat metropolitan. Kedua orangtuanya berasal dari Tana Toraja. Ia merasa gelisah karena belum memiliki dokumen pengenal diri selain surat lahir.

Namun bagi Wanurhayat, kembali ke Indonesia bukan pilihan. "Kalau ke Indonesia, mau tinggal di mana? Tak ada rumah di sana. Saya ingin tinggal di Malaysia saja," katanya. Tak ada yang peduli pada nasibnya.

Heru Pamuji dan Miranti Soetjipto-Hirschmann
[NasionalGatra Nomor 20 Beredar Kamis, 29 Maret 2007]

Popular Posts